“Melaporkan ke mana? Percuma, kami seringkali malah dihukum karena dianggap melanggar UU ITE,” ucap Barry soal tidak adanya aturan dan ruang aman bagi komunitasnya.
Barry merupakan bagian dari kelompok rentan keragaman seksual dan gender di Makassar. “Saya sering menyuarakan hak-hak saya dan kelompok rentan lainnya, tapi ini medan perang, dan kami terus-menerus diserang,” seru Barry saat menceritakan tentang dirinya.
Barry adalah korban dari sistem yang gagal melindungi kelompok rentan. Akun media sosialnya berkali-kali dihapus atau diretas, bukan karena kelalaian, tapi karena ada yang sengaja ingin membungkamnya. “Saya sampai harus berganti identitas di media sosial, takut diintimidasi, mendapatkan ujaran kebencian menjadi hal yang melelahkan seperti menghadapi bencana setiap hari,” ucapnya.
“Kehilangan akun media sosial itu seperti kehilangan rumah, kenangan, pengalaman, semuanya hilang,” kata Barry. “Saat saya berani melakukan hal yang sama dengan orang lain ternyata akun saya dengan mudah dihapus.”
Barry mengungkapkan intimidasi yang dialaminya tak hanya terjadi di ranah publik. Akun WhatsApp-nya diretas, profilnya diganti dengan gambar vulgar, dan panggilan tak dikenal membanjiri. “Rasanya seperti diintimidasi di ruang pribadi sendiri. Yah seperti itulah, orang-orang yang menggunakan sistem untuk mengontrol dan ingin membungkam manusia lainnya,” ungkapnya.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Menurutnya, kebebasan berekspresi menjadi barang mewah. Mereka harus berhati-hati dengan setiap bisa berujung pada tuntutan hukum. Hoaks dan narasi palsu terus beredar, membuat pandangan masyarakat semakin negatif. Pelecehan online, doxing, cyberbullying, itu adalah realitas yang dihadapi bagi mereka yang bersuara.
“Mereka ingin mengintimidasi, membungkam kami,” ungkap Barry menceritakan tindakan yang dialami. “Mereka ingin kami takut untuk berbicara.”
Lebih lanjut Barry menceritakan apa yang dirasakan, sangat memungkinkan kebencian diletakkan pada dasar keyakinan tanpa memedulikan mereka sebagai manusia. Barry bertanya-tanya, dianggap berlindung di balik Hak Asasi Manusia (HAM), lalu harus ke mana saat tertindas? Mencari perlindungan hukum? Sebuah ilusi. “Melaporkan ke mana? Percuma, mereka seringkali malah dihukum karena dianggap melanggar UU ITE atau berujung mediasi.” Barry kecewa bahwa mereka selalu dianggap sepele.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya laporan lima tahun terakhir terkait serangan digital yang masuk di LBH Makassar dan LBH Apik Sulsel “Kelompok keragaman gender sangat rentan dikriminalisasi jika berhadapan dengan hukum,” ungkap Rosmiati Sain yang kerap disapa Ros dari LBH Apik Sulsel saat dihubungi. Dia menganggap para aparat penyidik di kepolisian pun biasanya tidak berperspektif korban, karena hal yang paling utama dilihat adalah Kartu Tanda Penduduk.
Seperti Ghupta, individu keragaman gender yang ada di Makassar menceritakan mengenai serangan digital yang dialami kawan-kawannya. Ada temuan bahwa mereka pernah mengalami peretasan atau penyadapan. Kemudian ada juga yang mengalami phishing.
Misalnya mereka dipancing untuk memberikan data pribadinya untuk diakses akun penting. Ada juga yang mengalami pemalsuan identitas. Fotonya diambil entah dari mana dan bagaimana orang-orang itu mengaksesnya, berpura-pura menjadi mereka dan melakukan pemerasan seolah-olah mereka yang melakukan tindakan tersebut. Mereka turut serta menjadi korban cyberbullying, bagi mereka yang telah berani tampil (coming out)di Instagram, bukannya mendapat respons penghargaan atas keberaniannya, mereka justru mendapatkan ujaran kebencian bahkan diviralkan. Orang-orang justru melupakan bahwa hak mereka sebagai manusia yang berhak bebas berekspresi dan memperoleh ruang aman dan nyaman di mana pun.
Baca laporan mendalam yang relevan dengan tulisan ini:
Mereka yang Dibenci tapi Dibutuhkan
Bagaimana Media di Makassar menjadi Mimbar Kebencian terhadap Keragaman Gender dan Seksual?
Laporan Tahunan
Wida Arioka dari SAFEnet mengatakan bahwa setiap tahunnya pasti ada saja laporan dari kelompok LGBTQ, mengenai serangan digital, “melihat dari laporan-laporan kami pasti ada saja satu atau dua bagian yang membahas tentang pemutusan ataupun serangan digital buat teman-teman LGBTIQ,” ungkapnya.
Wida merasa kelompok LGBTQ itu adalah bagian dari kelompok rentan, yang juga merupakan bagian fokus dari SAFEnet. “Misalnya setiap tahun pasti ada saja kegiatan dari teman-teman yang kemudian mendapat larangan, tidak boleh dilaksanakan, mendapatkan ancaman-ancaman, dan itu juga menjadi concern kami juga,” tambahnya.
Hal ini diperkuat dengan adanya laporan PurpleCode yang diterbitkan tahun 2024 dengan judul “Resiliensi di antara Represi Kebebasan Berekspresi” terkait dengan target pelaku KBGO, menurut responden terdapat bermacam-macam. Target itu bisa berupa identitas gender (19,83%), orientasi seksual (17.82%), ekspresi gender (14.96%), usia (10,25%), ras, dan atau etnisitas (10,8%), pekerjaan (9,08%), agama (7,9%), disabilitas (7,9%), dan lainnya (2,18%), di mana pembahasan mengenai target yang paling rentan mendapatkan KBGO yaitu mengenai identitas gender.
Terkait dengan kerentanan dalam menghadapi risiko serangan KBGO, sebagian besar responden menyebut bahwa pihak yang paling rentan adalah perempuan (35,25%) dan komunitas LGBT+ (33,81%). Data ini menunjukkan kelompok keragaman gender menjadi target sasaran yang besar, menerima serangan KBGO di dunia digital.
Sementara itu, Mira selaku pendamping di LBH Makassar mengatakan dalam lima tahun terakhir, LBH Makassar tidak mencatat beberapa kasus serangan digital terhadap kelompok keragaman gender, meskipun mayoritas serangan yang dilaporkan lebih bersifat langsung atau fisik. Serangan digital, seperti hacking, doxing, dan ujaran kebencian (hate speech), memang terjadi, terutama dalam konteks kegiatan besar yang melibatkan kelompok keragaman gender. Salah satu contohnya adalah insiden di Jakarta, di mana sebuah acara internasional yang melibatkan banyak peserta LGBTQ secara tidak sengaja terpublikasikan, sehingga beberapa akun media sosial peserta, termasuk dari Makassar, diretas.
“Untungnya, beberapa kelompok keragaman gender di Makassar telah memiliki jaringan keamanan digital yang kuat, seperti kerja sama dengan SAFEnet,”ungkapnya.
Lanjut ia menjelaskan serangan semacam ini biasanya dapat segera diatasi melalui jaringan tersebut, tanpa melibatkan LBH secara langsung. Namun, ketika serangan langsung terjadi, terutama selama periode sensitif seperti pembahasan perda anti-LGBT di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, LBH Makassar menjadi salah satu lembaga yang menyediakan pendampingan hukum dan perlindungan.
Menurutnya, meski melaporkan serangan digital ke pihak kepolisian, tetapi sering kali menjadi tantangan tersendiri. Ketiadaan perspektif yang inklusif terhadap kelompok keragaman gender di institusi kepolisian membuat proses pelaporan menjadi sulit dan bahkan tidak aman. Oleh karena itu, kelompok keragaman gender, kata Mira lebih sering mengandalkan jaringan independen untuk meng-counter serangan digital daripada menempuh jalur formal.
“Salah satu kendala terbesar adalah sistem hukum yang belum inklusif,” kata Mira. “Saat melaporkan kekerasan atau pelecehan, penyidik kerap fokus mempertanyakan identitas gender korban daripada menangani pokok permasalahan.”
Itulah, menurut Mira, membuat banyak korban ragu untuk melapor, sehingga data terkait kasus serangan terhadap kelompok keragaman gender pun menjadi minim.
Di LBH Makassar sendiri, ada alur pendampingan khusus untuk menangani kasus-kasus seperti ini. Pendampingan dilakukan dengan pendekatan yang lebih sensitif mengingat kerentanan komunitas LGBTQ. Fokus utama adalah melindungi data korban, memberikan dukungan hukum, dan merujuk mereka kepada jaringan yang memiliki keahlian khusus dalam pengamanan digital.
“Beberapa teman yang sudah teredukasi soal keamanan digital biasanya lebih aman, tapi bagi yang belum, risiko serangan digital masih besar,” ujarnya.
Organisasi seperti LBH Makassar bersama jaringan pendukungnya terus berupaya melindungi komunitas LGBTQ. Mereka bekerja memastikan bahwa individu yang berani tampil terbuka tidak kehilangan hak-haknya di dunia kerja dan pendidikan, meski tantangan serupa muncul. Mereka yang identitas gendernya terungkap kerap menghadapi diskriminasi, seperti pemecatan atau ancaman kehilangan hak atas pendidikan. LBH Makassar memandang hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan seperti api jauh dari panggangan.
Membangun Kesadaran Melalui Diskusi
Sejak November 2023 hingga Januari 2024, salah satu kelompok keragaman gender di Makassar mengadakan serangkaian diskusi intensif mengenai keamanan fisik dan digital. Kegiatan ini melibatkan total 109 individu LGBT atau individu dengan ragam gender dan seksual. Tujuan utama dari diskusi ini adalah meminimalkan risiko serangan digital sekaligus memberikan pencegahan agar serangan berdurasi singkat. Mereka sadar betapa rentannya ancaman dan serangan yang akan mereka dapatkan kelak di kemudian hari.
Dari enam pertemuan, ada temuan bahwa peserta yang hadir pernah mengalami peretasan atau penyadapan. Kemudian ada juga yang mengalami phishing “seperti halnya dia dipancing untuk memberikan data pribadinya, untuk diakses di akun penting.” Selanjutnya, ditemukan juga ada yang mengalami impersonate atau pemalsuan identitas yang menirukan korban dengan memakai fotonya dan melakukan penipuan terhadap orang lain.
Melindungi Diri di Dunia Digital
Sejak 2015, kelompok keragaman gender dan seksual telah menyelenggarakan berbagai pelatihan keamanan digital. Meski pelatihan pertama sudah cukup lama, ancaman digital terus berkembang. Hal ini mendorong mereka untuk terus memperbarui panduan dan strategi mereka. Pada tahun 2020, mereka mengadakan diskusi yang membahas kiat-kiat keamanan digital, disusul pada 2022 dengan pelatihan bersama Komisi Nasional Perempuan membahas jenis-jenis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan langkah-langkah pencegahan.
Puncaknya, pada 2023 hingga awal 2024, mereka mengadakan enam kali diskusi yang tidak hanya fokus pada keamanan digital, tetapi juga keamanan fisik. Diskusi-diskusi ini ditujukan untuk memberikan panduan yang lebih relevan dan praktis bagi para peserta, khususnya kelompok keragaman gender yang sering menjadi target serangan.
Salah satu langkah signifikan yang dilakukan adalah merevisi panduan keamanan digital mereka dengan bantuan SAFEnet. Tujuannya adalah memastikan dokumen ini tetap relevan menghadapi ancaman yang semakin canggih. Panduan ini mencakup berbagai aspek, seperti identifikasi jenis-jenis serangan digital, langkah-langkah mitigasi untuk perangkat seperti ponsel dan laptop, rekomendasi aplikasi aman, hingga jalur komunikasi yang dienkripsi.
Selain menyusun panduan, mereka juga berkomitmen untuk meluaskan jangkauan pelatihannya. Mereka secara aktif mengajak lebih banyak individu-individu keragaman gender untuk bergabung dalam diskusi atau pelatihan keamanan digital. Dengan berbagi panduan ini, mereka berharap dapat meningkatkan kesadaran dan kemampuan komunitas mencegah serta merespons ancaman digital.
Ghupta dan kawan-kawan lainnya memahami bahwa dunia digital terus berkembang, begitu pula dengan ancaman yang ada. Oleh karena itu, pembaruan rutin dari mereka serta adaptasi menjadi kunci. Tidak hanya untuk melindungi diri, tetapi juga untuk menciptakan ruang aman bagi kelompok keragaman gender di dunia maya.
Cermin Tatanan Masyarakat yang Kompleks
Suci yang merupakan anggota Perempuan Mahardhika Makassar memandang media sosial, yang sering dianggap sebagai ruang bebas, sebenarnya mencerminkan tatanan masyarakat saat ini, sistem yang didominasi oleh patriarki dan norma heteronormatif.
“Bagi teman-teman kelompok keragaman gender, media sosial memang menawarkan peluang lebih besar untuk mengekspresikan diri. Namun, kebebasan ini sering kali bersyarat,” ucap suci sembari menyebutkan bentuk-bentuk keterbatasan yang mereka dapatkan.
Misalnya, mengunggah foto bersama pasangan dengan kata-kata cinta tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Akun-akun sering diprivasi atau memanfaatkan fitur seperti close friends di Instagram agar hanya orang-orang terpercaya yang dapat melihat. Hal ini dilakukan demi menjaga keamanan, mengingat ruang publik di media sosial belum sepenuhnya aman.
Suci pun berpendapat imbas dari banyaknya serangan yang terjadi, banyak anggota komunitas LGBTQ merasa tidak nyaman untuk terbuka karena risiko diskriminasi yang masih teramat tinggi. Bahkan, akun-akun organisasi yang bergerak di isu LGBTQ pun kerap memprivasi unggahan mereka untuk melindungi anggota dan pengikutnya. Hal ini menggambarkan bahwa media sosial hanya menjadi versi lain dari “tatanan masyarakat kita yang patriarki dan heteronormatif.”
Ketakutan ini tidak hanya hadir di dunia digital tetapi juga di kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dengan ekspresi maskulin yang sering menghadapi diskriminasi di tempat kerja. Di kawasan industri seperti di Makassar, ada banyak kasus di mana pekerja perempuan dengan ekspresi maskulin dipaksa mengenakan jilbab atau menerima komentar merendahkan seperti, “kamu laki atau perempuan?”
Diskriminasi juga terlihat dalam pembagian tugas kerja, di mana maskulinitas dianggap sebagai patokan untuk pekerjaan tertentu. “Di Kawasan Industri Makassar itu sangat banyak aku temukan kawan-kawan yang berekspresi ‘tomboy’ berekspresi maskulin itu ketika bekerja mereka dipaksa untuk memakai kerudung dan beberapa juga mendapatkan diskriminasi,” ungkap suci.
Antara Stigma dan Perampasan Hak
Diskusi yang merendahkan juga sering muncul di media sosial. Komentar seperti “diam aja bencong” atau “boti” kerap digunakan untuk menyerang berbagai kelompok keragaman gender. Menurut Suci seksualitas adalah bagian dari privasi seseorang, bukan hal yang seharusnya menjadi dasar penilaian terhadap kemampuan atau karakter seseorang.
Suci beranggapan objektifikasi juga menjadi salah satu masalah besar, terutama bagi perempuan lesbian. Di media sosial, mereka sering dijadikan objek seksual melalui komentar dan pernyataan yang merendahkan. Salah satu contoh terbaru adalah seorang pembuat konten di X (Sebelumnya Twitter) yang menyebut lesbian sebagai “haram” tetapi tetap “menarik.” Pernyataan semacam ini tidak hanya merendahkan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang toxic bagi perempuan keragaman gender.
Perempuan Mahardhika Makassar melalui Posko Paralegal Perempuan Muda Sebaya menjadi salah satu tempat yang menawarkan pendampingan bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk individu keragaman gender. Fokus utama pendampingan ini adalah kesejahteraan psikologis korban, yang sering kali menjadi dampak pertama dari kekerasan, baik di dunia maya maupun nyata. Dalam setiap kasus, mereka memastikan korban mendapatkan pendampingan hingga tahap pemulihan psikis.
Namun, menurut Suci tantangan utama dalam mendukung kelompok keragaman gender tidak hanya datang dari pelaku kekerasan di masyarakat, tetapi juga dari pemerintah. Narasi-narasi diskriminatif dari pejabat negara, seperti pernyataan bahwa LGBTQ adalah “ancaman negara” atau bahwa “angka pernikahan menurun karena LGBTQ” mempersempit ruang gerak aktivisme dan menciptakan stigma yang lebih dalam.
Dampak dari pernyataan-pernyataan semacam ini bukan hanya menyakiti secara simbolis tetapi juga memperburuk kerentanan kelompok keragaman gender di dunia digital. Ketika isu-isu terkait LGBTQ naik ke permukaan–terutama menjelang pemilu atau momen politik lainnya–ruang media sosial yang seharusnya menjadi platform ekspresi justru berubah menjadi medan yang tidak aman. Banyak anggota kelompok keragaman gender memilih untuk menghindari aktivitas daring demi melindungi diri dari serangan dan stigma.
Padahal, media sosial memiliki potensi besar untuk mendukung gerakan inklusivitas, terutama karena mayoritas penggunanya adalah anak muda dengan perspektif yang lebih terbuka. Sayangnya, ketika pemerintah terus memproduksi narasi diskriminatif, ruang tersebut menjadi semakin sulit diakses oleh kelompok keragaman gender.
Perempuan Mahardhika Makassar, dalam upaya mendukung korban kekerasan dan stigma, berusaha menciptakan ruang aman dan memperkuat solidaritas melalui pendampingan, edukasi, dan pernyataan tandingan terhadap narasi diskriminatif. Namun, hingga pemerintah mulai mengadopsi perspektif yang lebih inklusif dan menghentikan produksi narasi yang merugikan, perjuangan untuk keadilan dan keamanan bagi kelompok keragaman gender akan tetap menjadi tantangan yang berat.
Tantangan dan Ancaman Kelompok Transpuan
Eman yang merupakan anggota dari kelompok transpuan yang ada di Makassar mengungkapkan, bagi komunitas transpuan, kebebasan berekspresi di ruang publik termasuk di media sosial, semakin terasa terbatas. Sejak 2010, meningkatnya sentimen negatif terhadap pilihan gender, terutama bagi mereka yang memilih menjadi transpuan, telah memicu kekerasan dan diskriminasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman untuk berekspresi kini malah menjadi tempat yang penuh ancaman bagi banyak transpuan. Hal ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi mereka semakin menyempit, baik di dunia nyata maupun maya.
Kelompok transpuan seringkali menjadi sasaran serangan digital di media sosial. Narasi-narasi negatif dan ujaran kebencian terhadap mereka, yang sering disampaikan atas nama moral atau agama, sangat masif beredar. Pola-pola ini bahkan memicu serangan digital yang lebih serius, seperti pengintaian akun media sosial dan percobaan peretasan. “Bahkan ada kawan kami yang dilaporkan atas konten yang dibuat di sosial media dengan alasan melanggar UU Pornografi,” ujarnya.
Eman merasa ada rasa tidak aman dan khawatir yang dirasakan oleh banyak individu-individu transpuan saat menggunakan media sosial. Ancaman digital yang mereka hadapi membuat beberapa dari mereka memilih untuk membatasi akses publik ke akun media sosial mereka, menjadikannya privat agar tidak terkena dampak buruk dari serangan atau gangguan. Keadaan ini mencerminkan betapa media sosial, yang seharusnya menjadi tempat bebas untuk berekspresi, justru menjadi sumber kecemasan bagi komunitas ini. LGBTQ, akronim yang kerap disematkan pada komunitas keragaman gender dan seksual.
Editor: Agus Mawan W