Bollo.id — Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIP) Bantaeng bersama Balang Institute mengecam keras tindakan sewenang-wenang PT Huadi Nickel Alloy Indonesia yang secara sepihak menerapkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Merujuk dalam informasi yang diterima serikat, terdapat 11 buruh yang kehilangan pekerjaan akibat PHK sepihak oleh perusahaan smelter nikel itu terhitung sejak 3 April 2025. Menurut informasi serikat, PHK diterapkan dengan alasan “efisiensi untuk mencegah kerugian”.
Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi Kawasan Industri Bantaeng (SBIPE-KIBA), Junaid Judda bilang, informasi itu juga disampaikan perusahaan tanpa melalui proses musyawarah atau perundingan dengan para pekerja atau perwakilan serikat buruh.
“Langkah ini bukan hanya melanggar prinsip keadilan dalam hubungan industrial, tapi juga menunjukkan bagaimana buruh menjadi pihak pertama yang dikorbankan ketika perusahaan mengalami tekanan atau menyusun strategi bisnis internal,” katanya dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Senin, 24 Maret 2025.
Junaid menegaskan, alasan efisiensi tidak serta-merta dapat dibenarkan untuk mem-PHK buruh tanpa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam surat PHK, perusahaan merujuk pada Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Namun dalam praktiknya, alasan efisiensi yang dipakai oleh PT Huadi sama sekali tidak disertai bukti akuntabel seperti laporan keuangan terbuka, restrukturisasi yang sah, atau adanya transparansi terkait kondisi perusahaan,” tegas Junaid.
Junaedi Hambali dari Balang Institute mengatakan, efisiensi yang dibebankan kepada buruh tanpa keterlibatan mereka dalam proses dan tanpa pengorbanan yang setara dari manajemen adalah bentuk ketidakadilan struktural.
“Ketika perusahaan meraih keuntungan, buruh sering kali diabaikan; namun ketika perusahaan menghadapi risiko atau tekanan, buruh justru yang pertama-tama dikeluarkan” ujar Junaedi.
Apalagi, PHK dilakukan terhadap buruh-buruh yang sebagian besar adalah warga lokal Bantaeng di momen puasa yang selama ini hanya mengandalkan pekerjaan di sektor tambang untuk menghidupi keluarganya.
Kompensasi senilai Rp25.563.636 yang ditawarkan pun, dianggap jauh dari cukup dan patut diduga berada di bawah ketentuan minimum jika mengacu pada masa kerja dan hak normatif lainnya.
Atas dasar itu, SBIP mengecam keras keputusan PHK sepihak oleh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai bentuk pengabaian terhadap hak-hak pekerja. Serikat menolak alasan efisiensi sebagai dasar PHK karena tidak disertai bukti objektif dan dilakukan tanpa musyawarah, sehingga cacat secara hukum dan moral.
SBIP mendesak Bupati Bantaeng untuk segera mengambil langkah tegas melindungi warganya dari gelombang PHK sepihak ini. Termasuk memfasilitasi mediasi dan mengawal hak-hak pekerja secara aktif.
Mereka juga menyerukan kepada seluruh serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, dan media lokal untuk bersama-sama mengawasi dan menyuarakan penolakan terhadap praktik PHK sewenang-wenang oleh perusahaan tambang dan smelter di Bantaeng.
Posko perlindungan pekerja cegah gelombang PHK
Untuk mengantisipasi gelombang PHK terus berlanjut SBIPE, Balang Institute dan LBH Makassar membuka posko perlindungan pekerja KIBA. Junaedi mengatakan, posko menerima pengaduan untuk konsultasi maupun pendampingan bagi buruh yang di-PHK.
Begitu juga yang terancam di-PHK dan mendampingi buruh untuk memastikan hak-haknya dipenuhi oleh perusahaan. ”Kami juga akan menggelar aksi protes atas gelombang PHK ini,” ungkap Junaid Judda.
SBIPE percaya bahwa pembangunan industri seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan martabat dan kepastian hidup pekerja. “Keamanan kerja bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan soal keadilan dan kelangsungan hidup manusia,” Junaid menegaskan.
DPRD Sulsel telah memanggil PT Huadi Nickel Alloy soal dampak lingkungan dari aktivitas tambang
Pada 21 Maret 2025, Komisi D DPRD Sulsel memanggil pihak PT Huadi Nickel Alloy dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) sebagai respons legislatif atas aspirasi masyarakat soal dampak lingkungan, sosial, serta kepatuhan perusahaan terhadap regulasi yang berlaku.
“Komisi D ingin memastikan bahwa aktivitas pertambangan berjalan sesuai aturan dan tidak merugikan masyarakat sekitar. Dalam pertemuan ini, DPRD menghadirkan berbagai pihak,” keterangan yang dilansir dari laman resmi DPRD Sulsel.
Termasuk perwakilan perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat terdampak. Pembahasan mencakup aspek izin lingkungan, pengelolaan limbah, serta tanggung jawab sosial perusahaan terhadap warga setempat.

DPRD Sulsel berkomitmen untuk mengawal permasalahan ini dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, khususnya masyarakat Bantaeng yang terdampak oleh aktivitas pertambangan.
Direktur PT Huadi Bantaeng Industry Park, Lily Dewi Candinegara mengatakan telah mengalokasikan dana Rp2 miliar untuk pergantian masyarakat, meskipun belum ada penelitian yang membuktikan dampak langsung dari aktivitas industri terhadap mereka.
Huadi Group katanya, hadir atas undangan pemerintah daerah yang menawarkan kawasan industri seluas 3.000 hektar. Namun, kawasan tersebut masih dihuni masyarakat dan terdapat aktivitas pertanian, yang seharusnya tidak terjadi dalam kawasan industri.
“Seingat saya, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) telah diakui oleh ATR/BPN di pusat. Beberapa kali kami juga sudah melakukan penggantian dana untuk masyarakat yang terdampak,” ungkap Lily dikutip dari Tribun-Timur.com.