Eksplainer
Bollo.id — Lebih dari 500 buruh yang bekerja di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mendeklarasikan Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) di Gedung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantaeng, Ahad, 12 Oktober 2025.
Mereka adalah pekerja atau mantan karyawan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, perusahaan smelter asal Tiongkok yang tengah menghentikan sebagian besar produksinya.
Deklarasi serikat ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik kerja eksploitatif di sektor hilirisasi nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai motor kemakmuran nasional.
Ketua SBIPE KIBA, Junaed Judda, menyebut perjuangan buruh bukan hanya soal ekonomi, tetapi perlawanan terhadap penindasan. SBIPE ini dibentuk setelah ratusan buruh kehilangan pekerjaan tanpa kepastian.
Huadi Group disebut telah merumahkan sekitar 1.200 orang tanpa dasar hukum dan dialog. Masalah ini bermula dari anjloknya harga nikel dunia yang mencapai USD 15.078 per ton pada 2025—terendah sejak 2020 data dari S&P Global.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Hilirisasi dan Kenyataan di Lapangan
Sejak pemerintah melarang ekspor bijih mentah pada 2020, investasi smelter melonjak. KIBA, yang kini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN), menampung enam pabrik milik Huadi Group dengan nilai investasi sektor mineral mencapai Rp375 triliun.
Namun di lapangan, buruh mengeluhkan jam kerja 12 jam per hari, upah lembur yang tak dibayar, dan penghapusan cuti. Mereka juga menolak istilah “dirumahkan” yang digunakan perusahaan, karena pada praktiknya berarti pemutusan kerja terselubung tanpa pesangon.

Sementara itu, warga sekitar pabrik menghadapi polusi udara dan debu smelter yang mencemari permukiman dan lahan pertanian. Hasbi, Koordinator Ekosob LBH Makassar menyebut kondisi ini sebagai “pembunuhan dua kali” — terhadap buruh yang kehilangan pekerjaan dan warga yang hidup dalam polusi.
Bagi para buruh, lahirnya SBIPE KIBA adalah bentuk perlawanan struktural terhadap model pembangunan yang timpang; investasi besar dibiayai oleh pengorbanan tenaga kerja dan lingkungan.
“Buruh bekerja untuk hidup, bukan untuk mati di pabrik,” kata Wildan Siregar, Juru Kampanye Advokasi Trend Asia.

Gelombang serikat ini menjadi arus baru bagi buruh di sektor nikel Bantaeng. Hal ini menandakan munculnya kesadaran kolektif buruh untuk menuntut hak dan keselamatan kerja. Hilirisasi nikel yang dijanjikan membawa kesejahteraan ternyata hanyalah isapan jempol. Di Bantaeng, janji itu berubah menjadi luka sosial dan ekologis — dan dari debu smelter, lahirlah suara perlawanan. SBIPE KIBA — simbol keberanian buruh menuntut keadilan.
Baca juga artikel lain tentang perjuangan buruh SBIPE Bantaeng:
- SBIPE: Legalisasi Pelanggaran dan Kegagalan Negara Dalam Pusaran Konflik Buruh Vs Huadi
- Mengurai Hasil 16 Hari Aksi Pendudukan Buruh KIBA
- Rumahkan 1.350 Buruh Hingga Tak Bayar Lembur, LBH Makassar: Ada Kejahatan Ketenagakerjaan di Huadi
- 24 Jam di Smelter Huadi
- Rahim di Bawah Cerobong
- Ketika Hak Buruh Diabaikan Perusahaan
- Blak-blakan Huadi Langgar Jam Kerja dan Upah Lembur Kurang, Bagaimana Nasib Buruh?

