Konflik agraria antar PTPN dan Warga Polongbangkeng bermula sejak lama. Para perempuan yang kini berusia sepuh mencoba merawat ingatan itu/Bollo.id
Konflik agraria antar PTPN dan Warga Polongbangkeng bermula sejak lama. Para perempuan yang kini berusia sepuh mencoba merawat ingatan itu/Bollo.id

Semuanya Demi Hidup

Konflik agraria antar PTPN dan Warga Polongbangkeng bermula sejak lama. Para perempuan yang kini berusia sepuh mencoba merawat ingatan itu.

Suatu siang sekitar tahun 1980, Salasari Daeng Ati sedang ngaso di teras rumah panggungnya. Salasari Daeng Ati, seorang perempuan petani muda berusia 18 tahun. 

Hoda Daeng Paning, berusia 22 tahun, baru saja datang dari sawah. Dia beristirahat di rumahnya yang sejuk dan terlindung dengan pohon-pohon raksasa. 

Hasriani Daeng Ati, anak kecil berusia 9 tahun sedang di dalam rumahnya. Hari itu dia tak diizinkan ke kebun, taman bermainnya.

Hari-hari sebelumnya, tersiar sebuah kabar di kampung mereka di Polongbangkeng Utara, satu kecamatan pelosok Kabupaten Takalar, bahwa akan ada sebuah perusahaan yang ingin membuka perkebunan tebu di lahan mereka.

Kabar itu didengar oleh Salasari dan Hoda, dan segera mengetahui kebenarannya tak lama lagi. Hasriani yang hari-harinya hanya diwarnai aktivitas bermain, tak tahu apa-apa soal berita itu, sampai dia menyadari seluruh wahananya di kebun telah hilang.

Suatu sudut kebun tebu PTPN 1 Regional 8, Takalar/Muh Aidil/ Bollo.id.
Suatu sudut kebun tebu PTPN 1 Regional 8, Takalar/Muh Aidil/ Bollo.id.

***

Saat Salasari sedang bersantai di teras rumahnya, Ayahnya, Parancing Daeng Lala sedang berada di sebuah masjid di desa lain, berjarak sepuluh menit dari Parangluara, kampung kelahiran Salasari. Di sana tengah berlangsung pertemuan warga, membahas kabar yang sudah berhari-hari berlalu lalang di telinga warga.

Lekas siang, Parancing pulang, membonceng seseorang. Orang itu Monda, Kakek Salasari, seorang yang dulu melawan penjajahan Belanda. Dari teras rumah, Salasari menyaksikan dua orang tua itu berdebat, sambil melangkah ke ambang rumah.

Parancing meminta Salasari memanggil Ibu serta Kakek–dari Ibunya, berkumpul di ruang tamu. “Ada berita penting,” katanya. 

Ketika semua orang berkumpul, Parancing mulai berbicara. “Ada perusahaan mau ambil tanah kita, tapi tidak dibeli,” katanya. Semua orang menunggu Parancing melanjutkan cerita. 

“Cuman dikontrak 25 tahun.” 

“Jangan takut,” Parancing menyela keheningan. “Nanti akan dikembalikan dan kita semua dijadikan pegawai.” 

Begitulah kata kepala desa pada saat pertemuan, yang ditirukan Parancing ke hadapan keluarganya. 

Salasari lekas sadar, perdebatan sengit yang dia saksikan barusan rupanya persoalan tanah. 

Hoda Daeng Paning sedang beristirahat di rumah kebunnya. Dahulu warga Polongbangkeng menjadikan rumah kebun sebagai tempat tinggal mereka, seperti keluarga Hoda. 

Rumah Hoda berdinding papan tanpa sekat, tinggal seatap bersama orang tua, empat saudara, kakek, dan neneknya. Rumah itu terlindung dari pohon mangga, memberi keteduhan buat seisi rumah. 

Siang itu Ayahnya, Lebu Daeng Gassing pergi ke suatu tempat, di mana orang-orang dikumpulkan oleh kepala desa. 

Ketika pulang, Ayahnya membawa kabar, bahwa sebuah perusahaan akan mengambil lahan warga, lewat skema kontrak selama 25 tahun. 

***

Apa yang disampaikan Parancing memicu perdebatan. Salasari kembali menyaksikan Ayah dan Kakeknya saling debat. 

“Baiknya dipikir dulu. Barangkali kita ditipu,” Salasari menyela perdebatan itu. “Ke belakangnya nanti ada masalahnya lagi.” 

“Masalahnya,” Parancing menyambut selaan Salasari. “Kalau kita tidak berikan lahan kita, kita akan diusir dari kampung.”

Bibir Salasari terkatup. Tak ada yang ingin bicara. Semua orang paham, apa yang sedang mereka hadapi.

Kepala desa adalah seorang karaeng, sebutan terhadap gelar kebangsawanan. Melawan titah karaeng sama saja mencari masalah.

Polongbangkeng Utara adalah salah satu kecamatan di Takalar yang lahir dan dikuasai oleh Kerajaan Polongbangkeng, dan Lassang (sebelum pemekaran dengan Lassang Barat) di mana Salasari, Hoda, Hasriani hidup dipimpin seorang Gallarrang, kepala kampung. 

Sejarah lisan mengatakan, bahwa Gallarang berasal dari Palleko, seorang Karaeng bernama Salemo Daeng Lira. 

Konon, setiap kali Raja berkunjung, Raja akan mengklaim setiap daerah yang disinggahinya menjadi tanah miliknya, sebagai imbal jasa kepemimpinannya. 

Pada era kekuasaan Raja Gallassang (Lassang) pertama, dia memerintahkan untuk setiap masyarakat mengukur tanah masing-masing dan akan dibuatkan semacam bukti kepemilikan. Namun agar memperoleh bukti, masyarakat dipungut bayaran mahal.

Akhirnya, tidak semua masyarakat dapat mengklaim sebidang tanah.

Karaeng Salemo Daeng Lira pun meninggal. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan Parale Daeng Beta, seorang warga setempat, yang beberapa waktu kemudian mengasingkan diri ke Borongloe (Gowa), dan berkuasa di sana.

Karaeng Syamsuddin Daeng Tunru, putra Salemo Daeng Lira, pun naik ke tampuk kekuasaan, dan dialah kepala desa itu, seseorang yang perkataannya disampaikan oleh Parancing dan Lebu ke hadapan keluarganya.

Pertemuan keluarga itu pun usai, Parancing kemudian mengantar Monda kembali ke rumahnya di barat Lassang (kini Desa Lassang Barat). Monda pergi tanpa seucap kata.

Sepulangnya, Parancing membawa kabar buruk yang lain. Monda, hendak meninggalkan kampung. Dia memilih pergi daripada harus menyerahkan tanahnya. 

Tetapi, kepergian Monda tidak mengubah apa-apa. Tanahnya tetap terenggut.

***

Hoda sedang membereskan segala barang-barang di rumah. Setelah pertemuan dengan kepala desa, warga yang punya rumah di kebun diminta untuk pindah ke tempat lain, dengan biaya masing-masing.

Sebab tanah mereka akan dikosongkan dan berpindah tangan.

Tak seorang pun yang tidak marah. 

Namun ketakutan memendam segalanya. Kaki mereka berat untuk meninggalkan tanah ini, tapi tak ada pilihan lain. Keluarga Hoda menyerahkan tanah yang digarap turun temurun oleh keluarga mereka. 

“Kami takut sekali,” kata Hoda. “Kalau kita diancam ditembak, dia tembak betulan kita. Dulu bahkan pas bikin jalanan, orang diminta angkut batu kalau tidak datang pasti dipukul.” 

(Bollo.id tak dapat mengonfirmasi apakah kepala desa saat itu mengantongi senjata api)

Rumah kebun itu telah dibongkar. Papan, balok, atap, diangkut ke tempat baru, yang dibeli Lebu tak jauh dari rumah sebelumnya, tetapi seluruh kenangan di rumah itu tidak pindah, ia tersimpan di ingatan masing-masing.   

“Itu mangga dekat rumah, manis sekali,” Hoda mengingat. 

Rumah keluarga Hoda berdampingan dengan kebun, yang penuh dengan segala tanaman pangan dan buah-buahan. Mereka tak susah payah hanya untuk makan. Segalanya tersedia di sana. “Baik sekali dirasa,” kata Hoda.

Dan semua itu hilang.

Hasriani tak tahu apa-apa soal ini. Sebagai bocah, hari-harinya hanya bermain. Memanjat pohon lobe-lobe (Flacourtia inermis), melempar mangga, kejar-kejaran. Dia hanya tahu satu hal: ada kebun yang jadi wahana bermain dan itu milik keluarganya.

***

Pabrik Gula Takalar, milik PTPN 1 Regional 8/Muh Aidil/Bollo.id
Pabrik Gula Takalar, milik PTPN 1 Regional 8/Muh Aidil/Bollo.id

Ke tangan siapakah tanah mereka berpindah?

Semuanya berawal dari sebuah kunjungan seorang anggota dewan bernama Martono, di Polongbangkeng, pada tahun 1971. 

Dia tergugah dengan kisah perjuangan rakyat Polongbangkeng melawan penjajahan Belanda, tetapi dia merasa prihatin dengan kemiskinan yang meluas di daerah ini. 

Terbesitlah sebuah ide untuk membangun industri gula. Bagi Martono, industri ini akan membawa kesejahteraan dan mengubah arah nasib warga Polongbangkeng.

Gagasan itu disambut Pemerintah Takalar, dan diwujudkan oleh Menteri Pertanian saat itu, Soedarsono Hadisaputro, teknokrat kepercayaan Soeharto, Presiden Indonesia era orde baru.

1972, Proyek Pengembangan industri Gula (PPIG) dimulai, dibina oleh Direktorat Jenderal Perkebunan.

Mula-mula, PPIG menguji coba penanaman tebu di atas lahan seluas 150 hektare, berkat izin yang diberikan Bupati Takalar, menyebar ke Desa Parappoang, Bonto Rannu, Mattompodalle, Parapunganta, dan Parappoang.

Uji coba ini melibatkan warga pemilik tanah lewat skema Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pemilik tanah menanam tebu di tanah miliknya, dan hasil panen rencananya diserahkan ke pabrik gula.

Jika uji coba itu berhasil, PPIG akan diberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 tahun. Dan, uji coba itu berhasil. Tanah Polongbangkeng rupanya cocok buat pertumbuhan tebu. 

Di waktu yang sama, PT Madu Baru, cabang PT Madu Kismo di Yogyakarta, perusahaan milik Sultan Hamengku Buwono IX yang beroperasi di Takalar, mengusulkan ekspansi perkebunan seluas 5000 hektare, termasuk tanah pertanian produktif milik petani di Polongbangkeng.

Juni 1978, Bupati Takalar Kolonel Muhammad Suaib Pasang, memberi izin kepada PT Madu Baru buat menggelar kebun di Polongbangkeng Utara dan Selatan. PPIG berlanjut di bawah kendali PT Madu Baru.

Untuk pembebasan lahan, perusahaan itu melibatkan para elit desa yang umumnya bergelar karaeng

Di lapangan, para elit desa rupanya menarik biaya Rp 5 ribu kepada petani. Mereka dijanjikan hak milik, ganti rugi, dan biaya itu sebagai ongkos ukur tanah.

Sejumlah petani menyambut baik, karena berharap dengan itu mereka dapat ganti rugi. Jadi, mereka menjual ternak, sepeda, dan barang berharga mereka demi menebusnya. Tetapi, itu hanya akal-akalan. Ratusan petani bahkan tidak menerima ganti rugi.

Protes segera bermunculan, tetapi disambut dengan kekerasan, intimidasi, dan pembunuhan. Seorang petani yang aktif menuntut hak ganti rugi bernama Budhi Daeng Sembang ditemukan tewas dengan luka tembak, pada 4 Juni 1979.

Namun di tengah gejolak ini, PT Madu Baru tetap beroperasi. Akhirnya, persoalan ini menarik perhatian Jakarta. 

Operasi Tertib Pusat (Opstibpus) diturunkankan dan menggelar penyelidikan. Petugas Opstibpus menemukan praktik manipulasi dan korupsi dalam proses pembebasan lahan. Beberapa elit desa ditangkap. Mereka adalah Kepala Desa Parapunganta, Longko, Bontomarannu, dan satu pembantu Kepala Desa Parapunganta.

Penyelidikan tidak menyentuh keterlibatan pemerintah kabupaten.

PT Madu Baru akhirnya tidak mendapat kepercayaan dari warga, terutama ketika perusahaan melibatkan ABRI, terjerat kasus korupsi, dan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa. 

Tahun 1980, Bupati Takalar memberikan HGU kepada PT Madu Baru, seluas 6500 hektare, 4000 hektare di antaranya menyebar ke 12 desa di Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Selatan, termasuk Lassang, tempat Hoda, Salasari, dan Hasriani bermukim.

Tetapi, PT Madu Baru mundur dan angkat kaki dari Takalar. 11 Agustus 1981, Menteri Pertanian mengalihkan industri ini kepada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XXIV-XXV (cikal bakal PTPN XIV Takalar), perusahaan plat merah.

Gubernur Sulawesi Selatan mendukung, dan PTPN diberi wewenang mengolah lahan seluas 11.500 hektare,  yang tersebar di Kabupaten Takalar (6.000 hektare), Gowa (3.500 hektare) dan Jeneponto (2.000 hektare). 

19 November 1982, pembangunan pabrik gula dimulai dan rampung pada Agustus 1984. Setahun berikutnya, pabrik ini telah memproduksi gula kualitas superior high super (SHS 1). 

***

Kepergian sang Kakek, bikin hati Salasari remuk. Tapi, Salasari masih menggarap kebunnya. Menanam cabai, jagung, dan padi. Dia masih berharap, perusahaan itu tak jadi ‘meminjam’ tanahnya. 

Hoda memulai hidup baru di rumah barunya dan pulang pergi untuk menggarap lahannya. 

Hasriani yang tak tahu apa-apa, menjalani harinya seperti biasa. Pagi-pagi berangkat sekolah. Sepulangnya, dia bersama teman-temannya singgah ke kebun dan bermain berjam-jam lamanya. 

Tanah-tanah yang dikuasai oleh warga berasal dari garapan turun temurun. Beberapa memiliki surat pajak dan bukti kepemilikan atas tanah mereka.

Meski tanah-tanah mereka telah diserahkan, perusahaan belum menggusur. Tak seorangpun yang mengetahui kapan tanah mereka kelak diratakan. Namun, nama perusahaan itu akhirnya mereka tahu: PTPN.

Lalu tiba suatu hari ketika kampung dan kebun dikerumuni ekskavator dan aparat bersenjata. Salasari dan Hoda berada di rumah, dirundung ketakutan. Sementara Hasriani berada di sekolah.

(Salasari, Hoda, dan Hasriani tak lagi ingat tahun berapa penggusuran terjadi. Mereka menduga penggusuran terjadi antara tahun 1980 hingga 1983)

***

Salasari tidak ingin menyaksikan kebunnya dihancurkan. Tanaman yang tumbuh di kebunnya seperti keluarga. Melihatnya tersiksa membuat hatinya remuk.

Hoda juga demikian.

Sedangkan Hasriani berbeda. 

Hasriani tetap berangkat ke sekolah. Berseragam rapi, rok lipit di atas paha, rambut kritingnya diikat.

Sepulang sekolah, dia mengetuk pintu dan memberi salam ke seisi rumah. Dia menandaskan makan siangnya dan bersiap ke kebun untuk bermain bersama teman-temannya. 

Tapi, Suri, sang Ibu melarang, tanpa alasan.

Hasriani tidak menyaksikan alat berat menggusur kebunnya, karena sejak itu, ibunya tak lagi mengizinkan Hasriani keluar rumah selama sepekan. 

*** 

Beberapa hari kemudian, Salasari merasa kampung ini berubah wajah. Tak ada lagi orang-orang membawa cangkul di pagi hari. Dia tahu kebun-kebun tetangganya telah rata. Tetapi Salasari tak ingin melihat nasib kebunnya.

Hasriani menganggap semua masih sama, yang beda hanya larangan Ibunya untuk mengunjungi kebun yang dia rindukan.

Hari itu, Rabu, sepulang sekolah Hasriani tak ke rumah. Bersama teman-temannya, dia berlari penuh gembira menuju kebunnya. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuhnya. Merah putih.

Sesampainya di ambang kebun, Hasriani berdiri mematung. Begitu pula kelima temannya. 

Pohon lobe-lobe, jambu, mangga, dan nangka yang jadi tiang jaga kala mereka bermain petak umpet telah rebah. Pohon-pohon murbei tempat ulat sutra tumbang. Pabrik tungku batu bata milik Ayahnya yang seorang tentara berhamburan. Rata dengan tanah.

(Warga Lassang juga membudidaya ulat sutra. Sebagian perempuan berprofesi sebagai penenun sutra–sesuatu yang kini telah hilang)

“Bapak mu mungkin sudah jual tanahnya,” celetuk temannya.

“Tidak mungkin,” bentak Hasriani. “Tidak mau, masa mau dia jual, masa mau dirusak.” 

Ada amarah di dalam tubuh Hasriani. Matanya berair. 

Hasriani pulang. Tergesa-gesa. Sepanjang jalan dia menangis. 

Setiba di rumah, dia tak lagi melempar salam, dan segera mendatangi Ibunya. 

“Kenapa ditebang itu?” tanya Hasriani.

Ibunya menangis.

“Bukan ditebang,” jawab sang Ibu. “Tapi digusur, maunya pemerintah.” 

Hasriani tak bertanya lagi. Mata ibunya sembab. 

Hari-hari berlalu. Di antara tanah Hoda yang digusur, tersisa sepetak sawah warisan. Di situ dia menanam padi, dan jagung, berganti-gantian. 

Hoda pun menikah, dan bersama suaminya, dia menggarap lahan tersisa itu.

Salasari melanjutkan hidupnya dengan menjadi buruh tanam di PTPN, dengan upah Rp 15 ribu per hari, dan dibayar per dua puluh hari. Bekerja dari Pukul 08.00 – 16.00.

Selama jadi buruh tanam, dia berusaha menjauh ketika rombongannya mendekat ke bekas kebunnya. Sebab semakin dekat, dia kian sedih. Mengingat semua tanamannya yang digusur. 

Kehilangan kebun, membuat warga jatuh miskin. Tumpuan ekonomi keluarga melesat pergi. 

Salasari menyaksikan tetangganya meninggalkan kampung. Merantau untuk bertahan hidup. Beberapa tidak kembali. 

Dia membayangkan masa-masa ini sebagai era krisis. Keterpurukan ini pula memaksa beberapa warga mencuri ternak di luar kampung. Dan Salasari menyaksikan hampir saban hari dan membuat pemandangan ini menjadi hal lumrah. 

Suatu hari Salasari bertanya ke salah seorang yang mencuri ternak. Apa yang buat dia nekat melakukannya. 

“Lebih baik mati berdarah, daripada mati kelaparan,” kata orang itu kepada Salasari.

***

Hasriani masih terus bermain, meski tak lagi di kebun. Wahana bermainnya kini berpindah di kolong rumahnya. Permainannya juga berubah.

Dia dan teman-temannya bermain masak-masak. Berperan jadi pembuat kue. Bahannya adalah tanah liat, yang dia bentuk dengan tangan kecilnya, kemudian memanggangnya di atas api. Praktik ini dia tiru dari Ayahnya, ketika membuat batu bata.

Di dalam rumah, Hasriani mulai menyaksikan perubahan pada Ibunya. 

Pagi dan sore, Ibunya selalu berdiri dekat jendela di sisi kiri rumahnya. Menghadap keluar rumah, mata ibunya berair. Hasriani tahu ibunya sedang menangis.

Yang dia tak tahu, apa yang buat Ibunya menangis. Hasriani terlalu kecil untuk memahami apa yang ada di balik tangisan itu.

Beberapa hari kemudian, Ibunya jatuh sakit, dan meninggal.

Tahun 1986, Hasriani kehilangan Ayahnya. Dia tak tahu penyebabnya. 

Dua kakaknya memilih merantau, meninggalkan Hasriani seorang diri di rumah, peninggalan orangtuanya. Dia paham kepergian kakaknya. Tanah tak lagi ada untuk digarap dan jadi sumber pendapatan. 

Hasriani beranjak dewasa. Keadaan memaksanya mengurus segalanya sendiri. Hasriani mulai aktif kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Menyibukkan diri hingga malam, dan ketika pulang dia telah lelah dan tertidur pulas.

Hasriani hidup dari uang kiriman kakaknya dan hasil penjualan gabah dari sawah milik Ibunya yang digarap oleh keluarganya. Hasriani sebetulnya tumbuh di keluarga yang makmur, tetapi ketika tanahnya tergusur kekayaannya juga ikut runtuh.

Untuk menambah duit jajan, Hasriani membuat jalangkote dan keripik singkong, kemudian menjualnya di sekolah. Inilah yang membawa Hasriani sampai lulus Sekolah Menengah Pertama.

***

Tahun 1983, Salasari dinikahi Sijaya, seorang pria tampan di kampung dan punya banyak penggemar. 

Keluarga ini bertumpu pada hasil garapan lahan yang telah digarap oleh Monda sejak 1930. Tanah berada di perbatasan Kabupaten Gowa – Takalar. 

Di tanah itu, mereka menanam padi. Benih padi yang mereka tanam kala itu, dipanen sekali dalam setahun. Akhirnya, tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga, terutama ketika dia sudah dikaruniai dua anak. 

Jadi, sebelum padi panen, mereka mengolah buah Angkaeng (Inocarpus fagifer). Mereka merebus biji Angkaeng, kemudian dicacah. Rasanya mirip nasi.

Ketika tanah mereka tergusur, tumpuan keluarganya hilang. Membeli beras semakin sulit. Dan Angkaeng, tanaman cadangan itu telah hilang, ikut tergusur.

Suaminya, akhirnya meninggalkan kampung. Sijaya merantau ke pelosok Kalimantan Timur, pada tahun 1994, ikut kerabatnya. Mencari pintu lain untuk hidup. 

Tujuh belas hari di perantauan, Salasari mendapat kabar suaminya jatuh sakit. Nafsu makannya menurun karena rindu dengan anak-anak yang dia tinggalkan di kampung. 

Salasari menyusul kekasihnya, meskipun dia hanya mengantongi uang Rp 250 ribu, hasil gadai sawahnya dan Rp 80 ribu simpanan sebelum Sijaya merantau. 

Cinta membuat dia nekat. 

Dia naik pesawat, lalu naik kapal cepat mengarungi amukan jeram sungai di Kalimantan. Sijaya rupanya terkena malaria dan membutuhkan delapan kantong darah serta 37 cairan infus. 

Salasari hampir kehabisan duit. Jadi, dia memohon pada kepala rumah sakit untuk meringankan beban biaya. Kepala rumah sakit itu ibah dan memberinya keringanan. Dan dia membawa pulang kekasihnya. 

Di Lassang, Salasari berjuang menyembuhkan suaminya. Dia membuat bantal dari kapuk, meracik bedak dingin, hingga obat tradisional untuk dijual ke siapapun, demi memperoleh uang membeli obat. 

Sementara Salasari berjuang menyembuhkan suaminya, Hoda kembali kehilangan tanah garapannya, diambil keluarga kepala desa. Hoda akhirnya menjadi buruh tani di perusahaan, sementara suaminya jadi buruh bangunan dan sopir. 

***

Selama 25 tahun, orang-orang menganggap tanah mereka dikontrak oleh PTPN XIV Takalar (Sekarang PTPN 1 Regional 8).

Ketika 25 tahun berlalu, warga mulai bertanya-tanya, sebab aktivitas perusahaan tidak berhenti. Maka warga mulai mengorganisir diri. Menggaet jawara kampung dan menghimpun kekuatan.

Hoda, Salasari, Hasriani yang telah tumbuh dewasa dan warga lainnya menemui kepala desa untuk menanyakan soal tanahnya. 

“Mana? Sudah lewat 25 tahun ini,” kata warga kepada kepala desa. 

“Sudah ko dikasi semua ganti rugi,” jawab kepala desa. (Pada 1978, Pemerintah Takalar telah memberi ganti rugi melalui perusahaan sebesar Rp 60 tiap meter persegi)

“Cocok mi, cuma bahasanya kemarin kontrak ji, bukan dijual. Masa berhektar-hektar itu tanah harganya Rp 40 ribu, nda masuk akal,” Salasari menimpali. 

Warga mulai memperkuat simpulnya dan meluas ke desa-desa yang bernasib sama. Laki-laki berjaga, dan para perempuan berada di garis depan. 

Mereka mulai menduduki lahan, memboikot tanaman perusahaan, mereklaiming, kemudian menanaminya. Tahun 2008, konflik agraria yang memendam puluhan tahun ini akhirnya pecah. 

Bentrok terjadi di banyak tempat. Di Desa Massamaturu, Kecamatan Polobangkeng Utara, warga membakar tebu perusahaan yang tumbuh di lahan yang bersengketa.

Di Desa Parangluara, masih kecamatan yang sama, bentrokan antara warga dan polisi terjadi. Empat warga terkena tembakan. Seorang di antaranya terkena peluru tajam.

Bentrokan juga meletus di Borong-borong Labbua, kebun milik Hoda, Salasari, dan Hasriani. Warga melempar apapun ke arah polisi yang memuntahkan gas air mata. Aparat kepolisian dengan senjata laras panjang mengepung warga. Hari itu, awal Oktober 2008, Polongbangkeng Utara menjadi cekam.

Petugas perusahaan di bawah pengamanan aparat, membakar rumah-rumah kebun warga yang dibangun saat reklaiming. Tanaman yang telah tumbuh dirusak.

Suami Hoda tanpa getir tetap berada di kebun, menjaganya berhari-hari. Tak gentar dengan intimidasi dan ancaman. Ketakutan itu berubah jadi perlawanan. Selama protes dan pendudukan bergulir, warga kerap menerima intimidasi dan teror, bahkan warga menduga mereka diintai oleh aparat dan pembunuh bayaran.

Saat itu banyak warga ditangkap dan menjadi buronan aparat. Tiga warga yang menjadi buronan bersembunyi di rumah kebun yang jauh dari kampung. Salasari mendapat kabar, seorang dari mereka jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal, karena tak makan dan minum. Setahun berikutnya, bentrokan kembali pecah.

Warga tak tahu, tanah mereka telah dikuasai pemerintah setelah pembebasan lahan, dan proses ganti rugi yang tidak merata. Tanah yang telah berpindah tangan ke pemerintah, kemudian diberikan kepada perusahaan. Pertama ke PT Madu Baru, kemudian PTPN XIV Takalar, melalui Hak Guna Usaha.

Pada 22 September 1990, Hak Guna Bangunan PTPN diterbitkan lewat Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan. Sementara HGU diterbitkan melalui Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN pada 18 Mei 1994 dan 30 Desember 1997 atas nama PT Perkebunan XXXII, yang kini menjadi PTPN I.

Aksi protes warga Polongbangkeng terhadap PTPN XIV/Dokumentasi SP Anging Mammiri
Aksi protes warga Polongbangkeng terhadap PTPN XIV/Dokumentasi SP Anging Mammiri

***

Ketika bentrokan itu pecah, Hasriani berusia 36 tahun. Dia telah tumbuh dewasa. Selama ini ia menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan, untuk mengurangi kesedihannya. 

Selama Hasriani beranjak dewasa, dia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu. Hingga suatu hari, sepupunya yang bekerja jadi supir di perusahaan memberitahunya.

“Namanya itu perusahaan, PTPN, dulu kalau tidak dikasih lahan bisa diusir orang,” katanya. 

Sejak itu, Hasriani membenci perusahaan dan bertekad ingin melawannya sampai kapan pun. Sampai tanah keluarganya kembali. Dia kini tahu apa di balik tangisan ibunya. Yang membuatnya jatuh sakit hingga meninggal dan membuat Hasriani hidup tanpa kasih seorang ibu. 

Setelah lulus sekolah, Hasriani kemudian bergabung dengan barisan warga yang berjuang mengembalikan tanahnya yang “terampas.” Hingga hari ini.

Hasriani, kini berusia 53 tahun. Dia telah menikah dan dikaruniai seorang putra bernama Zul, 13 tahun. Putranya kerap ikut jika Hasriani menghadiri rapat warga, dan demontrasi.

Hasriani mendidik Zul, menceritakan segala hal yang menimpa keluarganya di masa silam. Dia ingin Zul tahu. “Karena umur saya sampai kapan?”

“Kalau saya mati, ada anak saya yang bisa lanjutkan perjuanganku,” kata Hasriani. 

Hasriani masih menyimpan surat-surat pajak atas tanah keluarganya, bukti pemberian ganti rugi, dan delapan amplop coklat. Dokumen itu telah digerogoti rayap dan sobek sana-sini. 

Hasriani membersihkan dan melaminasi surat-surat itu. 

Pada amplop coklat itu, berstempel 15 Maret 1983, hari ketika  PTPN XXIV – XXV memberikan ganti rugi atas tanah dan tanaman kepada Lewa, mendiang Ibu Hasriani. 

“Sebenarnya kita ini tidak miskin tapi sengaja dimiskinkan,” kata Hasriani sembari menyodorkan simpanannya itu. Mengingat segala tanaman, dan pohon-pohon murbei miliknya. 

***

Hoda tak pernah terima tanahnya direnggut. HGU bagai tembok imajiner raksasa. Memisah tanah dari dirinya. Tapi Hoda, menolak pasrah.

Dia melepas sapi ternakannya ke dalam kebun perusahaan, di mana dulu tanahnya berada. Ketika sapi usai memakan tebu-tebu itu, Hoda menebar racun. Tebu itu pun mati.

Di atas lahan itu, Hoda mulai menanam. Jagung, ubi, dan segala macam sayuran. 

Aksinya kepergok petugas perusahaan. Perusahaan meratakan tanamannya dengan alat berat, dan menanam tebu kembali. 

Tapi dia tak gamang. Hoda kembali ke lahan itu. Meracun tebu perusahaan, membersihkan, dan menanaminya lagi. Sampai perusahaan tak lagi mengganggunya.

Sungguh Hoda tidak takut. Baginya, Hoda harus berani beraksi seperti itu, karena perusahaan juga sama-sama beraninya. Dia berulang kali dilapor ke polisi. Tapi, pemidanaan itu tak membuatnya tunduk.

“Tebu ini,” kata Hoda, “memang punya perusahaan, tapi tanah ini milik saya.”

Apa yang buat Hoda seberani itu?

Eroka tallasa’, kamaseanga.” 

Dia ingin hidup, prihatinlah kepadanya. “Masa pemerintah tidak biarkan saya hidup.”

Hoda Daeng Paning/Muh Aidil/Bollo.id
Hoda Daeng Paning/Muh Aidil/Bollo.id

***

9 Juli 2024, HGU PTPN XIV berakhir. Warga dan organisasi masyarakat sipil menuntut, agar pemerintah tidak lagi memperbarui HGU perusahaan. Satu protes dari sebuah gelombang amarah yang telah terawat selama empat puluh tahun.

Luka-luka yang mereka derita, tangisan, dan nama-nama yang mati demi perjuangan ini, melekat pada sejarah panjang penguasaan lahan oleh PTPN.

Jumat, 01 desember 2023, PTPN XIV Takalar diakuisisi menjadi PTPN 1, dan berada pada regional 8, dan menjadi bagian SupportingCo, sub holding PTPN. 

Berakhirnya HGU, memicu gelombang protes dari warga 14 desa di Polongbangkeng Utara dan Selatan. Dalam masa-masa ini, mereka kerap disatroni polisi. Dan bagi mereka, hamparan tebu perusahaan itu kini ilegal.

Setiap hari mereka berjaga, memastikan perusahaan tidak memanen tebu-tebu itu. 

Perusahaan menawarkan warga untuk mengolah lahan mereka, dan memperoleh pendapatan dari hasil jual tebu ke pabrik. Tapi Hoda, Salasari, Harianti, dan warga lainnya menolak. Alasannya sederhana: Mereka hanya ingin tanah mereka kembali.

Aksi teatrikal petani Polongbangkeng, menanam di depan Kantor Bupati Takalar/Dokumentasi SP Anging Mamiri
Aksi teatrikal petani Polongbangkeng, menanam di depan Kantor Bupati Takalar/Dokumentasi SP Anging Mamiri

Kini, tanah-tanah yang telah dikuasai PTPN di Takalar, kembali menjadi milik negara, menjadi urusan Kementerian ATR/BPR dan BUMN.

Dalam sebuah pemberitaan, Aris Handoyo, Sekretaris Perusahaan PTPN I, bilang bahwa PTPN I Regional 8 mengelola perkebunan tebu di Takalar sebagai bagian program pemerintah untuk swasembada gula, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023.

“PTPN I melalui Holding Perkebunan Nusantara diberi mandat untuk meningkatkan produktivitas tebu dan memperluas lahan perkebunan hingga 179.000 hektar,” kata Aris. 

“Termasuk lahan rakyat dan kawasan hutan.”

Terbaru, Dewan Kabupaten Takalar merencanakan kunjungan lapangan, pada awal Mei 2025. Mereka ingin mencari dan mengumpulkan data pembanding konflik agraria usai surat tuntutan dari warga Polongbangkeng diterima sekitar Februari lalu. Selain data lapangan, dewan hendak berkomunikasi dengan General Manager PTPN.

Dua tahun terakhir, gejolak protes bermunculan. Warga terus menggarap tanah-tanah mereka yang sebelumnya diklaim perusahaan. “Apalagi di lokasi-lokasi yang ditelantarkan,” kata Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sulawesi Selatan.

Warga, kata Rizki tahu dan tidak pernah lupa letak tanahnya, meskipun telah diselimuti hamparan tebu. “Ini tanahnya, tanah orang tuanya, tanah kakeknya yang dirampas.”

“Dalam proses advokasi, kami terus mendorong, pelaksanaan reforma agraria, penyelesaian konflik, menuntut negara menjalankan keadilan agraria, prinsip-prinsip reforma agraria yang mewajibkan negara melihat ketimpangan agraria yang terjadi di daerah-daerah.

“Apalagi,” lanjut Rizki, “ini ada sejarah perampasan, kita tahu wilayah Polongbangkeng, salah satu kecamatan di Takalar, yang petani guremnya sangat tinggi.”

Hasriani Daeng Ati/Muh Aidil/Bollo.id
Hasriani Daeng Ati/Muh Aidil/Bollo.id

***

44 tahun telah berlalu. Hoda kini berusia 64 tahun, dia memiliki dua anak dan lima orang cucu. Tiap hari, dia bolak balik ke kebunnya yang dia duduki kembali. 

Salasari sudah berusia 60 tahun, memiliki dua anak dan dua orang cucu. Dia menghabiskan hari-harinya menjaga warung klontongan miliknya, sementara suaminya masih menggarap tanahnya yang tersisa, yang beberapa bulan lalu hendak digusur dan diklaim oleh Pemerintah Gowa, demi memperluas areal bumi perkemahan. Karena itu, Sijaya dan kawan-kawannya harus berjaga selama tujuh bulan di kebunnya. Memastikan kesewenang-wenangan tidak lagi terjadi.  

Dan Hasriani baru saja merenovasi rumahnya. Suaminya baru saja meninggal.

Tiga perempuan ini saling bertetangga di Desa Lassang Barat. Mereka berhubungan keluarga dan saling menguatkan dalam perjalanan panjang perjuangan ini.

Mereka yang dulu berusia muda dan anak-anak–ketika perusahaan merenggut tanahnya, kini telah menjadi ibu dan seorang nenek. Melintasi berbagai teror, intimidasi, dan kemalangan.

Apa yang menimpa mereka puluhan tahun lalu, telah mengubah arah hidup mereka. Selagi tanah-tanah itu belum kembali, mereka menjalani hari-hari penuh pergumulan. Bertahan hidup. Berjudi dengan masa depan.

Ketika mereka turun berdemonstrasi, berhadap-hadapan dengan pemerintah, aparat, dan perusahaan, mereka tidak hanya berjuang dan mengasa ingatan, tetapi juga mendidik anak cucu mereka, bahwa perlawanan ini–seberapa mahalnya–adalah demi kehidupan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Editor: Agus Mawan W


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam