Bollo.id — Perkara dugaan kekerasan seksual terhadap difabel yang menjadi korban terus berproses di Pengadilan Negeri Makassar. Menurut informasi yang diterima dari Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar, sidang pada 21 Mei 2025 lalu, pihak terdakwa telah menghadirkan saksi meringankan (a de charge).
Terdakwa dalam kasus ini adalah Ahmad Qori, guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Laniang, Kecamatan Tamalanrea. Empat saksi yang hadir adalah rekan seprofesi terdakwa. Salah satu saksi juga merupakan wali kelas korban.
Para saksi yakin bahwa terdakwa tidak pernah melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap korban. “Kesaksiannya itu bahwa di sekolah, terdakwa tidak pernah terpisah sama empat saksi ini,” kata Koordinator Bidang Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewita Purnama kepada Bollo.id, Jumat, 23 Mei 2025.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Mereka selalu sama-sama dan itu dibantah sama hakimnya ‘Kenapa bisa sama-sama terus padahal sudah jam pelajaran mi, jam mengajar, masa nda berpisah’. Mereka juga yakin kalau terdakwa tidak pernah melakukan kekerasan seksual terhadap korban.”
Ambara menilai saksi membela tindak kekerasan seksual dengan mengaitkan profesi terdakwa sebagai guru. “Mereka ini adalah pendidik. Kesaksiannya semua hanya membela ke gurunya tanpa melihat fakta (tindakan kekerasan seksual),” ungkapnya.
“Ini yang menjadi korban adalah perempuan, anak-anak, dan disabilitas. Jadi kerentanannya itu tiga lapis. Tapi, mereka mengesampingkan itu dan memilih hubungan profesinya,” Ambara menegaskan.
Akibat kekerasan seksual itu, tangan kiri korban terluka. “Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru di SLB tersebut menambah catatan buruk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan,” kata Ambara.
Karena dianggap tak lagi menyediakan ruang aman, korban pun memilih untuk pindah sekolah. “Hal ini juga memperlihatkan bahwa di institusi pendidikan tidak ada jaminan ruang aman dari tindakan kekerasan seksual,” ucap Ambara.
Lebih lanjut, Ambara menyebut bahwa Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Makassar sampai sekarang tidak memihak korban. Keberpihakan tersebut tetap sama sejak PGRI meminta jalur damai kepada keluarga korban.
“Sama sekali tidak tampak kalau ini PGRI berpihak pada korban, sampai sekarang. Karena mereka (PGRI) pernah meminta damai pada keluarga korban, ketemu langsung,” lanjutnya.
Baca juga:
- Kekerasan demi Kekerasan: Potret Klise Kepolisian Tangani Demonstrasi
- Remaja Disabilitas Intelektual Kurang Diperhatikan dalam Pemilu
“Kasus (KS) di Laniang ini (ditangani) dengan adanya koalisi, yaitu Koalisi Bantuan Hukum Inklusif (KBRN) Makassar. Jadi, di dalam itu ada beberapa jaringan yang terlibat. Ada satu jaringan di situ yang memang banyak kenalannya di Polrestabes Makassar.
LBH bersama koalisi bahkan mendapatkan informasi bahwa pihak terdakwa menempuh upaya hukum lain. “(Dia) dapat info dari situ kalau ini pihak PGRI minta penangguhan dan penahanan untuk pelaku. Permintaan damai itu ketua PGRI yang langsung kontak ke (keluarga) korban selaku pelapor,” ungkap Ambara.
Agenda sidang selanjutnya adalah pemeriksaan terdakwa. Hakim meminta kehadiran terdakwa secara langsung. “Rabu ini (minggu depan), pemeriksaan terdakwa. Kalau sidang-sidang lain terdakwanya hadir online, tapi hakimnya minta memang terdakwa (kasus KS ini) hadir langsung,” lanjutnya.
Ahmad Qori diketahui diduga melecehkan siswa SLB, korban disabilitas bisu-tuli pada November 2024. Keluarga korban, HN (27) yang membuat laporan polisi (LP) di Polrestabes Makassar. Pihak kepolisian menjerat tersangka saat itu dengan pasal 6 huruf C juncto pasal 15 ayat 1 huruf b, g, dan h tentang tindak pidana kekerasan seksual.
Sebelumnya, korban juga telah beberapa kali mengalami kekerasan seksual dengan pelaku yang sama. “Saat dikonfirmasi mengenai hari kejadian, korban hanya menyebut hari Senin dan Selasa,” dikutip dari rilis pers LBH Makassar.
Editor: Sahrul Ramadan