Kakak-Adik di Baubau Diperkosa, Polisi Dinilai Salah Menetapkan Tersangka

Polisi katanya, bahkan mengabaikan pengakuan kedua korban soal pelaku, dan korban tidak pernah sekalipun menyebut saudara sulung mereka sebagai pelaku pemerkosaan.

Kakak-Adik di Baubau Diperkosa, Polisi Dinilai Salah Menetapkan Tersangka/Image by pikisuperstar - Freepik

Peringatan: Tulisan ini memuat kekerasan seksual terhadap anak dan dapat memicu trauma. Nama korban telah kami samarkan.

Ana dan Ani, adalah kakak-beradik perempuan berusia 4 dan 9 tahun. Mereka tumbuh besar di bawah pengasuhan ibu mereka, seorang pedagang sayur. Ana dan Ani empat bersaudara, dan baru beberapa bulan menetap di salah satu perumahan di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. 

Saudara sulung mereka–berusia 19 tahun–saban hari, ikut membantu sang Ibu di pasar.

Pada akhir Desember 2022, Ana dan Ani mengadu pada Ibunya, kalau mereka telah diperkosa sekelompok laki-laki, yang diduga bekerja dekat rumah mereka. Itu terjadi beberapa hari sebelumnya, di dua lokasi yang berbeda. 

(Saat buang air kecil, Ana dan Ani mengeluh sakit pada alat kelaminnya. Ibu korban lantas meminta anak-anak itu menceritakan apa yang telah terjadi.)

Ibu mereka segera melaporkan para pelaku ke Kepolisian Resort Bau-Bau. Beberapa hari kemudian, polisi justru menetapkan saudara sulung korban sebagai tersangka. 

“Bukan dia pelakunya,” kata ibu korban kepada Muh. Sutrimansyah, Kuasa Hukum saudara sulung korban, dari LBH Amanah Keadilan.

“Saat kejadian, klien kami berada di pasar,” kata Sutrimansyah dalam konferensi pers, baru-baru ini.

29 Januari 2023, polisi telah menahan remaja umur 19 tahun itu, di rumah tahanan Polres Bau-Bau. 

Penetapan tersangka itu dinilai janggal. LBH Amanah telah mengajukan Pra-Peradilan pada 21 Februari, lalu, di Pengadilan Baubau. “Kami minta status tersangka klien kami dicabut,” pungkas Sutrimansyah.


Baca juga: Siswi di Bone Diperkosa, Jatuh Sakit dan Akhirnya Meninggal


“Itu pelakunya! Lapor ke Polisi!”

Hari beranjak siang, Ana bermain seorang diri di sebuah kios dekat rumahnya. Dia tiba-tiba digendong paksa seorang lelaki yang lebih besar darinya. Ana meronta dan berhasil membebaskan diri. Dia berlari, dan hanya berhasil bebas sesaat, sebelum dia kembali tertangkap. 

Ana dibawa ke sebuah rumah kosong, di seberang rumahnya. Di situ, Ana bersama beberapa lelaki, menurut tim kuasa hukum. Satu dari lelaki itu kemudian, menyuntikkan sesuatu ke lengan kanan Ana, sebelum kesadaran anak itu menurun dan dia tak sanggup lagi untuk melawan.

Beberapa waktu kemudian, kesadaran Ana mulai kembali. Salah seorang lelaki diduga menodongkan sesuatu yang menyerupai pistol ke arah wajah Ana. Orang itu mengancam akan membunuh keluarganya jika Ana menceritakan perbuatan lelaki itu.

Para lelaki itu akhirnya pergi meninggalkan Ana sendirian. Beberapa jam kemudian, Ana pulang ke rumah, berkumpul bersama Ani, dan saudara laki-lakinya. Sementara sang Ibu dan saudara sulung sedang berada di pasar.

“Dari mana?” seorang kakak bertanya, melihat paha Ana yang lecet dan matanya yang sembab.

Ana tidak menjawab.

Usai makan, mereka tertidur. Di sela tidurnya, Ani dibangunkan suara pintu rumah yang dibuka. Saat Ani menuju ambang pintu, menurut tim kuasa hukum, seorang lelaki telah berada di dalam rumah. Dia segera ditodongkan sesuatu yang menyerupai pistol. Lelaki itu tidak sendiri. Mereka datang bertiga. 

Seorang lelaki segera menyumpal mulut Ani dengan kain. Seorang lagi meniupkan asap dari sebuah botol ke arah wajah Ani, kata kuasa hukum. Beberapa saat kemudian, Ani tak sadarkan diri.

Salah satu dari kedua orang itu tidak lain merupakan menantu dari salah satu pria–setelah diidentifikasi oleh tim kuasa hukum korban. 

Ani bahkan sempat sadarkan diri saat merasakan ingin buang air kecil, dan melihat jumlah orang disekelilingnya telah bertambah menjadi empat orang. Ani tiba-tiba saja disuntik sesuatu ke bagian lengan dan leher, dan dia kembali tak sadarkan diri.

Saat terbangun, Ani lemas–leher dan tangan terasa sakit, dan pada bagian alat kelaminnya, terasa kram.

“Ana menyaksikan langsung kakaknya ‘digilir’ tiga orang tersebut. Mereka diancam dibunuh menggunakan ‘pistol’,” kata Safrin Salam, Ketua Tim Kuasa Hukum para korban dari LBH Amanah Peduli Kemanusiaan (YLBH-ALIM). 

Dari hasil visum yang diterima tim kuasa hukum, dan dihubungkan dengan pengakuan kedua korban dan ibunya, tim menyimpulkan, bahwa anak-anak itu telah mengalami “kekerasan seksual secara fisik” dan terdapat “luka pada alamat kelamin korban.”

“Bukan pelecehan seksual,” kata Safrin. Pada lengan kanan Ana dan Ani juga ditemukan “luka sobek.”

***

Mamaaa,” teriak Ana pada Ibunya.  

“Itu pelakunya.”

Ana akan meneriakkan itu ketika dia melihat para lelaki yang berlaku jahat pada dirinya, berkeliaran di hadapannya. 

Lelaki yang ditunjuk oleh Ana adalah para kuli bangunan, pengembang perumahan tempat Ana tinggal. Lelaki lainnya telah diidentifikasi oleh tim kuasa hukum korban. Mereka adalah pemilik perusahaan pengembang perumahan, kepala tukang, dan dua kuli bangunan.

Tanpa pendampingan

Setelah Ibu korban melaporkan pemerkosaan itu ke Polres Baubau, kata Safrin, korban tidak pernah mendapatkan pendampingan khusus dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Baubau, selama memenuhi panggilan polisi. 

Dan, Safrin tidak mengakui keterangan kliennya dalam BAP polisi. “Tidak sah secara Hukum [menurut] UU TPKS (Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual),“ katanya.

“Karena tidak ada proses pendampingan klinis dari psikolog PPA Baubau saat menjalani serangkaian pemeriksaan di Polres.”

Polisi katanya, bahkan mengabaikan pengakuan kedua korban soal pelaku, dan korban tidak pernah sekalipun menyebut saudara sulung mereka sebagai pelaku pemerkosaan.

Safrin menduga, ada upaya kepolisian melindungi terduga pelaku yang sebenarnya dan keterangan korban hanya diarahkan ke ‘Kakak korban’, sementara pekerja di perumahan lebih banyak dimintai keterangannya “untuk merujuk pelaku ke kakak korban.”

Tidak ada keterangan resmi dari Polres Baubau saat berusaha dikonfirmasi mengenai kasus ini. Dalam pemberitaan lain, polisi menuduh kakak korban melakukan pemerkosaan karena terhasut film porno. 

Di sisi lain, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan (DP3A) Baubau yang membawahi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) mengaku, pihaknya telah turun tangan mendampingi dan menangani kasus ini. 

Sekretaris DP3A Baubau, Fanti Fridayanti, menjelaskan bahwa polisi tidak berhak meminta keterangan korban jika belum mendapatkan persetujuan dari konselor (psikolog) UPTD PPA atau dari kuasa hukum, terkait kondisi kejiwaan korban kekerasan seksual. 

Selama proses pemeriksaan korban, UPTD DP3A wajib mendampingi korban. 

“Jika itu dilakukan [pemeriksaan korban tanpa pendampingan], maka ada pelanggaran etik oleh PPA,” tegas Fanti. 

Sementara itu, Suriatin, Ketua UPTD PPA Sulawesi Tenggara, bilang, unitnya terus memonitoring perkembangan proses penanganan oleh PPA Baubau. Secara standar operasional dan prosedur, menurutnya, Polres Baubau harus menyampaikan perihal kasus tersebut ke PPA Baubau sejak awal, sejak pelaporan ibu korban masuk.

Suriatin bilang, para korban mengalami trauma berat dan membutuhkan rumah aman. Tetapi, hal itu tidak pernah terwujud karena kesulitan mendapatkan rumah aman. Pemilik sembilan rumah yang telah diusahakan untuk dijadikan rumah aman menolak rumah mereka dijadikan rumah aman. “Saya juga heran, kenapa mencari rumah aman seribet ini,” keluh Fanti.

Dari data yang diolah dari berbagai sumber, sebagian besar kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di Baubau dalam kurun lima tahun terakhir didominasi kekerasan seksual/pelecehan terhadap anak. Tahun 2021, DP3A Sultra mempredikatkan Baubau sebagai kota dengan kasus tertinggi kekerasan terhadap anak di Sultra mencapai 29 kasus, dan mengalami lonjakan kasus menjadi 43 kasus di tahun 2022–satu kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap dua bocah kakak beradik yang kini dalam pantauan DP3A Sultra.

“Akan kami tarik ke Mabes Polri”

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, mengingatkan jangan sampai kasus ini menjadi ‘preseden’ buruk bahwa tindak kekerasan anak bisa “direkayasa oleh kepolisian.” 

“Mohon tidak ada hal-hal tidak lurus dalam hal ini,” tegasnya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu. “Kalau perlu akan kami tarik ke Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.”

Menurut Seto, DP3A bersangkutan harus mengutamakan kondisi kejiwaan korban, dan mendengar suara anak-anak. Dia berharap nantinya hakim mempertimbangkan pengakuan korban yang tegas menyebut sejelas-jelasnya nama korban. 

Mengenai keamanan korban dan keluarganya, Seto mengatakan perlunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk turun tangan. “Kalau perlu akan kami tarik ke pusat juga,” ujarnya.

Riza Salman

Riza Salman adalah penulis lepas, di Kendari, Sulawesi Tenggara.

1 Comment

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

ollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut.
Skip to content