Salah satu sudut kawasan bentang alam karst/Emi Sulfiana/Bollo.id
Salah satu sudut kawasan bentang alam karst/Emi Sulfiana/Bollo.id

Melihat Kehidupan di Balik Gugusan Karst Maros

Kawasan karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan yang merupakan hamparan karst kedua terbesar di dunia. Menyimpan kisah menakjubkan dari segi geografis, sungainya yang amat indah, keanekaragaman hayati seperti flora dan faunanya, satwa endemiknya, sampai artefak prasejarah yang tersimpan di gua-gua karst itu.

Di dunia ini, ada banyak ragam bentang alam yang keberadaannya sangat penting bagi keberlangsungan hidup kita dan harus kita jaga kelestariannya. Salah satu bentang alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup semua makhluk adalah karst.

Di Indonesia, kawasan karst memiliki luas kurang lebih 15,4 juta hektar yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Salah satunya kawasan karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan yang merupakan hamparan karst kedua terbesar di dunia. Menyimpan kisah menakjubkan dari segi geografis, sungainya yang amat indah, keanekaragaman hayati seperti flora dan faunanya, satwa endemiknya, sampai artefak prasejarah yang tersimpan di gua-gua karst itu.

Kata karst berasal dari Bahasa Slovenia, kras yang berarti lahan berbatu. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu kawasan di perbatasan Yugoslavia-Slovenia dan Italia Utara. Kawasan tersebut terdiri dari batuan dan oak. Kini, karst banyak dikenal sebagai kawasan bentang alam dengan bentuk hamparan atau batuan gamping. Secara geologis karst juga mengacu pada permukaan tanah dari bebatuan mudah larut, batuan kapur, dan batu garam yang mengalami pelarutan akibat air permukaan dan bawah tanah.


Baca:


Saya berencana memulai tulisan ini dengan sudut pandang kehidupan masyarakat di sekitar kawasan karst.

Di suatu pagi cerah, di antara tebing-tebing karst yang menjulang tinggi dengan suara arus air mengalir di lereng-lereng bebatuan dan tanaman yang teduh, saya dan pacar saya, Yohanes ingin mengunjungi sebuah kampung di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

Kami bersepeda motor dengan pelan-pelan, kami berbincang banyak hal di sepanjang jalan hutan Karaengta. “Ini,” kata Yohanes, menunjuk gunung batu yang ada di kanan kiri. “Kalau karst ini hancur, tidak ada petani yang hidupnya akan makmur.”

Kami berbincang lama dan tak terasa kami sudah di pertengahan jalan dengan sebuah pemandangan bentang alam karst memukau.

Di sebuah lekukan jalan, deretan kera yang berkeliaran mengejutkan saya. Saya tak berkutik sedikit pun dibuatnya. Saya terdiam, tapi saya tetap berpikir, bertanya-tanya.

Kenapa bisa mereka keluar ke jalan menampakkan dirinya? Bahkan hampir semua, mereka berada di pinggir jalan poros?

Menurut Yohanes, beberapa titik yang akan kita lalui—di sepanjang jalan ini—adalah habitat Macaca maura, spesies kera endemik sulawesi. Mereka keluar demi mencari makan, kata Yohanes.

“Apa makanan untuk Macaca maura?” tanyaku sambil memerhatikan satwa itu berulang kali.

“Mereka makan beberapa tumbuhan hutan seperti tumbuhan pikus,“ katanya.

Pikus merupakan pohon dengan batang yang kuat. Akarnya menyembul di antara bebatuan karst dan memiliki akar gantung. Buahnya jadi makanan hewan seperti kera. Pikus adalah makanan utama untuk Macaca maura.

Tak terasa dengan menempuh kurang lebih 40 menit perjalanan dari Kota Maros, kami sudah sampai di rumah seorang kawan lama kami bernama Lotto. Kami bercerita tak begitu lama karena tujuan kami ingin mengunjungi sebuah rumah kebun yang ada di tengah hutan karst di sana. Kami bertiga mulai menjajaki Hutan Kappang dengan penuh semangat, sambil membincangkan beberapa topik serius dengan lontaran lelucon.

Kami pun mencapai rumah kebun itu. Sekarang, waktu menunjukkan pukul 15.05. Kami pun segera memasak.

Rumah itu punya satu tungku dengan tumpukan kayu bakar tersusun rapi di sampingnya. Kami lekas membuat api di tungku itu dan tak lama kemudian gempulan asap memenuhi rumah dan keluar dari sela-sela rumah kebun itu.

Air yang kami masak akhirnya mendidih dan kami akan memasak nasi dengan lauk ikan kering. Dari sini,  suara air sungai terdengar mengalir melewati pematang sawah di samping rumah kebun.

Rumah kebun ini dikepung hamparan sawah yang luas, membentang sejauh mata memandang. Tidak jauh dari aliran sungai kecil terdapat Gua Leang, di mana air mengalir.

Di ujung gua itu ada mata air yang begitu jernih. Masyarakat menyebutnya jenne tallasa, air kehidupan.

Jenne Tallasa/Emi Sulfiani/Bollo.id
Jenne Tallasa/Emi Sulfiani/Bollo.id

Petani dan masyarakat di desa itu memanfaatkan mata air itu sebagai saluran irigasi sawah serta menjadi sumber air bersih dan penghidupan desa itu. Di atas mata air itu ada batuan gamping yang ditumbuhi pohon-pohon hijau.

Batuan itu disebut karst atau masyarakat biasa menyebutnya bulu batua, atau gunung berbatu. Gunung itu membentang luas, diselimuti tumbuhan hijau, membentang dari arah selatan ke utara mengelilingi sawah serta kebun masyarakat di sekitarnya.

Tak jauh dari situ, suara mesin pompa air berbunyi. Di situ ada seorang petani dengan saraung, topi petani. Pompa itu menyedot air dari sungai mata air itu. Ia, mengairi petak-petak sawah.

Di sini, semua aktivitas pertanian–mulai–dari air hingga tanah mereka bergantung pada keajabaian batuan gunung itu. Air yang mereka gunakan itu berasal dari mata air yang tak pernah mengering, dan terus keluar dari gunung batu. Belum lagi gunung batu itu mengelilingi hamparan sawah dengan tanah yang subur. Beragam tanaman dapat tumbuh terutama padi, kacang, kedelai, jagung serta sayur-sayuran dan jenis umbi-umbian.


Bollo.id saat ini sedang bersama sepuluh orang muda di Sulawesi Selatan, mengembangkan jurnalisme warga. Orang muda ini berasal dari wilayah yang beririsan dengan berbagai konflik lingkungan, dari ancaman reklamasi hingga pertambangan.

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Di pondok milik Daeng Tene ada sebuah wajan besar tempat nira aren itu akan dimasak selama lima jam, sampai mengeras dan menjadi gula aren khas/Emi Sulfiana/Bollo.id
Di pondok milik Daeng Tene ada sebuah wajan besar tempat nira aren itu akan dimasak selama lima jam, sampai mengeras dan menjadi gula aren khas/Emi Sulfiana/Bollo.id

Sore itu saya diajak ke gunung karst untuk massari pohon inru, mengambil air nira aren. Kami menelusuri hutan melewati karst-karst yang menjulang tinggi dan melewati kebun-kebun yang begitu subur. Kurang lebih 30 menit kami berjalan kaki dan sampai di tengah hutan.

Kami menyambangi sebuah rumah kebun sederhana yang terbuat dari atap inru, berdinding papan, milik Daeng Tene.

Di dalam, ada sebuah wajan besar tempat nira aren itu akan dimasak selama lima jam, sampai mengeras dan menjadi gula aren. Saat kami berjumpa, Daeng Tene sedang menunggu suaminya turun dari pohon aren untuk mengumpulkan nira aren.

Hari itu sangat melelahkan tetapi menjadi pelajaran bagi saya bahwa ternyata kawasan karst atau masyarakat biasanya menyebut gunung batu, sangatlah penting, utamanya sebagai sumber penghidupan masyarakat yang ada di kawasan ini.

Gula aren hasil olahan Daeng Tene/Emi Sulfiani/Bollo.id
Gula aren hasil olahan Daeng Tene/Emi Sulfiani/Bollo.id

Karst dan Ancaman Tambang

Akan tetapi, dari keindahan gugusan karst serta senyum kebahagiaan para petani yang tak bisa saya gambarkan melalui tulisan, ancaman-ancaman eksploitasi tak henti-hentinya datang menggempur masyarakat sekitar kawasan karst.

Pada suatu sore, saya melewati jalan di Desa Tukamasea dan Desa Baruga, Kabupaten Maros. Beberapa kendaraan berbobot besar lalu lalang, debu-debu beterbangan di mana-mana, anak-anak kecil lalu lalang sambil berlari. Dedaunan dari pohon-pohon di sana tak berwarna hijau segar. Jika Anda menyentuhnya, maka telapak tangan Anda akan berubah menjadi abu-abu dengan debu menempel.

Di sepanjang jalan itu  terdapat pagar besar dari batako yang sangat panjang dan menjulang tinggi, menjadi pembatas antara kampung dan kawasan pertambangan. Tepat di depan pagar besar itu, terpampang lebar papan yang bertuliskan; wilayah ini milik salah satu perusahaan semen swasta.

Beberapa orang pekerja keluar masuk kawasan tambang dengan berbagai pasang wajah. Saya mengendarai sepeda motor dengan sangat hati-hati karena jalanan itu rusak dan berlubang juga berdebu, membuat saya sesak napas. Beberapa menit saya menyaksikan itu, saya sudah sampai di salah satu rumah warga Desa Baruga, membawa beberapa barang pesanannya.

Aco (nama yang disamarkan), seorang warga lokal yang mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan. Dia pekerja keras dan telaten.

Kadang-kadang dia menjadi buruh bangunan, dan kadang dia menjadi petani. Kami berbincang banyak hal, termasuk seputar aktivitas-aktivas pertambangan yang ada di sana. Saya menawarkan beberapa bibit tanaman untuk ditanam sekitar rumahnya, karena di sana cuaca sangat panas. “Kalo di sini, Dek,” kata Kak Aco pada saya.

“Tidak ada tanaman yang tumbuh subur, walaupun agak jauh dari lokasi tambang tapi debunya di sini yang bahaya. Coba kita liat daun-daun sama pohon warnanya abu-abu semua.”              

Rumah-rumah warga di desa itu berjejer, tak ada satu pun atapnya yang tidak dipenuhi debu tambang.

Miris bukan?

Masyarakat di sana untuk bernapas saja sangat susah.

Bagaimana dengan lahan-lahan mereka? Sawah mereka? Air? Bagaimana air yang setiap harinya mereka gunakan sebagai sumber penghidupan yang sumber utamanya berasal dari karst dan hilang begitu saja?

Air sungai yang bersih dan jernih, berasal dari dalam karst, kini, menjadi saluran pembuangan limbah pabrik semen.

Gunung-gunung batu diledakkan tanpa henti. Perampasan ruang-ruang hidup masyarakat. Hilangnya sumber penghidupan masyarakat kawasan karst menjadi ancaman ekologis yang perlu dituntaskan segera. Pemerintah perlu menaruh perhatian serius dan selektif mengatur pengeloaan kawasan karst yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Untuk anak cucu kita kelak.

Di kawasan karst, masyarakat lokal hidup dari hasil pertanian melimpah/Emi Sulfiani/Bollo.id
Di kawasan karst, masyarakat lokal hidup dari hasil pertanian melimpah/Emi Sulfiani/Bollo.id

Emi Sulfiana

Emi Sulfiana, orang muda dari Maros. Emi berkontribusi untuk Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

ollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut.
Skip to content