Desa Lassang Barat di Kecamatan Polongbangkeng Utara dikelilingi tanaman tebu milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 1 Regional 8 (sebelumnya PTPN XIV) di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Satu perusahaan plat merah, milik negara.
Setidaknya, dua dekade sejak beroperasi, perusahaan pabrik gula itu telah melanjutkan konflik agraria yang ditinggalkan PT Madu Baru, perusahaan industri gula dari Jogjakarta, yang sebelumnya beroperasi. Menambah derita bagi warga yang bermukim di sana selama puluhan tahun.
Sebelum PTPN beroperasi di tanah garapan warga, mereka hidup rukun dan sejahterah. Mereka mengelola tanah itu jadi sawah, ladang dan tempat tinggal–sebagai satu ruang hidup keluarga. Tapi semuanya telah berubah. Perusahaan datang. Dan tanah-tanah pun juga terenggut.

Pada Jumat 18 April 2025, saya menemui sejumlah warga di Desa Lassang Barat, Takalar. Para perempuan yang mengalami konflik ini berpuluh-puluh tahun. Mendengarkan cerita mereka yang kini hidupnya tak menentu, sejak ekonominya diruntuhkan.
Beberapa warga yang saya temui tak ingat lagi tahun berapa tanah mereka direnggutperusahaan, melalui serangkaian manipulasi dan intimidasi.

Dalam setiap pertemuan, para warga mengungkapkan bahwa perusahaan pabrik gula yang mereka kenal dengan sebutan PTPN itu, merenggut tanah mereka melalui Kepala Desa, yang memerintah waktu itu. Kepada warga, kepala desa bilang, tanah mereka hanya dipinjam selama 25 tahun, terhitung sejak awal 1980-an.
Sang kepala desa yang memerintah saat itu adalah seorang karaeng, seorang keturunan bangsawan, yang punya keputusan mutlak, sangat disegani, dan ditakuti warga.
Bagi mereka, melawan perintah karaeng sama saja dengan mencari masalah. Para warga yang menolak menyerahkan lahan mereka, akan diusir dari kampung.
Beberapa diantara mereka yang menolak kesewenang-wenangan sang kepala desa memilih meninggalkan kampung. Namun, hal ini tak merubah apa-apa. Tanah mereka tetap terenggut.
“Kalau kita diancam ditembak, dia tembak betulan kita. Dulu bahkan pas bikin jalanan, orang diminta angkut batu kalau tidak datang pasti dipukul,” kata Hoda Daeng Paning.
Inilah yang membuat warga di Desa Lassang (sekarang Lassang Barat setelah dimekarkan) tak dapat berbuat banyak saat lahan mereka diminta sang kepala desa untuk dikosongkan, kemudian diambil alih oleh perusahaan. Pertama oleh PT Madu Baru, kemudian, PTPN.
Pada akhirnya, perusahaan pabrik gula itu berdiri di sana pada Agustus 1984. Dengan mengelola lahan seluas 6000 hektare di Takalar, termasuk di Desa Lassang Barat, Kecamatan Polongbangkeng Utara, setelah mendapat dukungan dari pemerintah.

Seluruh tanaman milik warga yang ada di lahan itu diratakan dengan tanah. Beberapa warga menerima ganti rugi, tapi beberapa menilai harga ganti rugi tidak adil.
Selama PTPN beroperasi, warga menduga tanah-tanah mereka dikontrak, sesuai pernyataan kepala desa. Namun, setelah 25 tahun berlalu, tanah mereka tidak kembali. Dalam rentang tahun 2007-2009–25 tahun sejak tanah mereka diserahkan–warga mulai mempertanyakan kontrak itu, tetapi tidak mendapatkan penjelasan yang jernih.
Mereka mulai menduduki lahan yang dikelola perusahaan, kemudian membangun pondok-pondok kebun dan menanaminya dengan berbagai tanaman pangan.





9 Juli 2024, HGU PTPN XIV telah berakhir. Tetapi hingga kini perusahaan pabrik gula itu masih beroperasi, memicu amarah warga yang tertanam hampir separuh abad.
Ketakutan mereka yang dulu kini telah lenyap dan berubah jadi kekuatan. Mereka melawan pihak perusahaan dengan berbagai cara. Berdemo dan mulai menanami lahan mereka kembali di tanah itu.
Saya mengunjungi beberapa lokasi lahan warga. Di tempat itu, sudah terdapat berbagai tanaman yang tumbuh, seperti padi, jagung, dan ubi. Sejumlah pataka keteguhan hati dan gelombang protes juga dipasang pada sudut-sudut lahan itu.
Sementara, tebu-tebu milik perusahaan yang ditanam di atas lahan milik warga pada beberapa lokasi tumbuh dengan liar dan tak terawat. Dan kini, tebu-tebu telah dianggap ilegal oleh warga. “PTPN tidak lagi punya dasar. HGU,” kata seorang warga.




Editor: Agus Mawan W
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo