PPSS dan YLBHI-LBH Makassar serta orang-orang yang bersolidaritas untuk petani Lutim yang dikriminalisasi/Foto: KPA Sulsel
PPSS dan YLBHI-LBH Makassar serta orang-orang yang bersolidaritas untuk petani Lutim yang dikriminalisasi/Foto: KPA Sulsel

Praktik Ugal-ugalan BUMN Kriminalisasi Petani di Lutim

Alih-alih melindungi petani dari upaya perampasan ruang hidup, negara melalui perusahaan dan aparatusnya justru menjadi aktor

Bollo.id — Enam orang petani, anggota Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS) telah memenuhi panggilan di Polres Luwu Timur. Mereka didampingi tim hukum dari YLBHI-LBH Makassar bersama Sekretaris Jenderal PPSS.

Pemanggilan ini sekaitan dengan laporan dari salah satu karyawan BUMN PTPN XIV Lutim. Dalam pemanggilan pada Rabu, 15 Januari 2025 ini, sekitar 50-an petani lainnya ikut mendampingi sebagai bentuk dukungan perjuangan serta solidaritas anggota serikat. 

“Pemanggilan ini adalah salah satu bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh PTPN atas aksi demonstrasi ratusan petani dan reklaiming sejak tanggal 11 Desember 2024 hingga saat ini,” tulis keterangan dalam siaran pers Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel yang diterima redaksi Bollo.id, Rabu.

PPSS Desa Mantadulu, beserta beberapa anggota serikat dari desa Taripa dan Tawakua sempat berdemonstrasi sebagai puncak dan akumulasi kemarahan akibat perampasan tanah-tanah rakyat setempat dan lahan-lahan petani transmigrasi.

Petani trans dari beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Barat, Pulau Jawa, Bali serta dari beberapa kabupaten di Sulsel. Serikat tani mendirikan tenda-tenda perjuangan dan meminta semua aktivitas ilegal PTPN dihentikan. 

“Perlu diketahui bahwa tanah milik petani dari tiga desa yaitu Mantadulu, Tawakua dan Taripa telah dirampas oleh PTPN IV (dulu XIV) sejak tahun 1994 hingga hari ini,” ungkap KPA Sulsel.

Menurut laporan KPA Sulsel, perusahaan plat merah ini masuk membuka areal perkebunan kelapa sawit di Desa Mantadulu, Desa Tawakua, dan Desa Taripa, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu (dahulu) dan sekarang Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur. 

Klaim HGU PTPN XIV saat ini di kecamatan Angkona, Luwu Timur merupakan lahan pengganti eks HGU perkebunan karet PTPN XIV (Persero) di Desa Baramamase, Kecamatan Walenrang, Luwu yang diambil alih oleh pemerintah daerah.

Itu merujuk dengan Surat Bupati Kepala Daerah TK II Luwu No:590/193/Pem.Umum, Rekomendasi Gubernur Provinsi Daerah TK I Sulsel No. 593.41/3765/BKPMD, tanggal 9 Juli 1990, Surat Bupati Kepala Daerah Tk II Luwu No. 552 Tahun 1994, izin lokasi BPN Kabupaten Luwu No: 460.12-14-53-08/1994, 27 Desember 1994, Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah TK II Luwu Utara tentang Perpanjangan izin lokasi Nomor: 44 Tahun 1999, tanggal 2 Oktober 1999. 

Lahan pengganti eks HGU perkebunan karet PTPN XIV (Persero) di Desa Baramamase, Kecamatan Walenrang, Luwu, kemudian dipindahkan ke Kecamatan Malili (Kecamatan Angkona saat ini).


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Lahan itu merupakan tanah transmigrasi yang di atasnya telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Surat Keterangan Tanah (SKT) warga transmigrasi. Serta lahan garapan warga lokal dan lahan garapan secara turun-temurun. 

“Praktik ugal-ugalan pelanggaran hukum oleh Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, Pemerintah Pusat, Daerah hingga Aparat Penegak Hukum dalam pencaplokan tanah tanah rakyat yang seharusnya dilindungi Konstitusi, UUPA, TAP MPR IX/2001 Tentang PA-PSDA justru diabaikan,” tegas KPA Sulsel.

Dalam rentang waktu 30 tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanahnya.  Atas aduan masyarakat, pada 4 Juni 1999, Komnas HAM mengirimkan surat kepada Gubernur Sulsel, meminta penyelesaian kasus di Wana-wana, Desa Mantadulu.

Gubernur kala itu diminta agar menyelesaikan permasalahan tersebut karena merugikan warga. Pada tahun 2003 para petani berdemonstrasi menutup akses jalan perusahaan, sampai ke DPRD kabupaten. Hasilnya, pasukan Brimob turun dan merepresi warga. 

“Kemudian ketika mereka berhasil mengambil lahan sawit tahun 2004 seluas 455 hektar, perusahaan kembali menekankan biaya kepada mereka. Besaran tak tentu dari setiap luasan lahan. Ada yang membayar ratusan hingga jutaan rupiah,” lanjut laporan KPA Sulsel.

Pada 25 Januari 2005 Bupati Luwu Timur mengeluarkan SK pembentukan tim verifikasi konflik, kemudian pada tahun 2008 kembali dikeluarkan SK Tim Pemetaan Tanah Garapan Warga. 

Pada 13 Juli 2017 masyarakat resmi melayangkan gugatan terhadap PTPN XIV, dalam proses persidangan terungkap bahwa PTPN XIV Mantadulu tidak memiliki HGU.

Dalam laporan KPA, konflik agraria dan ketimpangan akut yang terjadi saat PTPN XIV beroperasi dan telah melahirkan penggusuran skala luas juga kemiskinan. Dalam tiga dekade terakhir terjadi letusan konflik di berbagai daerah. 

Dari pantauan publikasi ATR/BPN, total ada 32 kecamatan dan 112 desa atau kelurahan yang berada di 9 kabupaten dan di 6 kabupaten HGU-nya telah berakhir tapi terus menjadi sumber konflik agraria utama. 

“Jika perusahaan dan pengusaha diberikan kemudahan sangat istimewa dalam memonopoli kekayaan negara dan tanah, berbanding terbalik dengan penguasaan rakyat,” lanjut laporan KPA Sulsel.

Tak mengherankan jika hasil Sensus Pertanian BPS Desember 2023 menyebutkan: rumah tangga pengguna lahan pertanian di Sulawesi Selatan berjumlah 1.010.912 dengan petani gurem sebesar 426.742 atau sebesar 42.21 persen keluarga. 

Angka ini naik 69.72 keluarga dari tahun 2013 atau dalam rentang 10 tahun. Persentase petani gurem di Sulsel ini adalah tertinggi di Pulau Sulawesi yaitu sebesar 41.23 persen dari 338.108 RTP tahun 2013 menjadi 426.272 RTP tahun 2023 atau naik 20,62 persen.

Atas situasi dan peristiwa yang terjadi KPA Sulsel, PPSS menuntut dan mendesak agar Kapolri menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan bentuk ancaman lainnya kepada petani-petani di Kecamatan Angkona, Luwu Timur yang sedang berhadapan dan memperjuangkan hak atas tanahnya dari perampasan PTPN selama puluhan tahun.

Mereka juga meminta otoritas penegak hukum mengusut dan menyelidiki praktik dugaan korupsi agraria PTPN IV PKS II Luwu Wilayah Angkona atas aktivitas ilegal perkebunan tanpa HGU selama puluhan tahun dan merampas tanah-tanah rakyat, garapan petani dan lahan transmigrasi yang sah dan memiliki SHM.

Terakhir, mereka meminta agar Presiden menginstruksikan kepada Menteri ATR/BPN, Kementerian BUMN dan seluruh jajaran Pemerintah Pusat, Pemprov Sulsel, Pemkab Lutim untuk segera mengembalikan tanah-tanah garapan dan kampung-kampung tua milik masyarakat di Mantadulu, Tawakua dan Taripa dalam agenda reforma agraria.


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Skip to content