Ibu itu bernama Saribanang Daeng Bollo. Dia seorang nelayan dan pencari kerang tude. Sejak 1979 Daeng Bollo mendiami pesisir Tanah Tumbu, di Kecamatan Mariso, Kota Makassar.
Tetapi Daeng Bollo tidak tahu, tempat yang dia tinggali menjadi bagian dari proyek ‘modernisasi’ Kota Makassar. Sebuah proyek reklamasi raksasa. Daeng Bollo tak tahu apa-apa, bahwa rupanya modernisasi berarti menyingkirkan orang-orang sepertinya.
Hari itu, di tahun 2014, ketika rumahnya—dan milik tetangganya—digusur, Daeng Bollo berusia 68 tahun. Dia terlalu tua untuk menyaksikan, rumah kecilnya, satu-satunya dirusak ekskavator dan perahunya dibakar aparat.
Beberapa tahun kemudian, setelah seluruh jiwanya dicurahkan untuk melawan, proyek reklamasi yang timbunannya berasal dari tempat tinggal Bollo, berdiri. Tampak congkak dan begitu asing. Daeng Bollo telah kehilangan tempat tinggal, begitu juga 43 kepala keluarga tetangganya. Tanpa rumah, Bollo tidur di emperan Celebes Convention Center (CCC), gedung serbaguna milik Pemerintah, atau di mana saja yang memberinya keteduhan.
Di sana, Daeng Bollo buka warung klontongan kecil, ratusan meter dari super mall.
Daeng Bollo adalah kemarahan sekaligus ketulusan. Di Suku Makassar, Daeng adalah pemberian nama (pa’ daengang) yang mencirikan orang itu. Arti Bollo adalah keberanian, emosional, tapi sekaligus ramah.
Daeng Bollo tahu telah kalah seperti orang-orang kecil lainnya di belahan dunia. Kemarahan itu telah bersemayam di tubuhnya, hingga Agustus 2020, ketika Daeng Bollo wafat.
Sampai ajal datang menjemput, Daeng Bollo tak lupa kekejaman yang telah merampas kehidupannya.