Bollo.id — Amir Daeng Sijaya kini terancam kehilangan lahan perkebunan seluas 9600 meter persegi yang telah dikelola keluarganya secara turun temurun sejak 1930-an. Dia dan depalan kepala keluarga lainnya diminta untuk berhenti menggarap dan mengosongkan lahan perkebunan mereka oleh Pemerintah Kabupaten Gowa.
Pemkab hendak melanjutkan pembangunan Bumi Perkemahan Caddika. Pembangunan itu akan mencakup wilayah seluas 10,16 hektar, yang 4 hektar di antaranya merupakan lahan milik warga. Daeng Sijaya, sedang beristirahat di rumah kebun miliknya saat saya temui pada sore, Rabu, 26 Juni 2024.
Ada spanduk berukuran 1×2 meter bertuliskan “Posko Juanga, Posko Perjuangan Agraria, Tanah Untuk Rakyat” di bagian depan bangunan serupa gazebo tersebut. Papan bicara bertuliskan “TANAH INI MILIK SALASSARI, DIKUASAI TURUN TEMURUN SEJAK TAHUN 1930” juga saya temukan di jalan masuk menuju kebun. “Maeki, siniki duduk”.
Sapanya mempersilakan saya dan beberapa kawan untuk bergabung di rumah kebunnya itu. Ia kemudian bergegas memetik pisang untuk disuguhkan kepada kami bersama secerek ballo segar (minuman khas Sulsel) yang baru saja selesai disuling dari pohon nira yang letaknya tak jauh dari tempat kami beristirahat.
Baca juga: Petani Takalar Menagih Janji
Laki-laki paruh baya itu terbiasa meminum ballo setiap usai melakukan pekerjaan di kebunnya. Ia percaya setiap tegukan membawa kekuatan. “Saya itu bukan peminum, ini kalo sudahka’ kerja, capekka minumka ballo, semangatka,” jelasnya kepada saya menggebu-gebu.
Daeng Sijaya adalah seorang warga Kampung Panjo’jo Desa Lassang Barat, Kabupaten Takalar. Kebun miliknya terletak di perbatasan antara Takalar dan Gowa. Tepatnya di kampung Caddika, Desa Pa’bentengang, Bajeng, Gowa. Sekitar 4 menit perjalanan dengan motor dari rumahnya.
Di sana, ia menyemai berbagai jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang panjang, ubi kayu, ubi jalar, dan pisang. Hasil kebunnya itu telah menjadi sumber penghidupan bagi keluarganya selama bertahun tahun.
Sampai sekarang, lahan perkebunan itu masih terus ditanami secara produktif. Setiap musim tanam padi, tanah itu dibajak menjelma sawah yang mampu menghasilkan hingga sepuluh karung gabah, atau sekitar 300 liter beras untuk sekali panen.
Sebagian dikonsumsi secara pribadi, sisanya di jual. Di luar musim tanam padi, lahan tersebut masih terus digarap untuk menumbuhkan jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Daeng Sijaya bisa mendapat keuntungan hingga Rp2,5 juta dalam sekali musim tanam.
Sambil meneguk ballo, ia menjelaskan kronologi singkat penguasaan lahannya. “Ini kebun dari nenek, baru bapak, baru saya, sudah tiga turunan dikerja ini, sejak 1930 mulai menggarap di sini,” ungkapnya.
Ladang itu mulai ia kelola setelah menikahi istrinya, Salassari Daeng Ati, pada tahun 1984. Keduanya memperoleh lahan tersebut sebagai warisan dari Daeng Parancing, orang tua Daeng Ati, yang juga diwariskan oleh ayahnya yakni Daeng Monda Bin Mattu.
Semula, hutan Daeng Monda lah yang pertama kali mengerjakan lahan itu hingga menjadi kebun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya. Kebun ini bisa dibilang kebun terakhir, setelah lahan pertanian keluarganya yang lain disulap menjadi ladang tebu Oleh PT Perusahaan Nusantara (PTPN) XIV sejak 1980.
Hak Guna Usaha (HGU) lahan pertaniannya telah berakhir sejak 23 Maret 2023 lalu. Namun hingga saat ini, PTPN XIV belum mengembalikan tanah itu. Kini Daeng Sijaya juga terlibat dalam perjuangan pembebasan lahannya bersama ratusan petani lain dari 9 desa yang juga terdampak konflik agraria dengan PTPN XIV.
Pembawaanya yang ceria, membuat saya sesekali lupa ia sedang berhadapan dengan berbagai ancaman konflik agraria. Dengan santai, ia bercerita kepada kami pengalamannya saat bekerja di Kalimantan sebagai buruh tambang batu bara selama dua tahun.
Migrasi itu bukanlah kebiasaan merantau masyarakat Makassar yang sering diromantisasi melalui banyak cerita rakyat. Daeng Sijaya terpaksa melakukan perjalanan itu lantaran tuntutan ekonomi. Ia harus membiayai kebutuhan istri dan kedua anaknya.
Anak pertamanya perempuan, kini berumur 36 tahu. Sementara anak laki-lakinya berumur 31 tahun. Keduanya tidak mengenyam pendidikan tinggi akibat dari keterbatasan ekonomi yang secara struktural disebabkan oleh perampasan wilayah perkebunan mereka oleh PTPN XIV.
Kini satu-satunya sumber penghidupan keluarganya juga terancam direbut perusahaan itu. “Karena nda’ ada ongkos nak, nda’ ada tanah, na ambil semua pemerintah, na ambil PTPN, ini mami, ini lagi maumi juga naambil,” keluh Daeng Sijaya.
Puluhan Tahun di Bawah Ancaman Pengosongan Lahan
Pada 6 Juni 2024, Pemkab Gowa mengeluarkan surat bernomor 500.17.2.2/1069/DISPORA yang berisi perintah pengosongan, seta pemberhentian aktivitas bertani pada lahan seluas 100.160 meter persegi untuk pembangunan lanjutan Bumi Perkemahan Cadika.
Ada sembilan nama kepala keluarga yang tercantum di surat tersebut. Dengan sebaran lahan beragam, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022 telah melakukan pemetan lahan pertanian milik warga. Seperti ini potretnya:
Intinya Surat perintah pengosongan lahan itu dikirim berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Instansi Nomor 0001 Surat Ukur Nomor 00113/Pabbentengan/1975 tanggal 11 November 2020 dengan luas kurang lebih 10.16 hektar yang ditandatangani oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Permiktan) Pemkab Gowa tertanggal 11 Juli 2023.
Perintah pengosongan lahan itu bukan yang pertama. Sengketa ini bermula di tahun 1974, Pemkab Gowa melakukan pengukuran lahan untuk pembangunan Bumi Perkemahan Caddika. Lalu, setahun setelahnya pada 1975, terbit Sertifikat Hak Pakai (SPH) yang mencakup lahan seluas 10.16 hektar atas nama Pemerintah Kabupaten Gowa.
Penggusuran sempat dilakukan oleh Pemkab Gowa di 2004 pada lahan garapan warga. Seluruh hasil bumi di tanah seluas 4 hektar itu habis, rata dengan tanah. Beberapa bulan pasca-penggusuran, bukannya progres pembangunan Bumi Perkemaha Caddika, Daeng Sijaya malah mendapati lahannya digarap oleh Sudarmin, polisi yang saat itu menjabat Binaan Masyarakat (Binmas) di Desa Pabbenteng.
Tak terima, ia dan warga lain pemilik lahan yang digarap, kemudian mengusir Sudarmin. Lalu, pada 2020 datang beberapa petugas pemerintah. Mereka kembali melakukan pengukuran lahan di kebun warga. Kepada warga, mereka berdalih bahwa SPH yang terbit pada 1975 hilang. Pengukuran itu dilakukan guna kepentingan penerbitan SPH baru oleh BPN.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Geram, Daeng Sijaya kemudian mengusir mereka dari lahannya. Pada 2023 Daeng Sijaya dan 8 warga lain sempat melakukan mediasi. Hasilnya nihil. Bukti kepemilikan yang mereka ajukan dinilai tidak kuat oleh Camat, Kapolsek dan BPN. Setelah mediasi dilakukan, Pemkab Gowa kemudian menerbitkan surat dengan Nomor 591/210/VII/Perkimtan/2023 yang berisi teguran dan perintah pengosongan lahan kepada warga.
Berhadapan dengan ancaman perampasan lahan, laki-laki 62 tahun itu memutuskan untuk menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar untuk membantu proses advokasi perlindungan lahannya. Selain LBH, KPA Sulsel dan Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mamiri juga terlibat dalam pengadvokasian tersebut.
Hari mulai gelap, saya mendengar hikayat hidup Daeng Sijaya sembari bersusah payah menghabiskan ballo yang disuguhkan dalam gelas berukuran 200 ml. Maklum rasanya getir, saya tidak terbiasa mengkonsumsi minuman jenis itu. “Mau maka pulang Daeng” ucap saya merespon keheningan yang timbul setelah terdengar lantunan suar masjid
Dengan sigap, ia memetik kacang panjang, “Tunggu dulu, bawako ini, kasi turun ke Makassar” pintanya kepada saya. Seikat besar kacang panjang memberkahi perjalanan saya pulang. Saya sempat khawatir jika oleh-oleh ini memberatkan Daeng Sijaya.
Jelas, jika dijual lebih menguntungkan. Kendati demikian, saya lebih khawatir jika besok saya kembali ke Panjo’jo, tak lagi ada kacang panjang, jagung atau atau ballo yang tersisa. Saya lebih takut Daeng Sijaya kehilangan kebun terakhirnya itu.
Editor: Sahrul Ramadan