Debu

Bau busuk

Penyakit

Merusak sawah

Potret hilirisasi nikel di Kabupaten Bantaeng

Diabaikan Perusahaan, Ditinggalkan Pemerintah

Bagaimana hilirisasi nikel meninggalkan dampak buruk bagi warga rentan di Kabupaten Bantaeng?

Hujan debu menyelimuti dan bau busuk menyengat tanpa ampun memasuki setiap cela di rumah-rumah di Kampung Papan Loe dan Borong Loe, Kabupaten Bantaeng. Tak ada tempat yang nyaman. Di sini, sejak 2018 dan setahun terakhir kondisi lingkungan warga menjadi lebih buruk dan beringas. 

“Sejak perusahaan itu datang,” kata Asri kepada Bollo.id, Jumat, 2 Agustus 2024. “Warga menjadi kenyang mata, kenyang telinga, dan kenyang hidung.”

Asri sedang membicarakan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), yang di dalamnya telah berdiri enam pabrik pengolahan nikel milik Huadi Group, perusahaan pengolaan nikel asal Shanghai, Tiongkok. Masing-masing;  PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Unity Nickel-Alloy, PT Downstone Energy Material, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Yatai Huadi Alloy Indonesia  dan PT Hengseng New Energy Material Indonesia. 

Enam perusahaan itu mengolah bahan baku ore dari tambang di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Pulau Kalimantan. Kapal tongkang bersandar di pelabuhan tepat di depan gerbang kawasan itu, bersisihan dengan jalan utama negara yang menghubungkan Bantaeng menuju Kabupaten Bulukumba. 

Cerobong-cerobong pabrik bekerja 24 jam penuh tanpa henti. Protes warga karena kebisingan, truk yang membawa debu, cerobong yang mengeluarkan asap putih pekat dan hitam, sungai yang rusak, tanaman yang mati, hingga areal persawahan yang gagal panen, bagai angin lalu.

Puluhan orang bilang, perusahaan yang senang, warga yang buntung. “Ka dilihat mi sendiri. Kami hanya dapat susahnya,” kata beberapa warga. 

Warga kemudian menunjukkan, tanamannya. Pohon mangga yang seharusnya berdaun hijau, berubah cokelat. Pepaya yang menjadi cokelat bagai terbakar api. Pohon asam, juga ikutan mati, dan rumput di halaman rumah, juga mati. 

“Itu e, lihat mi,” kata Basri, 43 tahun, warga lainnya. “Itu pohon semua, harusnya yang gugur itu yang daun tua, kalau normal. Sekarang yang gugur duluan itu daun mudanya. Jadi itu bagaimana?”

Itu baru tanaman, kata Basri. Bagaimana dengan benda lainnya?

Salah satu rumah warga yang diselimuti debu berwarna kemerahan di sekitar areal industri smelter Huadi Group, Kawasan Industri Bantaeng. Setiap hari warga harus membersihkan debu tebal di teras rumahnya. Bukan hanya pada lantai rumah, bahkan atap rumah warga sampai berwarna merah karena tebalnya debu tersebut/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Salah satu rumah warga yang diselimuti debu berwarna kemerahan di sekitar areal industri smelter Huadi Group, Kawasan Industri Bantaeng. Setiap hari warga harus membersihkan debu tebal di teras rumahnya. Bukan hanya pada lantai rumah, bahkan atap rumah warga sampai berwarna merah karena tebalnya debu tersebut/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas asap pembakaran dari pemurnian bijih nikel menjadi barang setengah jadi, di salah satu industri milik Huadi Group, di Desa Barangloe. Dari hasil uji lab buku mutu kualitas udara yang dilakukan PT Mutu Agung Lestari di Makassar, Dari enam parameter yang diuji, dua di antaranya Karbon Monoksida (CO): Hasil Uji: 16.000 µg/m³ dan Sulfur Dioksida (SO2): Hasil Uji: 639 µg/m. Menunjukkan hasil yang jauh melebihi batas baku mutu yang diperbolehkan, yang berarti terdapat pencemaran udara yang signifikan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas asap pembakaran dari pemurnian bijih nikel menjadi barang setengah jadi, di salah satu industri milik Huadi Group, di Desa Barangloe. Dari hasil uji lab buku mutu kualitas udara yang dilakukan PT Mutu Agung Lestari di Makassar, Dari enam parameter yang diuji, dua di antaranya Karbon Monoksida (CO): Hasil Uji: 16.000 µg/m³ dan Sulfur Dioksida (SO2): Hasil Uji: 639 µg/m. Menunjukkan hasil yang jauh melebihi batas baku mutu yang diperbolehkan, yang berarti terdapat pencemaran udara yang signifikan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Di Borong Loe, sebuah rumah beton yang ditinggal penghuninya merantau ke Malaysia, atap dapurnya sudah roboh. Padahal sang empu rumah baru saja mengganti atap seng itu, sesaat sebelum meninggalkan kampung, setahun lalu. 

Seng-seng itu karatan, rontok, dan menjadi serpihan kecil. Basri, menunjukkan kemarahannya. Tapi tak tahu harus mengadu ke mana. Suaranya terlampau kecil untuk didengar. “Kalau dulu beli seng baru itu, usia pakainya sampai 5 tahun. Sekarang, tidak sampai dua tahun, malah tidak sampai satu tahun,” Basri bercerita. 

“Banyak warga yang atapnya sudah bocor, kalau hujan bocor. Kalau tidak hujan, tempatnya debu masuk.”

Kalau mau lihat debu, kata warga, datanglah pada malam hari. Perhatikan kendaraan yang lewat, dari lampu yang disorot, debu bahkan bagai kabut. Seperti hujan. “Ada juga itu seperti asap, tapi kalau keluar dari cerobongnya, itu jatuhnya seperti ada air. Seperti hujan rintik,” kata Basri.

Jika browser kamu tidak mendukung pemutar otomatis, kamu bisa memutarnya secara manual.

Asap yang seperti hujan? Selama sepekan saya dan Iqbal Lubis, fotografer, berkeliling kampung menggunakan sepeda motor. Pada hari kedua, menjelang siang, mencoba membuka kacamata pelindung yang saya gunakan, dan membuktikan apa yang diceritakan Basri.

Secara kasat mata, saya memang tak melihat asap yang membawa air bagai hujan itu. Tapi wajah dan mata saya, seperti kena percikan air. Mata menjadi perih. Di tempat duduk motor yang kami parkir, debu menempel dengan bintik kecil menggumpal. 

Saya bergidik. Hidung dan mulut saya yang terbungkus masker, sesak melihatnya. Sementara di halaman rumah tempat kami mengasoh, tujuh anak yang masih di Sekolah Dasar, bermain bulu tangkis dan berlarian. “Kau tidak rasa bau busuk?” kata saya.

“Rasa ji. Tapi tidak apa-apa,” kata salah seorang dari mereka. 

“Biasa ji sakit kepala (pusing), tapi sebentar,” yang lain menambahkan. 

“Tapi biasa juga, kalau bau sekali. Saya pernah muntah.”

Nelayan menyiapkan jaring tangkapannya sembari beristirahat di pesisir dekat dengan dermaga Jetty milik PT Huadi Group. Air laut yang mulai terpapar limbah dan sisa bongkar muat nickel ore, Pihak paling terkena dampak akibat limpasan limbah adalah para petani rumput laut, yang jadi mata pencarian utama warga setempat. Tanaman rumput laut yang berada dekat dermaga jetty banyak yang rusak dan gagal panen/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Nelayan menyiapkan jaring tangkapannya sembari beristirahat di pesisir dekat dengan dermaga Jetty milik PT Huadi Group. Air laut yang mulai terpapar limbah dan sisa bongkar muat nickel ore, Pihak paling terkena dampak akibat limpasan limbah adalah para petani rumput laut, yang jadi mata pencarian utama warga setempat. Tanaman rumput laut yang berada dekat dermaga jetty banyak yang rusak dan gagal panen/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas bongkar truk pengangkutan nicekl ore yang melintasi dermaga dengan material timbunan dari slag limbah nikel. Petani rumput laut dan nelayan yang mata pencahariannya di tepi pantai di dekat pelabuhan jetty Huadi mengatakan semenjak adanya jetty perusahaan, hasil panen rumput laut milik mereka mengalami penurunan dari sebelum adanya pelabuhan jetty/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas bongkar truk pengangkutan nicekl ore yang melintasi dermaga dengan material timbunan dari slag limbah nikel. Petani rumput laut dan nelayan yang mata pencahariannya di tepi pantai di dekat pelabuhan jetty Huadi mengatakan semenjak adanya jetty perusahaan, hasil panen rumput laut milik mereka mengalami penurunan dari sebelum adanya pelabuhan jetty/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Pudding, 35 tahun, seorang bapak tiga anak yang menemani kami hanya bisa menghela napas. Baginya Kampung Borong Loe sudah tak sehat. Tapi dia tak punya pilihan, sebab di sini tempatnya berusaha. Di samping rumahnya ada usaha pembakaran bata merah. Di depan rumahnya, ada pondok kecil yang dia gunakan untuk menata dagangan buah. 

Tapi sejak setahun ini, pondok jualan itu sudah tak lagi berfungsi. “Tidak mungkin menaruh semangka, rambutan, atau mangga di situ. Penuh debu. Siapa mau beli,” katanya. 

Pudding, punya anak tiga. Jumriani adalah anak sulungnya, berusia 14 tahun dan Sekolah Tingkat Pertama. Anak kedua, Asti, berusia 5 tahun dan anak ketiganya, usianya menjelang 3 bulan. 

Dua hari sebelumnya, Jumriani baru keluar dari sebuah klinik di Bantaeng. Dia mengalami demam dan dokter mendiagnosanya mengidap demam berdarah. Selama tiga hari, si anak dirawat inap dengan selang infus. 

Saat menjumpai Jumriani, dia masih terlihat lemas. Dia berbaring di atas karpet dekat ibunya dan adik bungsunya yang sedang ditidurkan dalam ayunan. Keluarga ini tak mendapatkan hasil rekaman diagnosis. “Katanya sudah baik. Jadi sudah bisa pulang dan dikasih obat,” kata Pudding. 

Jumriani membawa dua resep obat dari klinik itu, tapi keluarga itu tak tahu peruntukan obatnya untuk apa. Mereka hanya mengikuti perintah dari klinik. Saya kemudian mengirimkan dua jenis obat itu kepada dokter di Kota Makassar. 

Rupanya obat yang dikonsumsi Jumriani, secara umum diperuntukkan untuk batuk dan alergi. “Batuk ka memang juga. Tapi kalau alergi nda tahu,” katanya. 

Salah satu industri rumahan batu bata yang mengalami gagal produksi akibat pekerjanya berkurang karena adanya polusi debu yang sering saat bekerja/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Salah satu industri rumahan batu bata yang mengalami gagal produksi akibat pekerjanya berkurang karena adanya polusi debu yang sering saat bekerja/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Wajah Jumriani masih pucat. Belum segar. Mengenai batuknya, dia beranggapan karena paparan debu. 

Sebagai anak remaja, Jumriani sudah mendapatkan satu kamar sendiri. Tapi kamarnya belum memiliki plafon. Ruangan utama seperti ruang tamu dan keluarga, sudah ditambahkan plafon dari plastik terpal. 

Jumriani mengizinkan kami melihat kamarnya. Lantainya penuh debu, bagian atas lemari juga sudah mengendap debu. Kasurnya yang dibalut seprei, sudah berubah menjadi cokelat. Padahal kamar itu, baru ditinggalkan selama 5 hari. 

Malam hari, dia belum tidur di kamarnya. Tapi siang, dia biasa berbaring di kasurnya sendiri. Tapi, debu tak kenal waktu datangnya. “Jadi kalau orang bilang, kita (warga) sudah makan debu itu sudah pasti,” kata Pudding. 

“Mungkin kalau ada pemeriksaan di hidung ini penuh mi debu.”

Pudding melanjutkan, “yang di makanan pasti juga. Karena kalau makan, tidak mungkin mau buru-buru kalau makanan panas. Biasa nasi itu, ditinggal sebentar, sudah bintik-bintik merah. Jadi kami juga sudah makan debu.”

Pudding bilang, terpal sebagai plafon sementara. Sebab membuat plafon berbahan kayu dan tripleks menuntut biaya besar. “Terpal biar jangan terlalu banyak masuk debu. Dan kalau hujan, atap bocornya air tidak langsung ke lantai,” lanjutnya. 

Di Borong loe warga menuding aktivitas PT Hengseng New Energy Material Indonesia lah yang menjadi biang keroknya. Analogi warga, ketika PT Huadi, Unity, dan Yatai beroperasi di sekitaran Desa Papan Loe, yang tak jauh dari desa, warga hanya merasakan bau. 

Tapi bukan berarti lima perusahaan yang beroperasi itu tidak membawa dampak buruk pada warga. Dua kampung di Desa Papan Loe, yakni Mawang dan Balla Tinggia, sejak tahun 2016, sudah diselimuti debu.

Kamar Jumriani (12) sudah 2 bulan lamanya tidak difungsikan akibat debu berwarna kemerahan yang terus masuk hingga ke kamarnya. Jumriani juga pernah mengalami mual dan sesak sejak saat itu iya takut untuk tidur di kamarnya/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Kamar Jumriani (12) sudah 2 bulan lamanya tidak difungsikan akibat debu berwarna kemerahan yang terus masuk hingga ke kamarnya. Jumriani juga pernah mengalami mual dan sesak sejak saat itu iya takut untuk tidur di kamarnya/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Jumriani (12) dan dua orang adiknya bermain di ruang tamu yang dianggap steril dari polusi debu. Sejak adanya industri nikel setiap harinya Jumriani dan saudaranya tak berani keluar bermain karena mereka takut mengalami sakit dan batuk/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Jumriani (12) dan dua orang adiknya bermain di ruang tamu yang dianggap steril dari polusi debu. Sejak adanya industri nikel setiap harinya Jumriani dan saudaranya tak berani keluar bermain karena mereka takut mengalami sakit dan batuk/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Kamar Jumriani (12) sudah 2 bulan lamanya tidak difungsikan akibat debu berwarna kemerahan yang terus masuk hingga ke kamarnya. Jumriani juga pernah mengalami mual dan sesak sejak saat itu iya takut untuk tidur di kamarnya/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Saham Hengsheng New Energy Material, dikuasi Hainan Recycore New Energy Co.Ltd (50 persen), Huadi Invesment Group (20 persen), Shengwei New Energy Pte. Ltd (15 persen), dan Zoomwe Hongkong New Energy Technology Co.Ltd (15 persen). Dalam website milik Huadi, PT Hengseng memproduksi 10.000 – 13.300 metric ton nickel iron sulfat per tahun.

Dan setelah Hengseng beroperasi, apa yang dirasakan warga Papan Loe dirasakan juga warga di Borong Loe. Lalu bagaimana tanggapan perusahaan? “Tidak ada. Mereka lewat saja, tidak buka kaca mobil. Tidak ada yang singgah tanya kabar kami,” katanya. 

Namun demikian, keluhan itu tetap sampai ke perusahaan. Akhirnya pada 11 Juli 2024, Hengseng mengambil sampel debu yang dilakukan dengan metode pengambilan debu dengan Impinger dan Sound Level Meter

Pengambilan sampel itu dilakukan pada pukul 13.30 – 16.00 Wita, di permukiman warga Borong Loe. Uji analisis itu dilakukan pada 12 – 22 Juli 2024, di PT Mutuagung Lestari, di Makassar. 

Hasil uji itu diterbitkan dan diberikan ke PT Hengseng pada 22 Juli 2024. Dalam uji itu, Mutuagung memeriksa enam parameter. Masing-masing, Sulfur Dioksida (SO2) mencapai 639 µ/m³ dari baku mutu 150 µ/m³. 

Kemudian untuk Karbon Monoksida (CO) hasilnya 16000 µ/m³ dari baku mutu 10000 µ/m³. Nitrogen Dioksida (NO2) sebesar 20,9 µ/m³ dari baku mutu 200 µ/m³. Oksidan (O2) sebesar 31,0 µ/m³ dari standar 150 µ/m³. Selanjutnya Hidrokarbon Non Metana (NMHC) hasilnya <65,4 µ/m³. Dan Hidrogen Sulfida dari standar baku mutu 0,02 ppm hasilnya adalah 0,0080 ppm. 

Dalam beberapa dokumen penelitian, pada manusia, kelebihan SO2 dan NO2 yang terhirup lama akan menyebabkan iritasi pada selaput lendir saluran pernapasan dan iritasi pada mata, jika terus menerus terpapar. 

Bob Wahyudin, seorang dokter spesialis anak dan konsultan penyakit napas serta paru anak, di Makassar, tercengang melihat hasil uji lab itu. “Terpapar dengan SO2 dan CO dalam waktu singkat sudah sangat berisiko,” katanya. 

“Apa lagi ini sudah bertahun-tahun.” 

Bob Wahyudin, menghela napasnya. Dia memberikan gambaran, tentang keracunan karbon monoksida yang biasa dialami banyak orang saat pendingin udara dalam mobil dihidupkan dan bocor. “Orang bisa mati kan?” katanya. 

Nah kalau orang-orang yang terpapar Sulfur Dioksida, akan berpotensi bisa terkena kanker, bronkitis, paru-paru, dan penyakit penyerta lainnya.” 

Bagi dia, pengukuran untuk ambien udara, hanya satu sisi kecil saja dari banyak elemen yang perlu dijaga. Untuk manusia, yang paling rentan adalah anak-anak, lansia, dan ibu hamil. “Air, tanah, hingga pembuangan limbah produksi. Itu harus benar-benar bersih untuk kelangsungan hidup orang dan lingkungan di sekitar,” katanya. 

Ketika saya memperlihatkan jarak antara pabrik smelter dan rumah warga yang tak sampai 100 meter, dia makin khawatir. “Ini sangat dekat. Ini kelihatan sekali, bagaimana debu bisa menempel di semua tempat di dalam rumah. Dan itu akan dihirup warga.”

Sementara pada tanaman, SO2 yang melewati ambang baku mutu akan menyebabkan kerusakan pada jaringan daun. Dan dapat pula menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan sifat korosif. 

Namun hasil tersebut tak pernah disampaikan ke warga. Lembaran hasil uji analisis itu kemudian dapat diakses setelah warga melakukan pertemuan dengan Dewan Kabupaten Bantaeng dan perusahaan, pada 13 Agustus 2024. 

Namun hasil analisis itu hanya diberikan ke dinas terkait dan Dewan Kabupaten. Salinan hasil dan penjelasan tak pernah dengan jernih dipahami warga. “Oh.. sudah ada hasilnya kah?” kata Basri. “Kenapa kami tidak diberitahu.”

“Jadi ini kampung masih sehat kah atau tidak? Atau kalau sudah tidak sehat, warga mau disuruh bagaimana, dan perusahaan harus apa?” 

“Ini kita menerka-nerka saja. Atau memang warga sengaja dibuatkan beginian, biar kami pindah,” kata Pudding. 

Bollo.id juga meminta penjelasan pada Lily Candinegara, General Manager Affair and External Relation Huadi, tapi hingga surat dilayangkan pada 7 September 2024, tak mendapatkan jawaban, dan bahkan sampai laporan ini dipublikasikan.

Sumber pangan utama hilang

Haji Sampara Daeng Lili, tak bisa menggunakan Bahasa Indonesia. Dia adalah pria tua yang tegas. Rumahnya berada tepat di depan sebuah masjid Kampung Balla Borong, Desa Borong Loe. Di bagian belakang rumahnya, ada tembok pembatas yang didirikan PT Hengseng. 

Haji Lili, begitu sapaannya, bukan asli Bantaeng. Orang tuanya, Usman Daeng Nakku, berasal dari Kabupaten Jeneponto yang datang ke Borong Loe sekitar tahun 1970-an dan menggarap kebun. Kehidupan masa itu kenangnya, masih menyenangkan. Segala macam kebutuhan sayur didapatkannya dari hasil kebun. 

Haji Lili punya lima saudari lainnya. Dia sendiri adalah sulung. Tahun 1985, dia menikah dan sepuluh hari berikutnya ayahnya meninggal. Haji Lili dewasa kemudian mulai membeli petak kecil sawah dan menjadi tulang punggung keluarga itu. 

Haji Sampara Daeng Lili warga Desa Borong loe menatap ke arah industri smelter. Daeng Lili adalah satu dari sekian banyak petani yang lahan padinya rusak akibat limbah pabrik smelter, untuk pertama kalinya iya merasakan kerugian menanam padi di lahan miliknya sekitar 6 ha tidak ada yang bisa dipanen/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Haji Sampara Daeng Lili warga Desa Borong Loe menatap ke arah industri smelter. Daeng Lili adalah satu dari sekian banyak petani yang lahan padinya rusak akibat limbah pabrik smelter, untuk pertama kalinya iya merasakan kerugian menanam padi di lahan miliknya sekitar 6 ha tidak ada yang bisa dipanen/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Kondisi padi yang menjadi tanaman pangan utama bagi masyarakat mati dan tumbuh kerdil berwarna kemerahan serta gagal panen seluas 30 hektare. Lahan ini mengalami gagal panen akibat tercemar limbah besi industri smelter hasil analisis yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Selatan menemukan air sampel di hulu, memiliki kandungan besi mencapai 1,24 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan Mangan mencapai 0,2 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter. Sampel air tengah juga menunjukkan kandungan besi sebesar 0,39 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Mangan adalah 0,16 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Kondisi padi yang menjadi tanaman pangan utama bagi masyarakat mati dan tumbuh kerdil berwarna kemerahan serta gagal panen seluas 30 hektare. Lahan ini mengalami gagal panen akibat tercemar limbah besi industri smelter hasil analisis yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Selatan menemukan air sampel di hulu, memiliki kandungan besi mencapai 1,24 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan Mangan mencapai 0,2 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter. Sampel air tengah juga menunjukkan kandungan besi sebesar 0,39 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Mangan adalah 0,16 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Sawah di lembah Borong Loe waktu itu tidak semua teraliri irigasi. Jadinya hanya panen setahun sekali dan mengandalkan air hujan. Akhirnya dia bersama Karaeng Gama menggali tanah dan membongkar batu untuk membuat saluran yang menembus mata air. Mereka setiap hari mencangkul, menggali dengan sekop, menumbuk batu dengan linggis. Hingga akhirnya Tahun 1996, usaha itu membuahkan hasil selama pengerjaan selama dua tahun. 

Kini, hamparan sawah seluas 33 hektare di lembah itu, semuanya telah teraliri air sepanjang tahun dari sungai kecil yang tak pernah mengering. Haji Lili memiliki 6 hektare lahan. 

Dia, senang melihat kerja kerasnya. Dia senang bersama puluhan petani dan ratusan orang akhirnya bisa makan dari sawah itu. Setahun sekali dan pada waktu tertentu dapat dua kali panen. 

Haji Lili, begitu bangga sebagai seorang petani. Dua kali dia menunaikan ibadah haji ke Makkah, karena hasil sawah. (Haji adalah salah satu ibadah bagi pemeluk agama islam). Tiga orang anaknya semua menyelesaikan sekolah hingga sarjana. Rumah betonnya juga dari hasil sawah. Masjid di depan rumahnya, sebagian besar dari sumbangannya. 

Tapi pada Juli 2024, di lahan yang dibanggakannya itu, hatinya terpuruk. Dia melihat benih padi dan tanaman padinya yang sudah berusia tiga bulan, batang dan daunnya memerah dan mengering. Padinya seperti terpanggang api. Lahan petani lainnya juga mengalami hal yang sama. Lumpur sawah menghitam. Dia makin gusar. 

Haji Lili telah melihat pertanda kerusakan tanaman itu, sejak menanam bibit. Setelah bibit disemai dan berusia tujuh hari, padi langsung mati. Tapi kemudian menjadi kembali sehat, saat terkena hujan. Tapi setelah hujan, dan asap pabrik memenuhi area pertanian, bibit kembali merah. 

“Sembilan kali saya menanam bibit sama anak saya,” dia bercerita. “Pernah saya rawat terus padinya, saya semprot air tiga kali sehari. Setelah salat subuh saya semprot, tengah hari, dan sore. Saya kerjakan selama tujuh hari. Setelah itu saya berpikir, akan sampai kapan melakukan ini.” 

“Dan setelah berhenti menyemprot air,” Haji Lili melanjutkan, “padi langsung merah dan rusak lagi.” 

“Itu satu lokasi,” kata Haji Lili. “Sampai empat kali saya menanam. Tapi kalau usianya sudah tujuh hari, kena debu, padi seperti disemprot racun.” 

“Jadi,” kata Haji Lili. “Ini bukan lagi cerita perkiraan. Karena dampaknya sudah jelas, kerusakannya di depan mata.” 

Para petani menuding, kerusakan itu diakibatkan oleh aktivitas perusahaan smelter nikel PT Hengseng. Petani kemudian protes. Puluhan petani kemudian berkumpul di rumah Haji Lili. Mereka lalu berjalan bersama dan membawa kendaraan di gerbang utama perusahaan. Mobil mereka parkir melintang dan menutupi pintu gerbang. 

Beberapa jam, aktivitas keluar masuk kendaraan perusahaan terhenti. Tapi seperti biasa, kepolisian datang dan menjaga unjuk rasa itu. Kemudian polisi mendatangi petani dan melakukan negosiasi. 

Petani menuntut ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar untuk kerusakan lahan seluas 33 hektare. Asumsinya, setiap hektare sawah akan menghasilkan 70 karung padi. Harga setiap karungnya Rp550.000. 

Tapi polisi bilang pada petani, jika perusahaan bisa saja berbalik mengajukan gugatan, karena perusahaan tidak beroperasi dan itu bisa menjadi lebih besar. Beberapa petani bilang, kalau perusahaan akan menggugat petani hingga Rp2 miliar. Para petani akhirnya melunak dan pulang. 

Tapi protes sudah terdengar. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Selatan, kemudian meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantaeng untuk mengambil sampel air di lokasi persawahan. Petugas Dinas mengambil tiga titik utama sampel air permukaan sungai yang dijadikan warga sebagai irigasi. Masing-masing di badan aliran hulu, tengah, hilir dan sumur bor (untuk sampel air tanah). Pengambilan sampel disaksikan banyak warga pada 24 Juni 2024. 

Analisis air permukaan dilakukan di laboratorium DLH Sulsel. Tiga hari kemudian, pada 27 Juni 2024, hasilnya pun sudah diterbitkan oleh DLH Bantaeng. 

Analisis itu menguji empat parameter, masing-masing kandungan besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu). 

Dua parameter utama besi dan mangan di tiga titik sampel air permukaan melewati baku mutu. Hasilnya air sampel di hulu, memiliki kandungan besi mencapai 1,24 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan Mangan mencapai 0,2 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter. 

Sampel air tengah juga menunjukkan kandungan besi sebesar 0,39 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Mangan adalah 0,16 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter. 

Sampel air hilir, hasilnya kandungan besi mencapai 0,94 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan mangan mencapai 0,45 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter. 

Kandungan besi yang tinggi dalam lahan pertanian inilah yang menyebabkan keasaman tinggi dan membuat tanaman padi menjadi kerdil dan tak berkembang. Atau bahkan mati. 

Saat menemui Haji Lili pada 3 Agustus 2024, dia meyakinkan diri, jika rusaknya tanaman padi milik orang kampung Borong Loe, karena adanya aktivitas perusahaan PT Hengseng. Tapi orang-orang dinas, memintanya untuk bersabar, dan memastikan apakah benar karena dampak pabrik. 

Hingga saya menemui para petani di awal Agustus itu, mereka tak pernah mendengar dan mengetahui hasil uji sampel air sawah. Saat saya membacakannya, para petani terperangah. “Itu bagaimana?” kata Haji Lili. 

Tapi, kata Haji Lili. “Ada bibit di sawah itu. Saya pindahkan di dua tempat berbeda di luar desa. Padinya tumbuh dengan baik. Kenapa di Borong Loe, mati?”

Selama menjadi seorang petani, sejak 50 tahun lalu, dia tak pernah menjumpai jenis penyakit yang membunuh padinya dengan kondisi seburuk ini. Baginya, hanya ada dua kerepotan yang menyerang lahan pertanian; hama seperti belalang atau pun tikus. Dan kemarau panjang yang buat lahan mengering.  

Bertahan dengan risiko kematian

Sanda, 70 tahun, bersama istrinya Yeni, 53 tahun, dan Sumiati cucunya, berusia 15 tahun, tinggal di rumah panggung yang berbatasan langsung dengan pagar pembatas PT Hengseng. Di depan rumahnya, tepat di seberang jalan kampung, sebuah tandon air berdiri, yang airnya diperoleh dari sumur bor. 

“Itu bantuan dari perusahaan,” kata Yeni. 

Rumah Yeni, berdiri di lahan pinjaman milik keluarganya. Lahannya yang tak begitu luas, telah dijual ke PT Hengseng, senilai Rp70 juta. Uang itu kemudian digunakannya membeli lahan di kampung yang jauh dari aktivitas perusahaan. 

Sebelum perusahaan datang memintanya melepas lahan, dia menanam jagung dan beberapa sayuran. Membangun rumah kebun dan sumur yang selalu diingatnya punya air yang jernih. “Saya jual, karena mereka bilang nanti kalau ada perusahaan kehidupan akan lebih baik,” katanya. 

“Tapi sekarang, mau baik bagaimana. Seandainya kami tahu, kalau akan seperti ini keadaan karena ada perusahaan tidak saya jual pasti itu tanah,” katanya.

“Tidak ada kebaikan. Sessa jaki.” (Buat susah saja)

Yeni (kiri) , Sumiati (tengah) bersama Daeng Sanda (kanan) salah satu keluarga yang hidup berdampingan dengan smelter nickel milik PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia,. Yeni, Daeng Sanda dan Sumiati cucunya adalah satu dari sekian banyak warga yang merasakan langsung dampak bising, polusi asap dan bau tak sedap saat pabrik pengelolaan nikel itu beroperasi karena hanya beberapa langka dari rumah kayu miliknya/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Yeni (kiri) , Sumiati (tengah) bersama Daeng Sanda (kanan) salah satu keluarga yang hidup berdampingan dengan smelter nickel milik PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia,. Yeni, Daeng Sanda dan Sumiati cucunya adalah satu dari sekian banyak warga yang merasakan langsung dampak bising, polusi asap dan bau tak sedap saat pabrik pengelolaan nikel itu beroperasi karena hanya beberapa langka dari rumah kayu miliknya/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Rumah Sanda, berdiri di lahan pinjaman milik keluarganya tepat di belakang industri smelter. Lahannya yang tak begitu luas, telah dijual ke PT Hengseng, senilai Rp70 juta. Uang itu kemudian digunakannya membeli lahan di kampung yang jauh dari aktivitas perusahaan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Rumah Sanda, berdiri di lahan pinjaman milik keluarganya tepat di belakang industri smelter. Lahannya yang tak begitu luas, telah dijual ke PT Hengseng, senilai Rp70 juta. Uang itu kemudian digunakannya membeli lahan di kampung yang jauh dari aktivitas perusahaan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Yeni memandangi aktivitas pengelolaan bijih nikel dari bilik rumahnya yang hanya beberapa langkah. Huadi Group memiliki enam perusahaan smelter nikel di KIBA, di mana empat di antaranya telah beroperasi, yakni PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II. Sedang dua sisanya, yaitu PT Hengseng New Material dan PT Unity/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Yeni memandangi aktivitas pengelolaan bijih nikel dari bilik rumahnya yang hanya beberapa langkah. Huadi Group memiliki enam perusahaan smelter nikel di KIBA, di mana empat di antaranya telah beroperasi, yakni PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II. Sedang dua sisanya, yaitu PT Hengseng New Material dan PT Unity/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Keluarga Yeni, dan hampir semua warga yang merasakan dampak keberadaan perusahaan, mulai pasrah. Jika akhirnya perusahaan, akan membeli rumah dengan harga yang sesuai, akan dilepas. “Itu ada jagung sudah dimasak, lalu dijemur. Terus nanti digoreng seperti jagung marning. Tapi sudah penuh debu juga. Mungkin ada mau beli, tapi kalau tahu jagungnya dari sini, mungkin tidak akan beli, karena sudah berdebu.” 

Yeni mengajak melihat dapurnya. Papan tempat tatakan piring sudah berdebu. Atap seng yang sudah bocor membuat cahaya menerobos seperti jarum yang panjang. Sementara debu terus menghinggapi pakaian dan rambut kami yang membuatnya kaku. Suara aktivitas dari perusahaan terdengar keras. “Dulu waktu perusahaan baru awal itu, tidak bisa tidur. Ribut sekali,” Sumiati. 

“Sekarang sudah terbiasa. Tapi tetap saja selalu tidak nyenyak tidur, karena bau busuk,” lanjutnya. 

Sumiati, tidak melanjutkan sekolah. Dia membantu keluarganya menjadi buruh pembuat bata merah. Upahnya Rp500 per satu cetakan bata. Dua musim, hujan dan kemarau tak memberinya keuntungan. “Kalau hujan, orang tidak bikin bata. Tapi debu dari perusahaan kurang. Kalau kemarau, seperti sekarang itu, bikin, tapi debu dari perusahaan banyak,” katanya. 

Sanda yang berada di dekatnya, memandang Sumiati. Sanda yang sudah berusia lansia dan kondisinya yang makin menurun, tak bisa berbuat banyak. “Sudah tidak bisa lagi. Lutut sakit, kaki sering keram,” katanya. 

Di rumah panggung yang hanya punya satu kamar, Sanda, akhirnya memilih di sela ruangan yang menghubungkan ruang tamu menuju dapur. Tepat di pintu kamar, yang ditempati Yeni dan Sumiati. “Tidur di sini saja. Kalau malam, jadi kurang tidur, karena biasa sesak,” katanya.

Kondisi dapur milik Daeng Sanda dan Yeni yang diselimuti debu berwarna kemerahan, hampir setiap kondisi berdebu ini dirasakan masyarakat Papan Loe dan sekitaran areal Industri smelter milik PT Huadi Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Kondisi dapur milik Daeng Sanda dan Yeni yang diselimuti debu berwarna kemerahan, hampir setiap kondisi berdebu ini dirasakan masyarakat Papan Loe dan sekitaran areal Industri smelter milik PT Huadi Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Siswa sekolah dasar berangkat ke sekolah yang tidak jauh dari industri smelter milik PT Huadi Group. Kelompok Anak-anak di Desa Papan Loe ini adalah kelompok yang paling rentan terkena penyakit akibat polusi udara aktivitas pengelolaan nikel/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Siswa sekolah dasar berangkat ke sekolah yang tidak jauh dari industri smelter milik PT Huadi Group. Kelompok Anak-anak di Desa Papan Loe ini adalah kelompok yang paling rentan terkena penyakit akibat polusi udara aktivitas pengelolaan nikel/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Polusi debu menempel di kaki warga saat melintas di halaman. Kondisi seperti ini dirasakan masyarakat Papan Loe dan Barang loe hampir setiap harinya akibat adanya aktivitas industri smelter tidak hanya debu, bau tak sedap serta sesak juga menjadi keluhan masyarakat sekitar smelter milik PT Huadi Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Polusi debu menempel di kaki warga saat melintas di halaman. Kondisi seperti ini dirasakan masyarakat Papan Loe dan Barang loe hampir setiap harinya akibat adanya aktivitas industri smelter tidak hanya debu, bau tak sedap serta sesak juga menjadi keluhan masyarakat sekitar smelter milik PT Huadi Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Sri bermain bulutangkis bersama kawannya di halaman rumahnya tanpa menggunakan masker di Dusun Balla Borong, Bantaeng. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terkena penyakit akibat polusi pembakaran industri smelter/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Sri bermain bulutangkis bersama kawannya di halaman rumahnya tanpa menggunakan masker di Dusun Balla Borong, Bantaeng. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terkena penyakit akibat polusi pembakaran industri smelter/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Idul merupakan salah satu anak-anak yang senang bermain semenjak adanya industri smelter kawan-kawannya mulai banyak yang takut keluar rumah karena polusi debu dan kondisi kesehatan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Idul merupakan salah satu anak-anak yang senang bermain semenjak adanya industri smelter kawan-kawannya mulai banyak yang takut keluar rumah karena polusi debu dan kondisi kesehatan/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Dikibuli sejak awal

Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) adalah sebuah kawasan yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo. Enam perusahaan smelter nikel dalam KIBA menggunakan lahan sekitar 150 hektare. 

Tapi, pada Selasa 16 Juli 2024, Huadi Group, menggelar rapat di Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, melakukan pemeriksaan formulir Kerangka Acuan Rencana Pembangunan Kawasan untuk menjadikan kompleks peleburan smelter nikel itu menjadi Huadi Bantaeng Industry Park (HBIP). Dalam rancangannya, luas lahan yang digunakan adalah 338,155 hektare. 

Namun, pengajuan Kerangka Acuan dan Rencana Pembangunan HBIP ini juga menjadi tak lumrah. Seharusnya, kerangka acuan dan AMDAL dilakukan saat sebelum perusahaan beroperasi. “Ini sudah ada perusahaan operasi dan sudah memberi dampak. Baru kemudian urus Kerangka Acuan dan AMDAL, ini kan aneh,” kata salah seorang staf di DLH Sulawesi Selatan. 

“Seharusnya, organisasi lingkungan menggugat kesalahan ini. Dan ini menjadi penting.”

Artinya, luasan saat ini, masih setengah dari perencanaan. “Mau berapa besar. Jadi warga mau diapakan,” kata Pudding. “Dibiarkan mati keracunan asap dan debu pelan-pelan mungkin.”

Risma, 41 tahun (kanan) bersama anaknya Cepang (kiri) berdiri di depan warung miliknya yang meski pun tetap berjualan tetapi pintu warung harus ditutup rapat-rapat agar debu tak masuk Di kampung Mawang, Desa Papan Loe/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Risma, 41 tahun (kanan) bersama anaknya Cepang (kiri) berdiri di depan warung miliknya yang meski pun tetap berjualan tetapi pintu warung harus ditutup rapat-rapat agar debu tak masuk Di kampung Mawang, Desa Papan Loe/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas bongkar muat bijih nikel di pelabuhan bongkar muat milik PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia (Huadi group), Huadi mendapatkan sebagian pasokan nikel mentah dari wilayah-wilayah lain mulai Malili di Sulawesi Selatan, Kolaka, Bombana, dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara sampai Konawe Utara/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Aktivitas bongkar muat bijih nikel di pelabuhan bongkar muat milik PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia (Huadi group), Huadi mendapatkan sebagian pasokan nikel mentah dari wilayah-wilayah lain mulai Malili di Sulawesi Selatan, Kolaka, Bombana, dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara sampai Konawe Utara/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Lini masa Kawasan Industri Bantaeng
Lini masa Kawasan Industri Bantaeng

Di kampung Mawang, Desa Papan Loe, Risma, 41 tahun, melayani pembeli di warungnya. Suaminya bekerja sebagai buruh pengatur lalu lintas, saat truk perusahaan hendak melintasi jalan yang membelah jalan kampung. 

Risma tentu saja cukup beruntung sebab suaminya bekerja dan memiliki penghasilan tetap saban bulan. Tapi, keluarga itu membayarnya dengan mahal dan kehilangan sistem sosial. “Sekarang pintu terus ditutup,” kata dia. “Orang kalau lewat, pasti akan bilang tidak ada orang dalam rumah.”

“Pintu warung juga hanya dibuka sedikit. Pintu tidak akan dibuka lebar, karena semua barang jualan akan berdebu,” kata Risma.

“Sekarang, yang paling berubah, tidak ada lagi warga makan bersama di teras rumah. Makan ramai-ramai dan panggil tetangga dan orang yang melintas. Sekarang makan juga harus sembunyi dan cepat.” 

Risma merasa kehilangan hubungan kekerabatan dengan orang kampung berubah. “Bukan soal debu, tapi semua itu sudah rusak pas perusahaan datang.” 

Rumah keluarga Risma, berhadapan dengan pabrik milik PT Unity yang bangunannya di cat biru. “Itu debunya, Unity, hitam, dan bau busuk,” lanjutnya. 

Risma tahu debu itu berbahaya untuk kesehatannya. Tapi akhirnya, selama Tahun 2018 perusahaan beroperasi, dia menjadi terbiasa. Baginya, menggunakan masker akan membuatnya semakin sulit bernapas. “Mungkin sudah kebal,” katanya. 

Pemandangan dari udara pemukiman warga di desa Papan Loe yang terdampak debu berwarna kemerahan dari industri smelter milik PT Huadi Nikel Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Liputan ini bagian dari serial Dampak Hilirisasi Nikel di Sulawesi, didukung Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi bersih, berkeadilan, dan pembangunan berkelanjutan di Asia.

Dukung Kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo

Foto sampul: Iqbal Lubis

Editor: Agus Mawan W

Penata ruang: Agus Mawan W

Skip to content