Sawah di lembah Borong Loe waktu itu tidak semua teraliri irigasi. Jadinya hanya panen setahun sekali dan mengandalkan air hujan. Akhirnya dia bersama Karaeng Gama menggali tanah dan membongkar batu untuk membuat saluran yang menembus mata air. Mereka setiap hari mencangkul, menggali dengan sekop, menumbuk batu dengan linggis. Hingga akhirnya Tahun 1996, usaha itu membuahkan hasil selama pengerjaan selama dua tahun.
Kini, hamparan sawah seluas 33 hektare di lembah itu, semuanya telah teraliri air sepanjang tahun dari sungai kecil yang tak pernah mengering. Haji Lili memiliki 6 hektare lahan.
Dia, senang melihat kerja kerasnya. Dia senang bersama puluhan petani dan ratusan orang akhirnya bisa makan dari sawah itu. Setahun sekali dan pada waktu tertentu dapat dua kali panen.
Haji Lili, begitu bangga sebagai seorang petani. Dua kali dia menunaikan ibadah haji ke Makkah, karena hasil sawah. (Haji adalah salah satu ibadah bagi pemeluk agama islam). Tiga orang anaknya semua menyelesaikan sekolah hingga sarjana. Rumah betonnya juga dari hasil sawah. Masjid di depan rumahnya, sebagian besar dari sumbangannya.
Tapi pada Juli 2024, di lahan yang dibanggakannya itu, hatinya terpuruk. Dia melihat benih padi dan tanaman padinya yang sudah berusia tiga bulan, batang dan daunnya memerah dan mengering. Padinya seperti terpanggang api. Lahan petani lainnya juga mengalami hal yang sama. Lumpur sawah menghitam. Dia makin gusar.
Haji Lili telah melihat pertanda kerusakan tanaman itu, sejak menanam bibit. Setelah bibit disemai dan berusia tujuh hari, padi langsung mati. Tapi kemudian menjadi kembali sehat, saat terkena hujan. Tapi setelah hujan, dan asap pabrik memenuhi area pertanian, bibit kembali merah.
“Sembilan kali saya menanam bibit sama anak saya,” dia bercerita. “Pernah saya rawat terus padinya, saya semprot air tiga kali sehari. Setelah salat subuh saya semprot, tengah hari, dan sore. Saya kerjakan selama tujuh hari. Setelah itu saya berpikir, akan sampai kapan melakukan ini.”
“Dan setelah berhenti menyemprot air,” Haji Lili melanjutkan, “padi langsung merah dan rusak lagi.”
“Itu satu lokasi,” kata Haji Lili. “Sampai empat kali saya menanam. Tapi kalau usianya sudah tujuh hari, kena debu, padi seperti disemprot racun.”
“Jadi,” kata Haji Lili. “Ini bukan lagi cerita perkiraan. Karena dampaknya sudah jelas, kerusakannya di depan mata.”
Para petani menuding, kerusakan itu diakibatkan oleh aktivitas perusahaan smelter nikel PT Hengseng. Petani kemudian protes. Puluhan petani kemudian berkumpul di rumah Haji Lili. Mereka lalu berjalan bersama dan membawa kendaraan di gerbang utama perusahaan. Mobil mereka parkir melintang dan menutupi pintu gerbang.
Beberapa jam, aktivitas keluar masuk kendaraan perusahaan terhenti. Tapi seperti biasa, kepolisian datang dan menjaga unjuk rasa itu. Kemudian polisi mendatangi petani dan melakukan negosiasi.
Petani menuntut ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar untuk kerusakan lahan seluas 33 hektare. Asumsinya, setiap hektare sawah akan menghasilkan 70 karung padi. Harga setiap karungnya Rp550.000.
Tapi polisi bilang pada petani, jika perusahaan bisa saja berbalik mengajukan gugatan, karena perusahaan tidak beroperasi dan itu bisa menjadi lebih besar. Beberapa petani bilang, kalau perusahaan akan menggugat petani hingga Rp2 miliar. Para petani akhirnya melunak dan pulang.
Tapi protes sudah terdengar. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Selatan, kemudian meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantaeng untuk mengambil sampel air di lokasi persawahan. Petugas Dinas mengambil tiga titik utama sampel air permukaan sungai yang dijadikan warga sebagai irigasi. Masing-masing di badan aliran hulu, tengah, hilir dan sumur bor (untuk sampel air tanah). Pengambilan sampel disaksikan banyak warga pada 24 Juni 2024.