Dua kantor parlemen di Makassar hangus terbakar pada 29 dan 30 Agustus 2025. Setelah peristiwa di Kota Para Demonstran itu polisi memburu puluhan orang. Ini adalah secuil ceritanya/Cover: Bollo.id
Dua kantor parlemen di Makassar hangus terbakar pada 29 dan 30 Agustus 2025. Setelah peristiwa di Kota Para Demonstran itu polisi memburu puluhan orang. Ini adalah secuil ceritanya/Cover: Bollo.id

Penghalangan Bantuan Hukum, Disiksa, Menangis Darah: Mereka yang Ditahan Polda Sulsel Setelah 2 Kantor Parlemen Hangus Terbakar

Dua kantor parlemen di Makassar hangus terbakar pada 29 dan 30 Agustus 2025. Setelah peristiwa di Kota Para Demonstran itu polisi memburu puluhan orang. Ini adalah secuil ceritanya.

Waktu sudah lewat pukul 03.00 dini hari, saat seseorang mengetuk pintu kamar kos Johan. 

Mendengar ketukan itu, perasaan Johan sudah tidak enak. Tidak biasa ada tamunya di waktu begitu. Tapi dia berusaha menenangkan diri.

“Siapa?” kata Johan menjawab ketukan.

”Saya Amru, Kak,” jawab seseorang di balik pintu. 

Amru adalah junior Johan di Universitas Sawerigading (Unsa). Mengetahui hal tersebut, ketegangan Johan mereda. Tapi kedatangan Amru masih terasa janggal baginya. 

“Ini anak biasa berkabar dulu sebelum datang,” ujar Johan kepada saya di Rumah Tahanan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti Polda Sulawesi Selatan (Sulsel), Senin, 8 September 2025. 

Dini hari itu, Amru mengaku kehabisan bensin. Karenanya meminta bantuan Johan. Johan percaya. Lalu dengan pelan-pelan membuka pintu kamar kosnya. 

Johan memutar kunci pintunya. Pelan-pelan.

“Tidak langsung buka pintunya. Saya intip dulu,” tutur Johan.

Saat matanya dia dekatkan ke celah pintu yang dia buka. Tiba-tiba cahaya senter menyorotnya. Amru ternyata datang tidak sendiri.

”Ramai sekali.”

”Polisi!”

”Saya tutup kembali pintu.”

Tapi di sela pintu yang sudah terbuka, sudah ada kaki polisi yang mengganjal. Pintu tidak bisa tertutup. Johan sempat melawan. Tidak lama.

“Tiba-tiba masuk pistol di sela pintu. Di situ saya langsung lepas pintunya.”

Polisi itu merangsek masuk ke kamar kosnya. Jumlahnya lebih sepuluh orang.

“Saya langsung dipukuli,” katanya. 

“Dikeroyok.”


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Hari itu, Rabu 3 September 2025, Johan ditangkap polisi di kamar kosnya di Makassar. Di hadapan Johan, polisi tidak menunjukkan surat perintah penangkapan. Amru, juniornya lebih dulu ditangkap. 

Beberapa jam sebelum penangkapan Johan. Sekitar pukul 00.00. Yamal, yang juga mahasiswa Universitas Sawerigading ikut ditangkap. 

Dua saksi yang menyaksikan penangkapan Yamal bercerita, seorang pria pada tengah malam datang menggunakan jaket Shopee Food. Menanyakan pesanan atas nama Yamal.

Yamal tinggal di sebuah sudut kampung kota di Makassar. Di tempat itu, ada dua nama Yamal. Saat dua orang bernama Yamal itu menghampiri laki-laki jaket Shopee tersebut, pria itu langsung berteriak.

“Inimi!” 

Setelah teriakan itu, sekitar 20-an polisi berpakaian sipil mengerubungi Yamal. Tangannya dilakban. Telepon genggam dan tasnya diambil.

Penangkapan itu disaksikan orang sekitar. Kakak Yamal, Jum, meminta polisi menunjukkan surat perintah penangkapan terhadap adiknya. Tapi tidak diberi. 

“Seperti penculikan,” kata Jum.

Dia hanya diberi tahu penangkapan adiknya berkaitan dengan terbakarnya kantor DPRD. 

Polisi merujuk pada terbakarnya Kantor DPRD Kota Makassar, pada malam 29 Agustus 2025. Serta Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada 30 Agustus 2025 dini hari.

Hari itu, 29 Agustus 2025. Ada berbagai titik aksi di Makassar.

Demonstrasi tersebut merespons meninggalnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan saat demonstrasi. Akibat dilindas mobil taktis Brigade Mobil (Brimob) di depan Rumah Susun Bendungan Hilir II, Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) malam.

Demonstrasi di Makassar mulai sejak siang. Sore menjelang malam hari, sejumlah jalan protokol mulai lumpuh.

Di depan Universitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan, massa membakar ban dan menulis “PEMBUNUH” di aspal. Lalu lintas lumpuh sampai massa membubarkan diri setelah hari mulai gelap.

Di Jalan AP Pettarani, depan Universitas Negeri Makassar, massa memblokade jalan dengan menyandera truk tronton. Sementara di Jalan Urip Sumoharjo, depan Universitas Muslim Indonesia, mereka memblokade jalan dengan ban dan kayu yang dibakar. 

Dua massa di titik ini bertahan hingga malam hari.

Selepas Magrib, pos polisi di persimpangan Jalan AP Pettarani – Jalan Alauddin terbakar. Beberapa waktu berselang, massa yang berada di Jalan AP Pettarani berkumpul di depan Kantor DPRD Makassar. Demonstran mulanya membakar ban di jalan.

Ketika hari makin gelap, api protes makin menyala. Pos keamanan Kantor DPRD dibakar, menyusul kendaraan yang terparkir di halaman gedung.

Sekitar pukul 21.00, api dari halaman gedung merambat ke bangunan. Di tengah kejadian itu, tidak ada polisi yang berjaga.

Saat api mulai melumat seluruh bagian gedung sekitar pukul 23.00, demonstran mulai meneriakkan “Urip”. Kata itu terus diulang-ulang. Merujuk pada Kantor DPRD Provinsi Sulsel yang letaknya di Jalan Urip Sumoharjo, 3 kilometer dari gedung dewan kota.

Massa dari Jalan AP Pettarani, yang kebanyakan berjalan kaki tiba di DPRD Sulsel menjelang hari mulai berganti. Di sana ada tentara berpakaian loreng ratusan personel. 

Kejadiannya sangat cepat. 00.10 massa berhasil membobol pagar, lalu merangsek ke dalam gedung. Tentara yang ada hanya meminta massa hati-hati agar tidak tertusuk pagar yang sudah roboh.

Sekitar pukul 00.20, sekelompok orang menyulut api dari tangga utama gedung. Api itu membesar. Merambat ke plafon, dan akhirnya menyebar ke seluruh gedung. 

Pemadam kebakaran baru tiba di lokasi sekitar pukul 01.30. Saat api nyaris melahap seluruh bagian gedung.

Gedung DPRD Sulsel di Jalan Urip Sumoharjo, terbakar dalam demonstrasi 29 Agustus 2025/Foto: Iqbal Lubis/Bollo.id
Gedung DPRD Sulsel di Jalan Urip Sumoharjo, terbakar dalam demonstrasi 29 Agustus 2025/Foto: Iqbal Lubis/Bollo.id

Johan mengaku ada di Gedung DPRD Sulsel saat kejadian itu. Bersama dengan 20-an mahasiswa dari kampusnya. 

Di antara 20-an orang temannya, sepuluh diantaranya bernasib sama dengan Johan. Ditangkap tanpa surat penangkapan, dan hingga kini masih ditahan dan ditetapkan tersangka oleh Polda Sulsel.

Selain sepuluh mahasiswa Unsa. Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (Kobar) Makassar, mencatat 53 orang ditangkap setelah terbakarnya dua gedung parlemen di Makassar.

Di seluruh Indonesia, per Rabu, 1 Oktober 2025, polisi menetapkan 997 tersangka atas “kerusuhan” di berbagai daerah yang terjadi pada 25-31 Agustus 2025. Keseluruhan, polisi sejak awal menangkap 6.917 orang, 5.858 di antaranya sudah bebas.

Jumlah itu tersebar di 15 Polda di Indonesia. Sebanyak 53 orang di antaranya sampai saat ini ditahan di Polda Sulsel. Angka-angka itu bukan sekadar statistik.

Penangkapan polisi di berbagai tempat dianggap serampangan. Di Makassar, Kobar menilai penangkapan yang dilakukan Polda Sulsel, terutama terhadap Johan, Yamal, dan teman sekampusnya janggal. Karena tidak adanya surat tugas dan surat perintah yang ditunjukkan saat penangkapan.

”Harusnya ada, itu diatur jelas di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” kata Muhammad Ansar, pengacara publik LBH Makassar yang tergabung dalam Kobar.

“Bila tidak disertai dengan surat penangkapan, maka penangkapan tersebut dianggap cacat secara administratif.”

Artinya, Ansar menegaskan.

“Penangkapan itu tidak sah!”


Baca juga: DPRD Makassar Terbakar, Pengamanan Mako Diutamakan


Teriakan di Posko Resmob

Hari sudah gelap. Matahari baru jatuh di ufuk barat, saat Badai dan Jum datang ke Kantor LBH Makassar di Jalan Nikel. Saya di teras kantor itu saat melihat mereka berdua masuk  dengan langkah cepat.

Tidak lama, suara isak tangis terdengar dari ruang tengah.

Saya masuk. Lalu mendapati suara tangisan itu dari Badai dan Jum. 

Malam di 6 September 2025 itu, sebelum Badai dan Jum ke LBH Makassar. Keduanya sempat menjenguk Yamal, adiknya, di Polda Sulsel, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar.

Di sana, mereka melihat Yamal babak belur. Wajahnya dipenuhi lebam dan matanya merah. Badai dan Jum menangis saat bertemu dengan adiknya. Di pertemuan itu Yamal ikutan dan juga menangis.

Jum melihat air mata Yamal berwarna merah.

”Menangis darahki,” kata Jum kepada saya, mengambil jeda beberapa saat. Dia melanjutkan. “Jadi berhentika menangis. Biar dia tidak menangis juga.”

Saya sempat bertemu dengan Yamal pada Senin, 8 September 2025 di Rumah Tahanan Polda Sulsel. Apa yang diungkapkan Jum, bahwa mata adiknya memerah benar. 

Sklera atau bagian putih pada bola matanya berwarna merah gelap. Seperti darah yang menggumpal.

Seorang dokter yang meminta identitasnya tidak disebutkan menjelaskan, kondisi itu bisa disebabkan karena pembuluh darah di bagian bola mata pecah. Di dunia medis, disebut dengan subkonjungtiva hemorrhage.

Penyebab pembuluh darah di bola mata pecah sebenarnya karena banyak hal. Salah satunya karena dipukul.

“Jika ini terjadi, kondisi klinik yang nampak adalah matanya berwarna merah. Kadang ada yang menangis darah,” jelas sang dokter 

Saat saya mengobrol dengan Yamal, dia terus menunduk. Suaranya sangat pelan. Bahkan berkali-kali meminta mengulang pertanyaan saya.

Belakangan baru saya ketahui, pendengarannya terganggu sejak penangkapannya.

”Agak ini (terganggu), itu pendengarannya,” kata Jum kepada saya.

Bahkan pada tanggal 9 September 2025, saat Jum kembali bertemu adiknya. Dia melihat percikan darah keluar dari mulut Yamal. Karena ketahuan, di situ Yamal baru buka-bukaan dengan Jum.

Selama ditahan di Polda Sulsel, kata Yamal kepada Jum, dirinya kerap muntah darah. Kalau dia banyak gerak, darah juga keluar dari hidung dan telinganya.

Selama beberapa kali ketemu dengan Jum dan kerabat lainnya, darah di hidungnya ternyata tidak berhenti keluar. Tapi Yamal melapnya dengan sembunyi-sembunyi. Karenanya selalu menunduk.

”Dia tidak mau jujur awalnya karena takut saya menangis,” kata Jum.

Padahal, sebelum ditangkap Resmob Polda Sulsel, Jum bilang adiknya tidak ada sakit apapun. “Tidak ada lecet sama sekali.” Tapi saat saya bertemu dengan Yamal, bahkan anak Sekolah Dasar (SD) yang melihatnya akan tahu dia babak belur seperti orang yang sudah dipukuli.

Badai, dalam keterangannya kepada Kobar mengatakan menyusul Yamal ke Resmob Polda Sulsel di Jalan Hertasning. Sekira pukul 01.30, sekitar satu jam setelah adiknya ditangkap pada 3 September 2025.

Di sana, dia melihat teman Yamal yang juga ditahan mendapat kekerasan. Badai juga menanyakan apakah adiknya benar-benar ada di sana kepada petugas yang berjaga di posko. Petugas tersebut membenarkan. 

Saat ingin beranjak pulang, dia mendengar teriakan. Di titik itu Badai yakin adiknya ada di sana.

Saya berusaha mengonfirmasi kepada Yamal apakah matanya yang lebam dan merah akibat penyiksaan dialaminya selama ditahan. Belum sempat dia menjawab, seorang petugas Rumah Tahanan meminta saya menghentikan wawancara. Bahkan meminta saya keluar dari gedung itu.

”Kalau mau wawancara bisa lewat Humas,” kata petugas itu.

Media, kata petugas tersebut, tidak bisa mengakses langsung para tersangka.  “Saya pikir tadi pengacara,” kata petugas itu.

Meski begitu, Johan, dan dua tahanan lain yang saya wawancarai membenarkan adanya pemukulan selama penahanan. Mereka mengaku dipukuli polisi saat ditahan. 

Ada yang dadanya bahkan masih sesak saat saya wawancara. Seorang tahanan dengan badan tambun, betis dan pahanya bahkan terlihat bengkak, pengakuannya sempat tidak bisa jalan.

Pemukulan itu terjadi saat mereka di bawa ke Posko Resmob Polda Sulsel di Jalan Hertasning. Johan, mengaku dipukul sejak baru turun dari mobil. 

Saat baru tiba di posko itu, seorang petugas meminta para tahanan ditutup matanya menggunakan lakban. Setelah mata tertutup, pukulan dan tendangan datang dari berbagai arah.

“Itu langsung dihantam, dipukul, ditendang, disuruh guling-guling di tanah. Ditendang lagi. Dipukul lagi muka. Sama ada kayak pipa,” kata Johan.

”Pipa?” saya bertanya.

”Iya. Pipa besi. Dipukul bagian belakang sini, sama depan,” jelas Johan. Menunjuk punggung dan dadanya.

Pemukulan itu berlangsung sekitar satu jam. Selama itu, Johan bilang dipaksa mengaku sebagai pembakar Kantor DPRD Makassar. 

Padahal dia mengaku tidak ada di DPRD Makassar saat demonstrasi. Hanya di DPRD Sulsel. Tapi kalau dia bilang tidak, pukulan terus menghantam badannya.

Pagi harinya, Johan dan tahanan lain dibawa ke Polda Sulsel. Di sana dia dimintai keterangan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa pendamping hukum. Begitu juga sembilan mahasiswa Unsa lain. 

olda Sulsel mengumumkannya saat taklimat media pada Kamis 4 September 2025. Ada 14 orang kala itu yang ditetapkan tersangka, 13 dewasa dan satu anak.
Polda Sulsel mengumumkannya saat taklimat media pada Kamis 4 September 2025. Ada 14 orang kala itu yang ditetapkan tersangka, 13 dewasa dan satu anak/Dok: Humas Polda Sulsel

Besoknya, mereka ditetapkan tersangka. Polda Sulsel mengumumkannya saat taklimat media pada Kamis 4 September 2025. Ada 14 orang kala itu yang ditetapkan tersangka, 13 dewasa dan satu anak.

Masing-masing adalah RN (19), RHM (22), MIS (17), RND (21), MR (20), AFJ (23), SNK (22), AFR (20), MRD (18), MRZ (20), MHS (21), AMM (22), MAR (21) dan AY (23).

Para tersangka dianggap melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mulai pasal 64, 55, 56, 187, 170, 406.

Saat taklimat media, para tersangka mengenakan baju tahanan berwarna merah. Tangan diikat, dan kepala mereka ditutup kain hitam. 

Johan, Amru, dan Yamal ada di sana dengan kondisi babak belur. Seorang teman mereka, yang badannya tambun, karena sempat tidak bisa jalan diberi obat anti nyeri agar bisa berdiri selama taklimat media.

Ada banyak kamera, dan puluhan pasang mata jurnalis hari itu. Tapi kain hitam yang menutupi kepala mereka, membuat wajah babak belur para tersangka tak terlihat.

Ansar, dari LBH Makassar, menilai serangkaian proses penetapan tersangka itu sebagai penyiksaan. Sejak awal, mulai penangkapan, penahanan, sampai BAP bermasalah.

“Pemeriksaan seseorang dengan penyiksaan itu tidak boleh. KUHAP melarang. Itu bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata Ansar.

Siapapun yang ditangkap, kata dia, tidak boleh diperiksa dalam keadaan terintimidasi. Apalagi sampai kekerasan fisik.

Ansar juga mempersoalkan pendamping hukum selama pemeriksaan. Penyidik mengaku pemeriksaan dilakukan dengan pendamping hukum yang ditunjuk oleh polisi.

Padahal, menurut Ansar, lagi-lagi merujuk KUHAP, mestinya mereka yang terancam pidana lima tahun harus didampingi oleh penasihat hukum yang dipilih sendiri.

“Persoalannya, karena tidak ada informasi kepada keluarga, sehingga mereka tidak punya pilihan dan harus mengikuti apa yang dipilihkan polisi,” terangnya.

Karenanya, dia menyimpulkan, sejumlah penangkapan yang dilakukan Polda Sulsel bermasalah. Cacat formil.

Ansar, sekali lagi menegaskan.

“Penangkapan itu tidak sah!” 

Bollo telah menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol. Didik Supranoto terkait segala tudingan terhadap instansinya dalam artikel ini. Tapi hingga berita ini diterbitkan tidak merespons.


Editor: Agus Mawan W


Arya Nur Prianugraha

Arya Nur Prianugraha, kini bekerja sebagai jurnalis di media online. Sebelumnya aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Washilah.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam