Ilustrasi polusi udara/Foto: environmentaldefence.ca
Ilustrasi polusi udara/Foto: environmentaldefence.ca

Krisis Iklim: Jalan Menuju Generasi Cemas 2045

Dampak krisis iklim memasuki semua lini kehidupan. Ia dapat berperan dalam mempengaruhi perilaku makhluk hidup.

Bollo.id — Generasi emas 2045 menjadi visi Indonesia dalam rangka memperingati 100 tahun kemerdekaan. Mengusung visi menjadi negara nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan, diprediksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 324 juta atau yang terbesar keenam di dunia.

Berdasarkan rumusan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2016, ada empat pilar yang menjadi fokus: pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan Pembangunan hingga pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. 

Optimisme pilar tersebut didukung dengan prediksi 70 persen dari total penduduk berada dalam usia produktif yakni 15-64 tahun. Indonesia sendiri telah memasuki era bonus demografi yang dimulai sejak tahun 2015 dengan diprediksi mencapai puncaknya dalam rentang tahun 2020 hingga 2035. 

Proyeksi penduduk yang oleh BPS pada tahun 2018, menguraikan angka harapan hidup pada tahun 2025 hingga 2030 sebesar 74,05. Lebih baik dibandingkan beberapa negara seperti Kamboja (73,8), Timor Leste (71,7), India (71,7), Filipina (70,1), Laos (71,4) dan Myanmar (68).

Data tersebut menunjukkan peluang dan tantangan dalam memanfaatkan bonus demografi untuk pembangunan dan pencapaian visi Indonesia 2045. Bonus demografi dipandang sebagai tahapan transisi sebuah negara untuk memajukan berbagai aspek kehidupan. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Omas Bulan Samosir, peneliti senior Lembaga Demografi FEB UI menjelaskan hasil studinya yang menunjukkan sebanyak 367 kabupaten atau kota atau 71,4 persen berada dalam tahap awal bonus demografi.

Artinya generasi muda saat ini dan akan datang akan menjadi pemain langsung generasi emas 2045. Namun di tengah jika melihat kondisi saat ini, apakah optimisme itu masih dapat kita pertahankan? Apakah generasi emas mampu diwujudkan di tengah bayang-bayang krisis iklim yang semakin nyata?

Bayang-Bayang Krisis Iklim

Saat ini dunia diperhadapkan situasi yang kian parah dampak krisis iklim. Akumulasi dari berbagai faktor penyebab telah mempengaruhi setiap lini kehidupan. Meningkatnya suhu global, naiknya permukaan air laut hingga bencana hidrometeorologi yang semakin sering terjadi.

Copernicus Climate Change Service (C3S), suatu lembaga riset Uni Eropa dalam laporan terbaru menyebut, tahun 2023 kenaikan suhu harian mencapai lebih dari 1,5 derajat celcius yang pada tahun 2024 naik 1,62 derajat celcius di atas suhu rata-rata pra industri. 

Perjanjian Paris yang menjadi pedoman bagi 196 negara untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius pada tahun 2030 seakan jauh api dari panggang. 

Anomali suhu udara permukaan rata-rata global relatif terhadap 1991-2020 untuk setiap bulan November, semua bulan, dan rata-rata 12 bulan berjalan dari 1979 hingga 2024. (Grafik: C3S/ECMWF)
Anomali suhu udara permukaan rata-rata global relatif terhadap 1991-2020 untuk setiap bulan November, semua bulan, dan rata-rata 12 bulan berjalan dari 1979 hingga 2024. (Grafik: C3S/ECMWF)

Dampak kenaikan suhu terhadap ekonomi diulas oleh Adrien Bilal dan Diego R. Kanzig. Studinya yang diterbitkan National Bureau ff Economic Research pada November 2024 mengungkap kenaikan suhu global sebesar 1 derajat celcius mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) dunia hingga 12 persen. Kondisi tersebut tidak bisa kembali seperti semula bahkan setelah 10 tahun.

Situasi akan semakin parah jika prediksi kenaikan suhu pada tahun 2100 sebesar 3 derajat celcius di atas rata-rata suhu pra industri. Data yang dikumpulkan mencakup 173 negara selama 120 tahun terakhir menunjukkan kenaikan suhu 1 derajat celcius telah meningkatkan frekuensi curah hujan ekstrem lebih dari 50 persen dan angin ekstrem sekitar 40 persen.

Sementara itu rilis dari BMKG mengungkap sepanjang tahun 2024 suhu di Indonesia lebih panas dibanding rata-rata suhu dalam 30 tahun. Bahkan pada Oktober 2024 suhu terpanas rerata mencapai 37,5 derajat celcius. Kenaikan suhu tersebut telah menyebabkan kerugian pada sektor pertanian, resesi sektor pariwisata hingga kesenjangan ekonomi.

Kenaikan suhu juga berdampak terhadap kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan Thompson dan tujuh peneliti lainnya yang melihat hubungan suhu dan kesehatan mental mengungkap kenaikan suhu berpengaruh langsung terhadap kehidupan seseorang. 

Studi meta analisis yang dipublikasikan Lancet Planet Health pada tahun 2023 tersebut menemukan suhu yang tinggi telah menyebabkan resiko bunuh diri, meningkatnya jumlah kunjungan ke rumah sakit akibat penyakit mental, kesejahteraan psikologis yang menurun.

Riset yang dilakukan oleh Kim, dkk pada tahun 2015 menemukan risiko tingkat bunuh diri pada negara di Asia Timur. Riset yang dipublikasikan di Environmental Health Perspectives tersebut menunjukkan di Taiwan, setiap peningkatan suhu sebesar 2,3 derajat celcius menyebabkan tingkat bunuh diri sebesar 7,8 persen. 

Hal tersebut juga terjadi di Korea dengan tingkat bunuh diri sebesar 6,8 persen dengan peningkatan suhu sebesar 4,7 derajat celcius. Ia menemukan jika peningkatan bunuh diri sebesar 1,4 persen disebabkan kenaikan suhu setiap 1 derajat celcius. 

Sementara itu naiknya permukaan air laut sebagai salah satu dampak krisis iklim telah menyebabkan kerentanan bagi Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah pulau yang mencapai 17.380 telah menyebabkan dampak parah terutama pada pulau-pulau kecil. 

Pada tahun 2021, BRIN menyebut 115 pulau kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat permukaan air laut yang meningkat. Jaring Nusa, koalisi yang fokus pada isu pesisir, laut, pulau-pulau kecil menyebut lebih dari 12.000 desa pesisir terdampak langsung perubahan iklim dan ratusan pulau kecil terancam tenggelam.

Analisis WALHI melihat dampak permukaan air laut terhadap wilayah di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan Provinsi Maluku sebagai wilayah yang sangat rentan 1.064 desa. Disusul Nusa Tenggara Timur 1.018 desa, Sulawesi Tengah 1.011 desa, Sulawesi Tenggara 954, dan Maluku utara 934 desa.

Kenaikan permukaan air laut tersebut semakin diperparah dengan kondisi regulasi yang tidak berpihak terhadap keberlanjutan kehidupan di pulau-pulau kecil. Regulasi tambang pasir laut sebagai contoh aturan pemerintah yang telah menyebabkan abrasi parah di pesisir dan pulau kecil. 

Tambang pasir laut di Sulsel menyebabkan abrasi di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar dan Pulau Kodingareng, Makassar. Laporan dari WALHI Sulsel menyebut rumah-rumah warga yang berada di tepi pantai nyaris tidak ada yang lepas dari hantaman abrasi. Tanggul penahan yang dibuat seolah tidak berfungsi. 

Hal ini tentu telah menyebabkan kerugian bukan hanya dari segi materil, tapi juga keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil yang sebagian besar menggantungkan hidupnya di laut. Penulis yang aktif terlibat dalam tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng melihat sendiri dampak destruktif terhadap kehidupan warga dan ekosistem di perairan Spermonde. 

Queen of Netherlands, kapal milik Boskalis dengan panjang 230 meter dan lebar 32 meter yang menambang di perairan Spermonde telah menyebabkan kerugian yang sangat besar.

Infografis perjuangan perempuan dan nelayan Kodingareng untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkapnya. (Grafis: Muhammad Riszky)
Infografis perjuangan perempuan dan nelayan Kodingareng untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkapnya. (Grafis: Muhammad Riszky)

Koalisi Save Spermonde pada tahun 2021 mengungkap selama kurang lebih 257 hari kapal Queen of Netherlands menambang pasir laut, total kerugian 1.043 nelayan Kodingareng mencapai Rp80,4 miliar. 

Bahkan riset terbaru yang diterbitkan oleh WALHI Sulsel pada 2023 menunjukkan masyarakat di Pulau Kodingareng masih merasakan dampak buruk tambang pasir laut seperti hilangnya akses kehidupan, ekonomi hingga pekerjaan.

Terakhir adalah bencana hidrometeorologi yang semakin sering terjadi akibat dampak krisis iklim. Bencana hidrometeorologi merupakan bentuk bencana yang terjadi di atmosfer, air dan lautan yang menyebabkan kerusakan. 

Beberapa contoh bencana hidrometeorologi antara lain curah hujan yang ekstrem, angin kencang, kekeringan, banjir, kebakaran hutan dan lahan, longsor hingga kualitas udara yang buru. BMKG bahkan mengungkap 99 persen bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. 

Kompas merilis sepanjang tahun 2023 telah terjadi 5.365 bencana hidrometeorologi, yang meningkat dibandingkan tahun 2024 sebanyak 3.515 kejadian. Sepanjang 2023, sebanyak 1.255 kejadian banjir yang terjadi dengan jumlah korban yang menderita dan mengungsi mencapai 3.871.667 orang. 

Kekeringan tidak lebih baik dari banjir, sebanyak 174 kejadian yang mengakibatkan 4.394.377 orang menderita dan mengungsi.

Generasi Cemas

Krisis iklim telah dirasakan oleh semua pihak yang menyasar para tingkatan usia. Survei terhadap 76.382 pengguna Facebook pada tahun 2021 oleh Leiserowitz bersama lima peneliti lainnya mengungkap sebagian besar khawatir terhadap krisis iklim. 

Survei tersebut juga menunjukkan mayoritas responden di 24 dari 31 negara berpikir perubahan iklim akan merugikan mereka secara pribadi. Selain itu mayoritas responden di hampir setiap negara mengatakan bahwa perubahan iklim akan sangat merugikan generasi mendatang.

Pada survei terhadap 10.000 pemuda usia 16-25 tahun yang dilakukan oleh sembilan peneliti yang dipimpin Hickman menemukan mereka merasa takut terhadap masa depannya akibat krisis iklim. 

Selain itu lebih dari 50 persen melaporkan emosi negatif yang dirasakan berupa sedih, cemas, marah, tidak berdaya, tidak berdaya, dan bersalah. 

Sementara itu survei tersebut juga menemukan sebanyak 75 persen mengatakan menganggap masa depan menakutkan dan sebanyak 83 persen mengatakan bahwa mereka menganggap orang-orang telah gagal menjaga bumi dari dampak krisis iklim.

Aksi WALHI Sulsel dan Green Youth Movement di Car Free Day pada November 2023 untuk menyuarakan dampak krisis iklim yang terjadi. (Foto: WALHI Sulsel)
Aksi WALHI Sulsel dan Green Youth Movement di Car Free Day pada November 2023 untuk menyuarakan dampak krisis iklim yang terjadi. (Foto: WALHI Sulsel)

Kekhawatiran generasi muda cukup beralasan mengingat mereka yang akan melanjutkan kehidupan. Fakta mengejutkannya adalah generasi saat ini telah terkena dampak langsung yang berkaitan dengan masalah kesehatan. 

UNICEF pada tahun 2021 melaporkan sekitar 1 miliar anak terdampak krisis iklim dengan 820 juta anak terpapar gelombang panas. Laporan tersebut juga mengungkap Indonesia termasuk dalam 50 negara dengan anak-anak paling beresiko terpapar dampak krisis iklim.

Jordi Sunyer yang memimpin 16 peneliti mempublikasikan temuan mereka mengenai dampak polusi udara terhadap perkembangan kognitif. Studi yang dipublikasikan di PLOS Medicine mengungkap sebanyak 2.715 anak usia 7 hingga 10 tahun pada 39 sekolah di Spanyol yang terpapar polusi udara tinggi menyebabkan perkembangan kognitif mereka rendah. 

Dampak dari kondisi tersebut mengarah pada penurunan daya tangkap yang berimplikasi dalam proses pembelajaran dan perilakunya. Kekhawatiran akan dampak krisis iklim juga dirasakan anak muda Indonesia, yang akan diproyeksikan sebagai bagian dari generasi emas. 

Survei Kompas pada tahun 2022 terhadap anak muda maksimal 39 tahun mengungkap enam dari 10 anak muda sangat khawatir terhadap dampak krisis iklim. Survei tersebut juga mengungkap usia 24 hingga 39 tahun sebesar 19 persen sangat percaya terhadap krisis iklim.

Krisis iklim menjadi ancaman nyata yang sangat mengancam generasi muda. Data-data menakutkan yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi alarm serius untuk mengambil tindakan secara komprehensif. 

Setiap regulasi yang lahir menjadi krusial untuk menentukan nasib generasi emas 2045. Jika kita gagal dalam membuat regulasi terhadap perlindungan lingkungan serta generasi sekarang, maka bukan tidak mungkin generasi emas 2045 akan menjadi generasi cemas. 


Editor: Sahrul Ramadan


Muhammad Riszky

Guru Bimbingan dan Konseling di salah satu SMK yang aktif dalam menyuarakan isu lingkungan dan kesehatan mental. Saat ini tergabung dalam tim sekretariat Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia: koalisi 18 organisasi yang fokus terhadap isu pesisir, laut, dan pulau kecil.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Skip to content