Tanah yang Direbut di Malino

Rentetan kejadian pencaplokan tanah oleh cukong membuat warga perlahan sadar dan bersolidaritas untuk membangun kekuatan

Vila berdampingan dengan lahan produktif di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Vila berdampingan dengan lahan produktif di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Truk kecil hingga besar hilir mudik dari Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mobil pengangkut material silih berganti memuat pasir, kerikil, hingga batu.

Kurang lebih lima kilometer dari gerbang masuk ‘Selamat Datang Malino’, sepanjang jalan menuju kawasan hutan pinus nampak jejeran vila mentereng. Papan informasi yang terpampang, sebagai penanda bahwa tiap-tiap vila punya narahubung. 

Memasuki lingkungan Batulapisi, Jalan Sultan Hasanuddin, deretan vila dengan pekarangan luas menarik perhatian. Sebagian mengadopsi arsitektur ala Eropa. Selain vila penuh warna, terhampar lahan yang ditanami stroberi dan daun bawang saling berdampingan.

Jika penataan ruang itu direkonstruksi di kepala, maka kita bisa membayangkan bahwa di lingkungan itu dulunya adalah hamparan lahan yang luas. Pada faktanya, Batulapisi Dalam dulunya hanya ruang bertani dan berkebun.

“Dulunya sawah semua”, kata warga, Saridah. Lanskap desa asri itu hanyalah ingatan atau memori. Anak cucunya kini tidak terlalu menikmati keindahan desa yang sama persis seperti dirinya semasa kanak-kanak.

Karena itu, Saridah dan suaminya teguh untuk tetap memiliki lahan. Memanfaatkan lahannya agar bisa dinikmati keturunannya. “Tanah bisa untuk anak cucu, lanjut untuk masa depan”, kata Syamsu Alam, suami Saridah.

Vila di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Deretan vila di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Kepemilikan Tanah

Saridah punya tiga tanah dengan masing-masing bukti kepemilikan. Salah satunya berupa bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Total luas lahannya dua hektare. Tanah itu merupakan hasil berbagi dengan keluarganya.

Awalnya, semua tanah dimiliki oleh kakeknya bernama Cala. Kemudian diberikan ke anaknya, bernama Nala dan dia pun tidak membalik nama PBB itu. Saridah membeli tanah pamannya, Nala. 

Meskipun proses jual beli terjadi antara Saridah dan pamannya, PBB tanah itu masih atas nama kakeknya, Cala. Namun, dikemudian hari, satu lokasi dibalik nama menjadi nama suaminya.

Jadi, Saridah memiliki dua lokasi atas nama kakeknya, Cala dan satu lokasi (rumahnya sekarang) atas nama suaminya, Syamsu Alam. Dua lokasi itu merupakan sawah dan kebun yang produktif.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Pada 2019, seorang cukong mengklaim dua bidang tanah Saridah, sawah dan kebun. Preman suruhan orang tersebut membawa sertifikat tanah yang menunjukkan bahwa tanah itu dibeli pada 1997 atas nama Nala. 

Saat melihat sertifikat itu, Saridah tahu bahwa surat yang di bawa itu adalah palsu. Ia menyadari kesalahan data dan kronologisnya.

“Itu salahnya di surat, lebih tua anak dibanding bapaknya. Nala itu omku. (Di sertifikatnya) lebih tua itu Nala daripada Cala. Padahal, itu Cala, bapak ki,” kata Saridah, kepada Bollo.id, Rabu, 24 September 2025.

Saridah mengungkapkan kesalahan data atas dua bidang tanah yang diklaim orang tersebut. Ia juga mengungkapkan kesalahan data dan kronologis diklaim tanah yang sekarang menjadi rumahnya.

“(Salah satu) di PBB itu atas nama bapaknya. Baru di suratnya itu atas nama Cala. Di tahun itu (1997), di situ ka di lokasi tinggal, sama bapaknya (suami), waktu baru-baru kawin. 1996-1997 di situ ka,” jelasnya.

Ia juga menyebut soal peta lokasi yang tidak lengkap dan tepat. “Sama itu gambar-gambar lokasinya salah. Salah, karena ku tau ki, dulu di sini ada sepah (tanah sisa-bekas). Saya yang timbun,” lanjutnya.

Pemilik Lahan Diintimidasi

Saridah menceritakan pertama kalinya preman mendatangi lahannya. Awalnya, salah satu anggota keluarganya melapor ke dirinya. “Sepupu telepon ka bilang, ada orang di lokasimu,”. 

Ia pun bergegas menuju ke lahannya yang merupakan tanah bersama dengan keluarganya. Suatu hari di tahun 2019, lahannya yang ditanami tomat dan cabai didatangi preman. Mereka mengecor untuk pemasangan tiang papan informasi.

Ia kemudian merekam video aksi preman itu. Teguran, gertakan, dan senjata preman membuatnya takut. “Kalau takutki, ndak bisa ngomong. Menggertaki, kah na liat ka marekam video, marah. Ndak bisa ma ngomong. Baru sendirianku perempuan. Preman semua bawa badik,” kata Saridah.

Tulisan di papan itu menyebut nama orang asing pemilik tanah. Saridah bingung dan heran dengan klaim tanah dari orang lain, padahal ia sudah memiliki lahan itu bertahun-tahun bahkan turun temurun.

Papan informasi vila disewakan di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Papan informasi vila disewakan di lingkungan Batulapisi Dalam, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Bintara Pembina Desa (Babinsa) ikut memberitahukan Saridah bahwa ia harus menjual tanahnya kalau tidak mau dipenjara. Selain dirinya, tentara Angkatan Darat itu juga memberitahukan informasi provokatif kepada suaminya, Syamsu Alam.

Babinsa mendatangi keluarga itu saat malam dan membawa seseorang yang berpenampilan nyentrik seperti pengacara. Saridah ingat tiga malam berturut-turut Babinsa itu datang ke rumah untuk meyakinkan keluarganya agar mau melepaskan atau menjual tanah kepada seseorang.

“Eh ko dipenjara delapan tahun, bagaimana nanti anakmu?,” kata Saridah menirukan omongan Babinsa. “Datang tengah malam, berturut-turut tiga kali, dibujuk ki bapaknya toh,” tambahnya.

Selain mengincar Saridah dan suaminya, orang suruhan itu juga mengincar Nala, pamannya. Mereka menginginkan tanda tangan. “Itu omku Nala disembunyi. Dicari ki karena mau diambil tanda tangannya,” terangnya.

Kemudian ia pun meminta bantuan pemerintah setempat untuk menyudahi keresahan atas konflik tanahnya. Saridah mendatangi tiga sampai empat kali kantor kelurahan. “Tidak ada mentong pemerintah bantu’a itu hari. Seminggu ka itu ke rumahnya Pak Imam, Pak Lingkungan, tapi jawabannya, ‘Kita tunggu, musyawarah dulu’,” katanya.

Kejadian itu membuat Saridah pesimis terhadap pemerintah. Ia memutuskan untuk berjuang sendiri. “Tidak takut ma karena memang tidak pernah dijual (tanah). Ndak takut-takut ma bicara, melawan ma semenjak itu lokasi’a,” tegas perempuan 47 tahun ini.

Intimidasi Berujung Keterpaksaan

Situasi serupa, dugaan asal caplok tanah oleh orang asing juga dialami warga lain di Batulapisi Dalam. Daeng Munding masih ingat betul saat seseorang mengancamnya agar menyerahkan tanahnya. Bila bertahan tak menjual, ia akan dipenjarakan.

Apalagi bukti kepemilikan berupa PBB yang ia pegang dirasa kurang kuat. Walhasil ia pun takluk. “Takut karena itu orang bawa rincik, saya PBB. Itu orang yang masuk di sini, na ancam ka. Na bilang, ‘Bagaimana kalo masuk ko penjara?’. Ah itu mi yang ditakutkan masyarakat. Takut masyarakat kalo cerita penjara,” lanjutnya.

Babinsa dan pengacara juga kerap mendatangi rumahnya di malam hari. Kurang lebih sebulan, setiap datang mereka rutin bicara soal tanah. “Kalo ndak datang ini hari, malam pi datang lagi. Itu Babinsa dan pengacara. Mengancam, ‘Masuk penjara, kalau tidak mau diserahkan itu tanah,” ujarnya.

Daeng Munding akhirnya menyerahkan tanahnya yang berukuran kurang dari satu hektare. “Terpaksa mi diambil. Saya diganti rugi, 75 (juta). Kah takut ma, takut ka,” kata pria paruh baya ini.

Belakangan, ia menyadari jika nominal ganti ruginya rendah. Rasa takut telah mempengaruhinya. “Menyesal, menyesal ka, betul itu. Takut ki, jadi menyesal. Ndak berdaya,” ucap Daeng Munding.

Ia juga menyadari hanya berjuang sendirian. Munding dan Saridah tahu bahwa warga sekitar masih menganggap konflik tanah sebagai masalah pribadi. Sederet intimidasi soal tanah membuat keduanya makin muak dengan pemerintah. 

Mereka merasa diabaikan. Keberadaan mereka tak dianggap oleh pemerintah. “Ndak ada yang bela. (Saya) sudah melapor ke kelurahan. Ada pemerintah, tapi ndak membantu ji. Jadi sendirian berjuang,” tegasnya.

Peristiwa ini kemudian menjadi refleksi bagi Daeng Munding. Ia memikirkan solusi agar tidak ada lagi warga yang terpaksa menjual tanahnya kepada orang asing.

“Itu mi saya bilang sama Ari (Ketua Serikat Petani setempat), ‘Bagaimana cara ini Ari, masuk orang yang mengambil tanahnya orang, kasihan itu orang. Kalo PBB, pasti na kalah ki karena ada rinciknya,” renung bapak lima anak itu.

Serikat Petani

Rentetan kejadian pencaplokan tanah orang asing membuat warga perlahan sadar dan bersolidaritas untuk membangun kekuatan. Pada 2022, mereka kongsi-kongsi untuk membangun baruga, tempat pertemuan dan ruang diskusi warga-para petani di lingkungan Batulapisi Dalam.

Warga yang sekaligus petani di Batulapisi Dalam bergabung dalam Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS). Dari 842 jiwa, kurang lebih 300-an warga di antaranya adalah anggota PPSS Malino.

Saat menghadapi konflik tanah, lapangan (fasilitas umum) sekitar 15 hektare yang diklaim cukong lainnya, PPSS mengawal memperjuangkan kepemilikan warga. Awalnya, 14 rumah itu dibuatkan satu lembar surat dari polisi. Yaitu surat pemberitahuan untuk mengosongkan rumah-tanah.

Baruga, sekitar 2,5 km dari tugu Batulapisi, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Baruga, sekitar 2,5 km dari tugu Batulapisi, Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Polres Gowa kemudian memanggil dan  menginterogasi empat warga dari 14 rumah yang kena klaim. Pemeriksaan itu berlangsung dari siang hingga petang. “Kami temani (kawal warga) saat itu, banyak (warga) pas itu,” kata Ketua PPSS Malino, Arif Daming, Kamis malam, 25 September 2025.

Empat warga dicecar pertanyaan tentang kepemilikan tanahnya. Serikat menduga itu adalah upaya aparat agar warga terintimidasi atas tanahnya sendiri.

Perkembangan upaya terkini, serikat telah melakukan pemetaan persil (menggambar batas-batas lokasi tanah secara akurat). Serikat mendampingi warga untuk membuat sertifikat hak milik, salah satu dasarnya adalah PBB. 

Arif mengungkapkan beberapa pemicu konflik tanah di sini. “Ada sebagian (tanah) masih dalam status kawasan hutan. Ada juga sebidang tanah, ada dua dokumennya. Ada juga yang sudah ada bangunannya, datang lagi orang bawa dokumen (klaim baru),” tambahnya.

Dia berharap pemerintah setempat bisa melihat masalah di balik pembangunan vila di Batulapisi. “Kita minta pemerintah bisa melihat, berlaku adil. Pemerintah bisa komunikasi dengan warganya, diterima kita punya masukan-masukan, bisa dipertimbangkan, mendengar kita,” harapnya.

Tanah Masuk Kawasan Hutan

Konflik penetapan lahan warga sebagai kawasan hutan bermula dari program penanaman pohon pinus pada masa orde baru. Program ini berkaitan dengan Gerakan Satu Juta Pohon oleh Soeharto.

Program itu dibuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya, masyarakat diajak untuk aktif menanam pohon di lingkungan tempat tinggalnya. Di sulsel, pemerintah meminta warga untuk menanam pohon pinus, seperti di Gowa dan Maros.

Pemerintah berjanji untuk tidak mengambil manfaat dari perintah penanaman itu—tidak mengambil tanahnya kelak. Baik berkaitan dengan penanaman pohon maupun tidak. Namun yang terjadi kemudian adalah penetapan kawasan hutan.

Sumber data dari Konsorsium Pembaruan Agraria Sulsel yang diolah oleh Bollo.id

Di jalan menuju baruga, ada lagi informasi penjualan tanah. ‘Jual kavling. Bebas kawasan hutan’. Beberapa tanah di Batulapisi Dalam bagian dari kawasan hutan. Ada tiga jenis kawasan hutan di Batulapisi; taman wisata alam, hutan produksi tetap, dan hutan produksi. 

Warga mengusulkan reforma agraria karena memiliki hak garap sejak turun-temurun. Sedangkan lahan yang masuk dalam kawasan hutan belum bisa dilepas tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Anha dan Djanggih, peneliti Universitas Muslim Indonesia (UMI) membahas masalah ini pada 2023. Dilansir dari penelitiannya, pemerintah awalnya menetapkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 362/Menlhk/PLA.0/5/2019, salah satu agendanya adalah penunjukkan yang bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 1.838 hektare di Sulsel.

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan KLHK diberikan wewenang untuk menunjuk dan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Atas keputusan itu, beberapa lahan warga menjadi milik negara. 

Pada 2021, seorang warga, Latif, didatangi pihak kehutanan dan polisi. Mereka meminta petani itu untuk berhenti bertani. Dengan alasan lahannya masuk dalam kawasan hutan.

Lahan warga diklaim sebagai kawasan hutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian itu, pemerintah klaim sebagai kawasan hutan adalah persawahan seluas 20.124 hektare, lahan pertanian 321.260 hektare, dan perkebunan 2.026 hektare.

Selain lahan produktif, penunjukan kawasan hutan juga mencakup pemukiman warga. “Jangankan di kebun atau di sawah, di tengah-tengah rumah kami saja ada penanda batas lokasi kawasan hutan yang dipasang oleh orang-orang dari kehutanan,” kata warga–petani bernama Salam dalam artikel Anha dan Djanggih.

Peneliti mengatakan, mayoritas warga tidak pernah mendapatkan informasi terkait penunjukan dan penetapan lokasi kawasan hutan. Tiba-tiba saja patok dipasang, ada pemberitahuan on the spot bahwa tanah ini milik negara, sehingga terjadi pengusiran terhadap warga.

“(Peristiwa ini) jelas konflik agraria karena klaim kawasan hutan memiliki tipologi dan modus yang hampir seragam. Masyarakat tak pernah mendapatkan akses informasi apalagi berpartisipasi dalam kebijakan pembangunan penetapan ruang khususnya penetapan kawasan hutan,” kata Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Sulsel.

Penelitian ini juga mengungkap praktik klaim atas tanah warga di Batulapisi. Seseorang mengklaim lalu mengambil lahan berupa sawah warga dengan dalih atas nama gubernur periode 1978—1983.

Sawah tersebut kemudian dialihfungsikan menjadi lapangan tembak tentara. Lokasinya tepat di tengah pemukiman warga sehingga pernah terjadi kecelakaan. Warga tertembak karena aktivitas latihan tembak.

Warga pun protes supaya lapangan tembak itu dipindahkan. TNI ingin memindahkannya, dengan syarat warga yang harus membuatkan lapangan tembak.

Kala itu warga Kampung Batulapisi, Kampung Baru, dan warga Kampung Patte’ne bekerja sama membuat lapangan tembak baru untuk TNI di sekitaran wisata Hutan Pinus Malino. 

Aktivitas latihan tembak tentara di sekitar Hutan Pinus Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Aktivitas latihan tembak tentara di sekitar Hutan Pinus Malino/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Pada 2018, Pemerintah Daerah Gowa ingin memindahkan lapangan tembak tersebut. Karena khawatir membahayakan wisatawan. Akhirnya, lokasi lapangan dipindahkan lagi di sekitar lokasi awal, yaitu di Kampung Tua Galarang Rappa. Warga menganggap pemindahan itu merupakan bentuk diskriminasi.

“(Pemindahan) ini tanpa memikirkan jiwa dan keselamatan warga asli kampung Batulapisi yang bertani dan beraktivitas di sekitar lapangan tembak. Lantas apa bedanya nyawa dan keselamatan para wisatawan dengan warga yang bermukim dan beraktivitas di lokasi,” kata warga, Arif dikutip dari Journal of Lex Philosophy (JLP).

KPA Sulsel mendampingi warga yang berkonflik dengan negara dan mafia tanah. “Jadi, pendampingannya tetap sama. Baik di kawasan hutan maupun dalam kasus mafia tanah, yang dihadapi adalah struktur ketidakadilan yang sama,” kata Abdul Rahman Rasyid anggota, KPA Sulsel, Minggu, 12 Oktober 2025.

Yang berbeda menurut Rahman hanya bentuknya. Satu lewat kebijakan negara, satu lewat praktik mafia. Tapi ujungnya sama, yaitu rakyat kehilangan ruang hidup.

Semangat Bertani dan Berkebun

Setelah menghadapi konflik tanahnya, Daeng Munding tetap berkebun di lahannya yang masih ada. Saban pagi, ia menjadi buruh bangunan dan siang hari barulah ia menjadi petani.

Sekitar satu hektare luas lahan produktif yang Daeng Munding miliki untuk berkebun kopi. Ia memanen kopinya sekali setahun untuk konsumsi pribadi dan menjualnya di sekitar Malino.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur ekonomi Gowa pada 2024 ditopang utama oleh kategori pertanian sebesar 28,94 persen. Lapangan pekerjaan masyarakat Gowa sebagai petani 31,62 persen.

Tahun 2024, tiga komoditas utama Gowa, yaitu 408 ribu kuintal kentang, 278 ribu kuintal tomat, dan 226 ribu kuintal daun bawang. Di Batulapisi Dalam, tomat dan daun bawang menghiasi lahan produktif warga.

Daeng Munding, Saridah dan Syamsu Alam adalah petani. Dulu dan sekarang, semangat mereka tetap sama. Saridah sendiri ke kebun stroberinya yang berlokasi di depan baruga pada pagi hari. Buah stroberinya berwarna pink ruby, berukuran kecil seperti setengah dari ibu jari.

“Dijual nanti, satu tempat (kotak gabus ukuran) 10 kg, sekitar 500 ribu rupiah,” katanya.

Saridah menyirami stroberinya/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Saridah menyirami stroberinya/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Buah stroberi hasil tanam Saridah/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Buah stroberi milik Saridah/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Sedangkan, Syamsu Alam menanam tomat dan cabai yang siap dipanen pada mulai pertengahan tahun hingga sekarang. Hasil panennya kemudian didistribusikan ke Makassar. 

Di malam hari, ia berkendara sepanjang 60 kilometer menuju Pasar Terong Makassar. “Mau di bawa ke Makassar,” kata Syamsu sambil memindahkan karung berisi lombok ke atas mobil pick up-nya.

Tujuh karung ukuran 100-150 kilogram mengisi bak mobil terbukanya. Pukul 21.00 WITA, ia dan istrinya membawa hasil panennya ke pasar.

Pariwisata Vila

Tanah di sini dijual mulai Rp500.000 per meter untuk kawasan terpencil di Batulapisi Dalam (lingkungan kampung baru). Harga tertinggi adalah sekitar Rp1.200.000 per meter di pinggir jalan.

Eskavator kuning di dekat tugu menjadi simbol pembangunan di lingkungan ini. Alat berat menggali tanah, memindahkan material, menimbun, meratakan lahan, dan membantu tugas-tugas konstruksi lainnya demi kepentingan perseorangan, swasta, atau pemerintah.

Ekskavator di dekat tugu Batulapisi Dalam/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Ekskavator di dekat tugu Batulapisi Dalam/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Menurut warga, vila pertama yang dibangun adalah Masagena kemudian Rindu Alam sekitar 2015 ke atas. Kampoeng Eropa sendiri dibangun pada 2023.

Masagena memasang tarif Rp400.000-Rp5.000.000 per malam. Sementara itu, de Rudal, vila milik politisi Rusdin Abdullah disewakan sekitar Rp15.000.000 per malam.

Menurut salah satu pemilik vila, Ahmad, lokasi ini ramai dicari penyewa pada saat hari libur biasa dan nasional. Calon penyewa bahkan sampai menanyakan suhu dingin Malino. “Masih dingin ji vila ta?,” kata Ahmad dan istrinya, Fitri menceritakan kekhawatiran suhu dingin Malino.

Awalnya, sepasang suami–istri ini hanya membangun rumah tinggal di lingkungan Batulapisi Dalam. Tapi di sekitar lingkungan itu didominasi vila, keduanya pun mengubah rumahnya menjadi vila. 

Kini mereka menyewakan dua Vila Lontara seharga Rp1.000.000 per malam. Keduanya tinggal di bawah vila tersebut.

Selain menceritakan kekhawatiran wisatawan tentang perubahan suhu di Malino, keduanya juga sedikit resah tentang diperbolehkannya kegiatan camping saat acara pariwisata tahunan, yaitu Beautiful Malino. 

Mereka berpendapat bahwa culture camp itu membuat vila tidak dilirik wisatawan lagi. Karena sudah bisa mengadakan tempat tinggal sementara. Bukan menginap di vila.

Ajang Beautiful Malino juga disorot oleh penjaga Vila Dawai, Eni (27 tahun). Menurutnya, kegiatan tahunan itu membuat kemacetan beberapa hari, meskipun meningkatkan aktivitas ekonomi di Malino.

“Kalau sukanya karena banyak tamu pas menjual ki,” kata petani ini.

Terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa Ratnawati mengatakan, pihaknya melakukan pengecekan lokasi sebelum memberikan izin membangun vila. “Izin berlanjut jika tanah tersebut ada alas hak tanah,” kata Ratna saat dikonfirmasi, Rabu pagi, 1 Oktober 2025.

Ratna menegaskan, pembangunan vila harus sesuai prosedur. Dengan berkoordinasi ke pihaknya dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Menurutnya, mengikuti aturan pemerintah adalah solusi agar masyarakat tidak dirugikan.

“Tidak ada larangan untuk bangun vila sepanjang tidak melanggar aturan dan ketentuan. Dilakukan sesuai prosedur, tidak melanggar hukum, pembangunan vila tidak akan merugikan siapa pun,” ucapnya.

“Multi klaim atas tanah, praktik mafia, dan konflik tanah. Disparbud tidak memiliki kewenangan,” tambahnya.


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam