Truk kecil hingga besar hilir mudik dari Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mobil pengangkut material itu silih berganti memuat pasir, kerikil, hingga batu.
Kurang lebih lima kilometer dari gerbang masuk ‘Selamat Datang Malino’, sepanjang jalan menuju kawasan hutan pinus nampak jejeran vila mentereng. Papan informasi yang terpampang, sebagai penanda bahwa tiap-tiap vila punya narahubung.
Memasuki lingkungan Batulapisi, Jalan Sultan Hasanuddin, deretan vila dengan pekarangan luas menjadi penarik perhatian. Sebagian mengadopsi arsitektur ala Eropa. Selain vila penuh warna terhampar lahan yang ditanami stroberi dan daun bawang saling berdampingan.
Jika penataan ruang itu direkonstruksi di kepala, maka kita bisa membayangkan bahwa di lingkungan itu dulunya adalah hamparan lahan yang luas. Pada faktanya, Batulapisi dalam dulunya hanya ruang bertani dan berkebun.
“Dulunya sawah semua”, kata warga, Saridah. Lanskap desa asri itu hanyalah ingatan atau memori. Anak cucunya kini tidak terlalu menikmati keindahan desa sama persis seperti dirinya semasa kanak-kanak.
Karena itu, Saridah dan suaminya teguh untuk tetap memiliki lahan. Belum memanfaatkan lahannya agar bisa dinikmati keturunannya. “Tanah bisa untuk anak cucu, lanjut untuk masa depan”, kata Syamsu Alam, suami Saridah.

Kepemilikan Tanah
Saridah punya tiga tanah dengan masing-masing bukti kepemilikan. Salah satunya berupa bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Total luas lahannya dua hektare. Tanah itu merupakan tanah berbagi dengan keluarganya.
Awalnya, semua tanah itu dimiliki oleh kakeknya bernama Cala. Cala kemudian memberikan ke anaknya, bernama Nala dan dia pun tidak membalik nama PBB itu. Saridah membeli tanah pamannya, Nala.
Meskipun proses jual beli itu terjadi antara Saridah dan pamannya, PBB tanah itu masih atas nama kakeknya, Cala. Namun, kemudian hari, satu lokasi dibalik nama menjadi nama suaminya.
Jadi, Saridah memiliki dua lokasi atas nama kakeknya, Cala dan satu lokasi (rumahnya sekarang) atas nama suaminya, Syamsu Alam. Dua lokasi itu merupakan sawah dan kebun yang produktif.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Pada 2019, seorang cukong mengklaim dua bidang tanah Saridah, sawah dan kebun itu. Preman suruhan orang tersebut membawa sertifikat tanah yang menunjukkan bahwa tanah itu dibeli pada 1997 atas nama Nala.
Saat melihat sertifikat itu, Saridah tahu bahwa surat yang dibawa itu adalah palsu. Ia menyadari kesalahan data dan kronologisnya.
“Itu salahnya di surat, lebih tua anak dibanding bapaknya. Nala itu omku. (Di sertifikatnya) lebih tua itu Nala daripada Cala. Padahal, itu Cala, bapak ki,” kata Saridah, kepada Bollo.id, Rabu, 24 September 2025.
Saridah mengungkapkan kesalahan data atas dua bidang tanah yang diklaim orang itu. Ia juga mengungkapkan kesalahan data dan kronologis diklaim tanah yang sekarang menjadi rumahnya.
“(Salah satu) di PBB itu atas nama bapaknya. Baru di suratnya itu atas nama Cala. Di itu tahun itu (1997), di situ ka di lokasi tinggal, sama bapaknya (suami), waktu baru-baru kawin. 1996-1997 di situ ka,” jelasnya.
Ia juga menyebut soal peta lokasi yang tidak lengkap dan tepat. “Sama itu gambar-gambar lokasinya itu salah. Salah karena ku tau ki dulu di sini ada sepah (tanah sisa-bekas). Saya yang timbun,” lanjutnya.
Pemilik Lahan Diintimidasi
Saridah menceritakan pertama kalinya preman mendatangi lahannya. Awalnya, salah satu anggota keluarganya melapor ke dirinya. “Sepupu telpon ka bilang ‘Ada orang di lokasimu’,”.
Ia pun bergegas menuju ke lahannya yang merupakan lahan bersama dengan keluarganya. Pada suatu hari di tahun 2019, lahannya yang ditanami tomat dan cabai itu didatangi preman. Mereka membuat cor untuk pemasangan tiang papan informasi.
Ia kemudian merekam video aksi preman itu. Teguran, gertakan dan senjata preman membuatnya takut. “Kalau takut ki, nda bisa ngomong. Menggertaki, kah na liat ka ma (rekam) video, marah. Nda bisa ma ngomong. Baru sendirianku perempuan. Preman semua bawa badik,” kata Saridah.
Tulisan di papan itu menyebut nama orang asing pemilik tanah. Saridah bingung dan heran dengan klaim tanah dari orang lain, padahal ia sudah memiliki lahan itu bertahun-tahun bahkan turun temurun.

Bintara Pembina Desa (Babinsa) ikut memberitahukan Saridah bahwa ia harus menjual tanahnya kalau tidak mau dipenjara. Selain dirinya, tentara Angkatan Darat itu juga memberitahukan informasi provokatif itu kepada suaminya, Syamsu Alam.
Oknum Babinsa mendatangi keluarga itu saat malam dan membawa seseorang yang berpenampilan nyentrik seperti pengacara. Saridah ingat tiga malam berturut-turut Babinsa itu datang ke rumahnya untuk meyakinkan keluarganya agar mau melepaskan atau menjual tanahnya kepada orang asing.
“Bapaknya itu diancam 8 tahun, ‘Eh ko dipenjara 8 tahun, bagaimana nanti anakmu?’ Sama Pak Wahab. (Dia) datang tengah malam, berturut-turut tiga kali, dibujuk ki bapaknya toh,” katanya.
Selain mengincar Saridah dan suaminya, suruhan orang itu juga mengincar Nala, pamannya. Mereka menginginkan tanda tangannya. “Itu om ku Nala disembunyi. Dicariki karena mau diambil tanda tangannya,” terangnya.
Ia kemudian meminta bantuan pemerintah setempat untuk menyudahi keresahan atas konflik tanahnya. Ia pernah tiga atau empat kali ke kantor kelurahan. “Tidak ada mentong pemerintah bantua itu hari. Satu minggu ka itu ke rumahnya Pak Imam, Pak Lingkungan, tapi jawabannya, ‘Kita tunggu dulu, musyawarah dulu’,” katanya.
Kejadian itu membuat Saridah pesimis terhadap pemerintah. Ia memutuskan untuk berjuang sendiri. “Tidak takut ma karena memang tidak pernah dijual (itu tanah). Nda takut-takut ma bicara, melawan ma semenjak itu lokasia,” tegas perempuan 47 tahun itu.
Intimidasi Berujung Keterpaksaan
Situasi serupa, dugaan asal caplok tanah oleh orang asing juga dialami warga lain di Batulapisi Dalam. Daeng Munding masih ingat betul saat seseorang mengancamnya untuk menyerahkan tanahnya. Bila bertahan tak menjual, ia akan dipenjarakan.
Apalagi bukti kepemilikan berupa PBB yang ia pegang dirasa kurang kuat hingga ia takluk. “Takut karena itu orang bawa rincik, saya PBB. Itu orang yang masuk di sini, na ancam ka. Na bilang, ‘Bagaimana kalo masuk ko penjara?’. Ah itu mi yang ditakutkan masyarakat. Takut kalo masyarakat cerita penjara,” lanjutnya.
Babinsa dan pengacara juga kerap mendatangi rumahnya saat malam hari. Kurang lebih sebulan, setiap datang mereka intens bicara soal tanah. “Kalo nda datang ini hari, malam pi datang lagi. Itu Babinsa dan pengacara. Mengancam, ‘Masuk penjara, kalau tidak mau diserahkan itu tanah’,” lanjutnya.
Daeng Munding pada akhirnya takluk menyerahkan tanahnya yang berukuran kurang dari 1 hektare. “Terpaksa mi diambil. Saya diganti rugi, 75 (juta). Kah takut ma, takut ka,” kata pria paruh baya itu.
Kemudian hari, ia menyadari bahwa nominal ganti rugi itu rendah. Rasa takut telah mempengaruhinya. “Menyesal, menyesal ka, betul itu. Takut ki, jadi menyesal. Nda berdaya,” ucap Daeng Munding.
Ia juga menyadari hanya berjuang sendirian. Munding dan Saridah tahu bahwa warga sekitar masih menganggap konflik tanah sebagai masalah pribadi. Sederet intimidasi soal tanah membuat keduanya makin muak dengan pemerintah.
Mereka merasa diabaikan. Keberadaan mereka tak dianggap oleh pemerintah. “Nda ada yang bela. (Saya) sudah melapor ke kelurahan. Ada pemerintah, tapi nda membantu ji. Jadi bersendirian berjuang,” tegasnya.
Peristiwa ini kemudian menjadi refleksi bagi Daeng Munding. Ia memikirkan solusi agar tidak ada lagi warga yang terpaksa menjual tanahnya kepada orang asing.
“Itu mi saya bilang sama Ari (Ketua Serikat Petani setempat), ‘Bagaimana cara ini Ari, masuk orang yang mengambil tanahnya orang, kasihan itu orang. Kalo PBB, pasti na kalah ki karena ada rinciknya,” renung bapak lima anak itu.
Serikat Petani
Rentetan kejadian pencaplokan tanah orang asing membuat warga perlahan sadar dan bersolidaritas untuk membangun kekuatan. Pada 2022, mereka kongsi-kongsi untuk membangun baruga, tempat pertemuan dan ruang diskusi warga-para petani di lingkungan Batulapisi Dalam.
Warga yang sekaligus petani di Batulapisi Dalam bergabung dalam Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS). Dari 842 jiwa, kurang lebih 300-an orang warga di antaranya adalah anggota PPSS Malino.
Saat menghadapi konflik tanah, lapangan (fasilitas umum) sekitar 15 hektare yang diklaim cukong lainnya, PPSS mengawal memperjuangkan kepemilikan warga. Awalnya, 14 rumah itu dibuatkan satu lembar surat dari polisi. Yaitu surat pemberitahuan untuk mengosongkan rumah-tanah.

Polres Gowa kemudian memanggil dan mengintrogasi empat warga dari 14 rumah yang kena klaim. Pemeriksaan itu berlangsung dari siang hingga sore menjelang malam. “Kami temani (kawal warga) saat itu, banyak (warga) pas itu,” kata Ketua PPSS Malino, Arif Daming, Kamis, 25 September 2025 malam.
Empat warga itu dicecar pertanyaan tentang kepemilikan tanahnya. Serikat menduga itu adalah upaya aparat agar warga merasa terintimidasi atas tanahnya sendiri.
Perkembangan upaya terkini, serikat telah melakukan pemetaan persil (menggambar batas-batas lokasi tanah secara akurat). Serikat mendampingi warga untuk membuat sertifikat hak milik, salah satu dasarnya adalah PBB.
Arif mengungkapkan beberapa pemicu konflik tanah di sini. “Ada sebagian (tanah) masih dalam status kawasan hutan. Ada juga 1 bidang tanah, ada 2 dokumennya. Ada juga yang sudah ada bangunannya, datang lagi orang bawa dokumen (klaim baru),” tambahnya.
Dia berharap pemerintah setempat bisa melihat masalah di balik pembangunan vila di Batulapisi. “Kita minta pemerintah bisa melihat, berlaku adil. Pemerintah bisa komunikasi dengan warganya, diterima kita punya masukan-masukan, bisa dipertimbangkan, mendengar kita,” harapnya.
Tanah Masuk Kawasan Hutan
Konflik “penetapan lahan warga sebagai kawasan hutan” ini bermula dari program penanaman pohon pinus pada masa orde baru. Program itu berkaitan dengan Gerakan Satu Juta Pohon oleh Soeharto.
Program itu dibuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya, masyarakat diajak untuk aktif menanam pohon di lingkungan tempat tinggal mereka.
Partisipasi itu juga hadir dalam bentuk pemerintah meminta warga untuk menanam pohon. Di sulsel, pemerintah meminta warga untuk menanam pohon pinus, seperti di Gowa dan Maros.
Pemerintah berjanji untuk tidak mengambil manfaat dari perintah penanaman itu—tidak mengambil tanah itu kelak misalnya. Baik berkaitan dengan penanaman pohon maupun tidak, yang terjadi kemudian adalah penetapan kawasan hutan.

Di jalan menuju baruga, ada lagi informasi penjualan tanah “Jual kavling. Bebas kawasan hutan”. Beberapa tanah di Batulapisi dalam termasuk bagian kawasan hutan. Ada tiga jenis kawasan hutan di Batulapisi: taman wisata alam, hutan produksi tetap, dan hutan produksi.
Berdasarkan data 2019—2025 dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, total luas usulan warga, Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) adalah 866 hektare yang 300-an hektare di antaranya masih diklaim kawasan hutan.
Warga mengusulkan 866 hektare tanah sebagai wilayah reforma agraria karena mereka merasa punya hak garap atau hak turun-temurun di sana. Sementara itu, 300-an hektar masih masuk kawasan hutan sehingga belum bisa dilepaskan tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Anha dan Djanggih, peneliti Universitas Muslim Indonesia (UMI) membahas masalah ini pada 2023. Dilansir dari penelitiannya, pemerintah awalnya menetapkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 362/Menlhk/PLA.0/5/2019, salah satu agendanya adalah penunjukkan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 1.838 hektare di Sulsel.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan, pemerintah dalam hal ini KLHK diberikan wewenang untuk menunjuk dan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Atas keputusan itu, beberapa lahan warga menjadi milik negara.
Pada 2021, Latif, warga-petani didatangi pihak kehutanan dan polisi. Mereka meminta petani itu untuk berhenti bertani dan mengurus lahannya karena lahannya telah masuk kawasan hutan.
Lahan warga diklaim sebagai kawasan hutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian itu, luasan yang pemerintah klaim sebagai kawasan
hutan adalah lahan persawahan sebesar 20.124 hektare, lahan pertanian 321.260 hektare, dan lahan perkebunan 2.026 hektare.
Selain lahan produktif, penunjukan kawasan hutan juga mencakup pemukiman warga. “Jangankan di kebun atau di sawah, di tengah-tengah rumah kami saja ada penanda batas lokasi kawasan hutan yang dipasang oleh orang-orang dari kehutanan,” kata warga petani bernama Salam dalam artikel Anha dan Djanggih.
Peneliti mengatakan, hampir semua warga tidak pernah sama sekali mendapatkan informasi menghadiri sosialisasi terkait penunjukan dan penetapan lokasi kawasan hutan. Peristiwa itu selalu datang secara tiba-tiba seperti pemasangan patok, pemberitahuan on the spot bahwa tanah mereka sudah menjadi milik negara, hingga pengusiran warga.
“(Peristiwa ini) jelas konflik agraria karena klaim kawasan hutan memiliki tipologi dan modus yang hampir seragam. Masyarakat tak pernah mendapatkan akses informasi apalagi berpartisipasi dalam kebijakan pembangunan penetapan ruang khususnya penetapan kawasan hutan,” kata Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Sulsel.
Di samping itu, penelitian ini juga mengungkap praktik klaim atas tanah warga di Batulapisi. Seseorang mengklaim lalu mengambil lahan berupa sawah warga dengan dalih atas nama gubernur yang saat itu menjabat pada 1978—1983.
Sawah tersebut kemudian dialihfungsikan menjadi lapangan tembak tentara. Lapangan itu ada di tengah pemukiman warga sehingga pernah terjadi kecelakaan. Warga tertembak karena aktivitas latihan tembak oleh tentara.
Warga pun prores agar lapangan tembak itu dipindahkan. TNI pun memindahkan lapangan dengan syarat warga harus membuat lapangan tembak untuk TNI.
Kala itu warga Kampung Batulapisi, Kampung Baru, dan warga Kampung Patte’ne bekerja sama membuat lapangan tembak baru untuk TNI di sekitaran wisata Hutan Pinus Malino.

Namun, pada 2018, Pemda Gowa ingin memindahkan lapangan tembak itu karena khawatir membahayakan wisatawan. Akhirnya, lokasi lapangan dipindahkan lagi di sekitar lokasi awal, yaitu di kampung tua Galarang Rappa. Warga menilai pemindahan itu merupakan bentuk diskriminasi.
“(Pemindahan) ini tanpa memikirkan jiwa dan keselamatan warga asli kampung Batulapisi yang bertani dan beraktifitas di sekitar lapangan tembak itu. Lantas apa bedanya nyawa dan keselamatan para wisatawan dengan nyawa dan keselamatan para warga petani yang bermukim dan beraktivitas di lokasi yang hendak dijadikan sebagai lapangan tembak TNI,” kata warga, Arif dikutip dari Journal of Lex Philosophy (JLP).
Konflik kawasan hutan berurusan dengan jaringan pemerintah, dan praktik mafia tanah berurusan dengan orang asing. Meski aktor yang dihadapi berbeda, KPA tetap mendampingi warga yang berkonflik dengan cara yang sama.
“Jadi, pendampingannya tetap sama karena baik di kawasan hutan maupun dalam kasus mafia tanah, yang dihadapi adalah struktur ketidakadilan yang sama,” kata Abdul Rahman Rasyid anggota, KPA Sulsel, Minggu, 12 Oktober 2025.
Yang berbeda menurut Abdul Rahman hanya bentuknya. Satu lewat kebijakan negara, satu lewat praktik mafia. Tapi ujungnya sama, yaitu rakyat kehilangan ruang hidup.
Semangat Bertani dan Berkebun
Setelah menghadapi konflik tanahnya, Daeng Munding tetap berkebun di lahannya yang masih ada. Saban pagi hari, ia menjadi buruh bangunan dan siang hari barulah ia menjadi petani.
Sekitar 1 hektare luas lahan produktif yang Daeng Munding miliki untuk berkebun kopi. Ia memanen kopinya sekali setahun untuk konsumsi pribadi dan menjualnya di sekitar Malino.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur ekonomi Gowa pada 2024 ditopang utama oleh kategori pertanian sebesar 28,94 persen. Lapangan pekerjaan masyarakat Gowa sebagai petani adalah 31,62 persen.
Pada 2024, 3 komoditas utama Gowa, yaitu 408 ribu kuintal kentang, 278 ribu kuintal tomat, dan 226 ribu kuintal daun bawang. Di Batulapisi Dalam, tomat dan daun bawang menghiasi lahan produktif warga.
Daeng Munding, Saridah dan Syamsu Alam adalah petani. Dulu dan sekarang, semangat mereka tetap sama. Saridah sendiri ke kebun stroberinya yang berlokasi di depan baruga pada pagi hari.

Buah stroberinya berwarna pink ruby, berukuran kecil seperti setengah dari ibu jari. “Dijual nanti, 1 tempat (kotak gabus ukuran) 10 kg, sekitar 500 ribu rupiah,” katanya.

Sementara itu, Syamsu Alam menanam tomat dan cabai. Setelah menanam di awal tahun, tomat dan cabai siap panen pada pertengahan tahun hingga sekarang. Ia mendistribusikan dua komoditas itu ke Makassar.
Pada malam hari, ia berkendara kurang lebih 60 km untuk menuju Pasar Terong Makassar. “Mau dibawa ke Makassar,” kata Syamsu sambil memindahkan karung berisi lombok ke atas mobil pick up-nya.
Kurang lebih tujuh karung ukuran 100-150 kg mengisi bak mobil terbukanya. Pukul 21.00 WITA, ia dan istrinya membawa panennya ke pasar.
Pariwisata Vila
Tanah di sini dijual mulai Rp500.000 per meter untuk kawasan terpencil di Batulapisi dalam (lingkungan kampung baru). Harga tertinggi adalah sekitar Rp1.200.000 per meter di pinggir jalan.
Eskavator kuning di dekat tugu menjadi simbol pembangunan di lingkungan ini. Alat berat itu bertugas menggali tanah, memindahkan material, menimbun, meratakan lahan, dan membantu tugas-tugas konstruksi lainnya demi kepentingan perseorangan, swasta, atau pemerintah.

Menurut warga, vila pertama yang dibangun di situ adalah Masagena kemudian Rindu Alam sekitar 2015 ke atas. Kampoeng Eropa sendiri dibangun pada 2023.
Masagena memasang tarif Rp400.000 hingga Rp5.000.000 per malam. Sementara itu, de Rudal, vila milik Rusdin Abdullah, politisi yang pernah mengikuti pemilihan Wali Kota Makassar, disewakan sekitar Rp15.000.000 per malam.
Menurut salah satu pemilik vila, Ahmad, vila-vila baru ramai dicari penyewa pada saat hari libur biasa dan hari libur nasional. Calon penyewa bahkan terkadang menanyakan suhu dingin Malino. “Masih dingin ji vila ta?,” kata Ahmad dan istrinya, Fitri yang menceritakan kekhawatiran suhu dingin Malino.
Mereka berdua awalnya hanya membangun rumah tinggal di lingkungan Batulapisi Dalam, tapi karena di sekitar lingkungan itu didominasi vila, keduanya pun mengubah rumah itu menjadi vila.
Kini mereka menyewakan dua vila Lontara itu—harga tentatif, biasanya Rp1.000.000 per malam—. Keduanya tinggal di bawah vila tersebut.
Selain menceritakan kekhawatiran wisatawan tentang perubahan suhu di Malino, keduanya juga sedikit resah tentang diperbolehkannya kegiatan camping saat acara pariwisata tahunan, yaitu Beautiful Malino.
Mereka berpendapat bahwa culture camp itu membuat vila tidak dilirik wisatawan lagi karena mereka sudah bisa mengadakan tempat tinggal sementara. Bukan menginap di vila.
Ajang Beautiful Malino itu juga disorot oleh penjaga Vila Dawai, Eni. Menurutnya, meskipun kegiatan tahunan itu membuat kemacetan beberapa hari, acara itu juga yang meningkatkan aktivitas ekonomi di Malino.
“Kalau sukanya karena banyak tamu pas menjual ki,” kata perempuan 27 tahun itu yang juga petani stroberi, tomat, daun bawang, dan cabai.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa Ratnawati mengatakan, pihaknya melakukan pengecekan lokasi sebelum memberikan izin membangun vila. “Izin berlanjut jika tanah tersebut ada alas hak tanah,” kata Ratna saat dikonfirmasi, Rabu, 1 Oktober 2025 pagi.
Ratna menjelaskan, pembangunan vila harus sesuai prosedur dan koordinasi ke pihaknya dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Menurutnya, mengikuti aturan pemerintah adalah solusi agar masyarakat tidak dirugikan.
“Tidak ada larangan untuk bangun vila sepanjang tidak melanggar aturan dan ketentuan, dilakukan sesuai prosedur, dan tidak melanggar hukum, pembangunan vila tidak akan merugikan siapapun,” lanjutnya.
Disparbud Gowa tidak menangani sertifikat palsu sebagai dokumen untuk izin vila, multi klaim atas suatu tanah, praktik mafia tanah, dan konflik tanah. “Disparbud tidak memiliki kewenangan dalam hal seperti ini,” tutupnya.
Editor: Sahrul Ramadan

