Bollo.id — Perjuangan Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Bantaeng untuk menuntut penuntasan hak ketenagakerjaan mereka oleh perusahaan terus berlanjut. Persoalan ini merupakan imbas dari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut SBIPE, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia merumahkan 350 buruh Tahap Dua (T2/PT Wuzhou) tanpa dasar hukum, tanpa dialog, dan tanpa kepastian hak. Keputusan sepihak itu diberlakukan sejak 1 Juni 2025.
Mereka menilai, persoalan ini menjadi puncak dari pola eksploitasi serta pengabaian hak-hak normatif buruh yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Sebagai bentuk perlawanan, SBIPE bersama ratusan buruh menggelar aksi protes di depan gerbang perusahaan. Dalam aksinya, mereka menyerukan pembatalan kebijakan merumahkan buruh secara sepihak dan mendesak agar seluruh hak buruh segera dipenuhi.
Tindakan Ilegal dan Manipulatif
Menurut SBIPE, merumahkan buruh tanpa dasar hukum jelas adalah pelanggaran serius. UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa pekerja yang tidak bekerja bukan karena kesalahannya tetap berhak atas upah penuh.
“Namun, hingga saat ini, PT Huadi belum memberi kepastian mengenai pembayaran upah kepada 350 buruh yang telah dirumahkan selama lebih dari sebulan,” keterangan dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, 11 Juli 2025.

Perusahaan juga menggunakan istilah “dirumahkan”. Istilah yang tidak diakui dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Hal itu dilakukan untuk menghindari kewajiban membayar upah buruh dan menutupi pelanggaran administratif yang sebenarnya adalah PHK terselubung.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Ini bentuk manipulasi terang-terangan. PT Huadi menciptakan istilah yang tidak ada dalam hukum, lalu menggunakannya untuk menghindari kewajiban membayar upah. Kami menyebut ini kejahatan hubungan industrial,” tegas Ketua SBIPE Bantaeng, Junaid Judda.
Pelanggaran yang Sudah Terjadi Bertahun-Tahun
Kasus ini bukan kejadian pertama. SBIPE mencatat bahwa sejak Desember 2024 hingga Mei 2025, PT Huadi telah melakukan serangkaian PHK sepihak terhadap ratusan buruh dari berbagai divisi, termasuk Tahap Satu (T1/Yatai) dan Tahap Dua (T2/Wuzhou).
“Tidak satu pun proses PHK dilakukan melalui dialog yang setara, sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” ungkap Junaid Judda.

SBIPE menegaskan bahwa PT Huadi secara konsisten mengabaikan hak-hak normatif buruh selama bertahun-tahun. Pelanggaran ini meliputi pembayaran upah lembur yang tidak sesuai ketentuan.
Buruh bekerja lembur hingga 4 jam per hari selama 20 hari kerja dalam sebulan, namun upah lembur mereka tidak pernah dibayarkan secara penuh.
Kemudian pelanggaran terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP). Sampai pertengahan tahun 2025, perusahaan belum menerapkan UMP sesuai ketentuan hukum.
Baca juga:
- Gelombang PHK Sepihak Pekerja Pabrik Smelter Nikel di Bantaeng dan Tawaran Kompensasi yang Minim
- Smelter, Petaka bagi Petani Rumput Laut Bantaeng
Junadi bilang, kondisi ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 90 UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan pengusaha membayar upah tidak kurang dari upah minimum.
“Kami melihat pola yang sangat jelas: Huadi tidak pernah berniat memenuhi kewajibannya. Mereka menunda, menghindar, dan ketika ditekan, mereka malah merumahkan buruh. Ini bentuk pengabaian yang sistematis dan disengaja,” ujar Junaid Judda.
Puncak pelanggaran terjadi pada akhir Juni 2025. Pada 25 Juni, manajemen PT Huadi menggelar pertemuan tertutup bersama para leader T1 dan T2 di ruang Pos 1. Hadir dalam pertemuan: Andi Adrianti Latippa, Manager HRD PT Huadi; Sunardilla, HR Yatai (T1); Rey, HR Wuzhou (T2).
Lima hari kemudian, pada 30 Juni 2025, para leader diminta menyampaikan kepada buruh bahwa mereka tidak boleh masuk kerja selama 3 bulan terhitung 1 Juli 2025. Tidak ada surat resmi. Tidak ada kesepakatan dengan serikat buruh. Tidak ada jaminan soal upah. Semuanya diputuskan sepihak.
Tuntutan SBIPE
Menyikapi serangkaian pelanggaran dan indikasi kuat bahwa PT Huadi akan terus menghindar dari tanggung jawabnya, SBIPE menyampaikan sederet tuntutan. Pertama mereka meminta pembatalan aturan sepihak merumahkan buruh, dan bayarkan seluruh upah serta tunjangan 350 buruh yang dirumahkan.
Selanjutnya, bayarkan seluruh kekurangan upah lembur yang belum dibayarkan kepada semua buruh PT Huadi. Segera terapkan UMP 2025, dan bayarkan kekurangan upah dari Januari hingga Juni.
SBIPE juga minta Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan segera melakukan audit menyeluruh terhadap praktik ketenagakerjaan PT Huadi, serta menindak tegas pelanggaran yang terjadi.

Mereka juga mendesak DPRD Bantaeng segera membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki pelanggaran sistematis yang diduga dilakukan perusahaan terhadap buruh.
“Kami menuntut keadilan untuk 350 buruh, sekaligus mendesak penyelenggara negara untuk hadir, menindak perusahaan yang dengan sadar melanggar hukum, dan memastikan tidak ada lagi buruh yang diperlakukan seperti ini,” tegas Junaid Judda.
SBIPE berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini, menempuh jalur hukum, dan membangun solidaritas luas dengan jaringan serikat buruh, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil.