Mereka yang Menolak Pasrah

Anastasyah dan Asri, perempuan yang berjuang mempertahankan rumahnya dengan jalan masing-masing. Mereka menolak pasrah pada keadaan.

Rumah Anastasia Noeng berhadapan langsung dengan Koramil. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya
Rumah Anastasia Noeng berhadapan langsung dengan Koramil. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya

Anastasyah Noen, perempuan usia 60 tahun berhenti bekerja di keuskupan karena menjaga rumahnya dari penggusuran.

Asri, perempuan usia 49 tahun sebagai ibu rumah tangga, dulu memasak untuk keluarga, hari ini memasak untuk perjuangan.

Januari 2017

Pagi itu, Anastasyah Noen pergi bekerja. Ia bekerja di Gereja Katedral Karebosi, Kota Makassar. Jobnya bagian memasak untuk pastor, suster dan tamu-tamu gereja lainnya. Sorenya ia pulang bekerja seperti biasa. 

Tak ada yang aneh hari itu, hanya saja setibanya di rumah, ada sepucuk surat yang ditujukan untuk dirinya. Surat itu akhirnya merubah seluruh hidupnya.

Anastasia Noeng (62) bersama adiknya, Yohana Noeng (53) di ruang tamu. Yohana yang tinggal di Labuan Bajo beberapa kali datang ke Makassar untuk menemani Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya
Anastasia Noeng (62) bersama adiknya, Yohana Noeng (53) di ruang tamu. Yohana yang tinggal di Labuan Bajo beberapa kali datang ke Makassar untuk menemani Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya

Pagi itu, Asri bangun seperti biasa. Ia langsung melakukan aktivitasnya, menyiapkan segala kebutuhan anak dan suaminya untuk berangkat sekolah dan bekerja. 

Setelah itu, ia mengurus balitanya yang masih berusia setahun, sambil menyiapkan makanan untuk siang nanti. Tepat pukul 10.00 Wita, rumahnya kedatangan surat, diantar oleh tentara. Surat itu juga mengubah cara memasak Asri. 

***

Anastasyah Noen lahir di zaman Soekarno, tepat 1964. Suaminya telah meninggal. Ia anak sulung dari tujuh bersaudara. Bapaknya, Lukas Noen berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur sedangkan Ibunya, Katrina Noen berasal dari Toraja–Palopo, Sulawesi Selatan. 

Sedangkan Anastasyah Noen lahir di Makassar, tempat yang ia perjuangkan hingga hari ini. Lukas Noen bekerja pada bagian gizi rumah sakit, Stella Maris, Makassar.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Dari hasil pekerjaannya akhirnya Lukas Noen memutuskan membeli tanah di Kota Makassar pada tahun 1961. Berharap ini nantinya akan jadi warisan ke anak-cucunya. Teman-teman serantaunya juga mengikutinya. 

Tanah itu terletak di Bara-baraya, Kota Makassar, yang hari ini berubah nama menjadi Jalan Kerung-kerung, Makassar. 

Tanah yang ia beli awalnya berbentuk rawa-rawa. Lukas Noen dan Katrina Noen menimbunnya pelan-pelan. 

Ia membangun rumahnya di atas lahan tersebut. Rumah yang ditempati oleh Anastasyah Noen hari ini. “Orang tua usaha keras beli, beli rawa-rawa dari hasil keringat kerja siang malam,” tutur Anastasyah Noen.

“Kami orang kecil, timbun sendiri, bapak kerja berapa ji pendapatannya.” 

Lahan tersebut dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas. Bagian belakangnya berdiri tembok dari ujung ke ujung, panjang dan tingginya kurang lebih tiga meter. 

Tembok itu ternyata tembok asrama tentara Kodam VII Wirabuana (dulu) yang sekarang menjadi Kodam XIV Hasanuddin. [Pinggir Tembok]

“Itu punya tentara, karena temboknya tinggi, nda bisa ku lihat masuk,” kata Anastasyah Noen. Rumah masa kecil Anastasyah Noen berbentuk kotak tanpa sekat, berdinding anyaman bambu (gamacca) dan beralaskan tanah. 

Di sudut ruang, Lukas Noen membuat bale-bale tempat ia dan keluarganya menghabiskan banyak waktu. Kepribadian Lukas yang periang membuat anak-anaknya selalu senang berada di rumah. 

Anastasyah Noen sendiri punya sudut favorit di rumah itu. Sudut itu berisikan meja yang atasnya ada patung Tuhan Yesus. Anastasyah Noen menyebut sudut itu sebagai ruang berdoa. 

Tempat berdoa di kamar Anastasia. Para anggota keluarga biasanya bergantian untuk berdoa di sana. Dulu, mereka berdoa di satu ruangan bersama tapi karena dinding dan atap mulai rusak oleh air hujan yang bocor, tempat berdoa akhirnya dipindahkan ke kamar pribadi Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/Foto: Aziziah Diah Aprilya
Tempat berdoa di kamar Anastasia. Para anggota keluarga biasanya bergantian untuk berdoa di sana. Dulu, mereka berdoa di satu ruangan bersama tapi karena dinding dan atap mulai rusak oleh air hujan yang bocor, tempat berdoa akhirnya dipindahkan ke kamar pribadi Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/Foto: Aziziah Diah Aprilya

Saban minggu ia akan berdoa bersama seluruh keluarganya meminta perlindungan kepada Tuhan dan bersyukur akan hidupnya. Namun kini doa itu bertambah, selain bersyukur ia juga meminta perlindungan untuk rumahnya. 

“Bantu kami lawan penggusuran,” tangkas Anastasyah Noen. 

Berbeda dengan Noen, Asri tak berasal dari Bara-baraya, Jalan Abu Bakar Lambogo, Kota Makassar. Ia lahir di Moncongloe, Kabupaten Maros. Tetapi, ia menikah dengan Muhammad Nur, suaminya yang lahir dan tumbuh besar di Bara-baraya. Setelah menikah Asri ikut suaminya. 

Keluarga Nur sebenarnya berasal dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kemudian orang tuanya merantau ke Makassar. Bapaknya membeli tanah di Jalan Toddopuli, Kota Makassar. 

Sedangkan saudara bapaknya yang bernama Santia membeli tanah di Jalan Bara-baraya. Tanah inilah yang ditempati Nur dan Asri hingga sekarang. Santia memilih menikah di usia tua dan tak memiliki anak. 

Karena hal itu akhirnya ia mewariskan tanah dan rumah tersebut kepada keponakannya, yaitu Nur. Rumahnya kala itu, berbentuk rumah panggung, dikelilingi banyak pohon rindang. 

Orang-orang sering berdatangan ke rumahnya, karena neneknya, Sia termasuk orang yang di tuakan di Bara-baraya, dan asalnya, Enrekang.

Nur membantah jika tanahnya menjadi tempat latihan tentara zaman dulu, karena semasa kecil ia ingat dengan jelas tanah-tanah di sini ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. 

Asri menikah tahun 1997, ia juga mengingat rumah Nur tak lagi bentuk rumah panggung tetapi sudah jadi rumah bata. Di rumah inilah keempat anaknya lahir dan tumbuh bersama.

Awal pernikahan Asri tak pandai masak, selain mie instan. Namun siapa sangka hari ini, Asri menjadikan memasak sebagai bentuk perlawanannya atas penggusuran.  

“Saya memasak untuk anak-anak (mahasiswa) yang pergi demo,” kata Asri.

Sejarah Bara-baraya

Latar belakang penggusuran

Sejak awal tahun 2017, warga Bara-baraya mendapat ancaman penggusuran. Mereka disuruh angkat kaki dari rumahnya sendiri. Hal ini bermula ketika Danramil mengeluarkan Surat Edaran Perintah Pengosongan 28 rumah yang dihuni 271 jiwa dari 67 keluarga, pada 1 Februari 2017.

Surat yang mengubah hidup Anastasyah Noen dan Asri. 

Dasar surat edaran ini adalah pihak Kodam VII Wirabuana, mengklaim bahwa tanah yang ditempati warga merupakan bagian dari tanah okupasi Asrama TNI AD Bara-baraya. 

Rentetan surat terus menghampiri warga. Surat berisi rencana penertiban tanah dan surat peringatan (SP) pertama, kedua dan ketiga. Isinya sama, warga harus hengkang dari rumahnya. 

Kodam XIV Hasanuddin (setelah berganti nama), akhirnya diminta oleh banyak pihak termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk menghentikan intervensi terhadap warga.

Stiker "Bara-barayya Bersatu" di cermin Reniyanti (40), anak dari Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya
Stiker “Bara-barayya Bersatu” di cermin Reniyanti (40), anak dari Anastasia. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya

Namun tak berselang lama, seseorang bernama Nurdin Daeng Nombong mengajukan gugatan ke pengadilan yang ditujukan kepada warga Bara-baraya, pada tanggal 21 Agustus 2017. Isi gugatannya, warga lagi-lagi harus mengosongkan rumahnya.

Dasar gugatan Nurdin Dg Nombong itu adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4 yang diterbitkan ulang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar pada tahun 2016. Dengan dalih, sertifikat telah hilang. 

Jika menoleh ke belakang, SHM Nomor 4 ini merupakan perolehan hak hukum kolonial “Eigendom Verponding.” Eigendom sendiri adalah istilah yang dikenal dalam hukum kebendaan perdata barat, yang bermakna “hak milik”.

Moedhinoeng Dg Matika, selaku orang tua Nurdin memiliki “Eigendom” bernomor 2906 yang terbit tahun 1926, yang kemudian dikonversi menjadi SHM pada tahun 1965. 

Tahun 1959, Kodam XIV Hasanuddin, menyewa tanah seluas 28.979 m2 dalam SHM ini untuk keperluan pembangunan barak semi-permanen dan diperbaharui tahun 1967. Dekade-dekade berlalu. Tahun 2016, pihak Kodam XIV Hasanuddin ingin mengembalikan tanah sewaan tersebut. 

Dari sinilah pihak Kodam mengklaim tanah yang ditempati warga bagian dari tanah okupasi mereka. Namun di sisi lain, sekitar tahun 1960-1970, warga sebenarnya telah melakukan transaksi jual beli tanah dengan Daniah Dg Ngai sebagai salah satu ahli waris dari Moedhinoeng Dg Matika. 

Disaksikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dibuktikan dengan Akta Jual Beli (AJB). Objek jual-beli tersebut berada di luar dari tanah yang disewa oleh pihak Kodam XIV Hasanuddin.

Spanduk "Bara-baraya Menolak Tergusur" di kabel listrik sekitar wilayah Bara-baraya. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya
Spanduk “Bara-baraya Menolak Tergusur” di kabel listrik sekitar wilayah Bara-baraya. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya

Gugatan Nurdin Dg Nombong kemudian di tolak pihak Pengadilan Negeri (PN) Makassar, dengan alasan: batas-batas tanah sengketa tidak jelas dan warga memiliki alas hak yang sah. Nurdin mengajukan banding, pihak pengadilan juga menolak. 

Dua tahun kemudian, 10 Juli 2019. Nurdin kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Gugatan lagi-lagi ditolak pengadilan, namun Nurdin mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar. 

Tiba-tiba 9 september 2020, pihak Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan tersebut dan membatalkan putusan PN Makassar.  Ini menjadi titik awal konflik Bara-Baraya masuk ke proses hukum. 

***

Pertama kali warga mengetahui rumahnya akan digusur.

Anastasyah Noen membaca surat yang dikirim tentara tersebut. Tertera dengan jelas dalam surat itu, Anastasyah disuruh mengosongkan rumahnya, karena ia dianggap membangun rumah di atas tanah okupasi tentara. Ia gemetar dan tak percaya. 

Matanya berkaca-kaca. Tak ada simpang siur sebelumnya, kabar itu tiba-tiba datang mengagetkan seisi rumah. “Tidak ada apa-apa didengar, tiba-tiba ada surat suruh ki pergi dari rumah,” imbuh Anastasyah. 

Sebelumnya ia menyaksikan penggusuran rumah yang ada di dalam asrama.  Ia tak menyangka, rumahnya yang berada di luar tembok asrama juga menjadi sasaran selanjutnya. 

Dengan pikiran kalut, ia langsung menelepon adik bungsunya yang tinggal di Flores, Hana Noen. Ia kemudian menceritakan isi suratnya. Hana di seberang telepon juga tak kalah kagetnya. 

“Kaget kita, karena rumahnya kita ini, di luar dari tembok asrama.” kata Hana Noen. Semenjak itu, Anastasyah tak pernah lagi tidur lelap. Rasa cemas tiap hari menghantuinya. 

Bulan berganti bulan, perubahan Anastasyah dan keluarganya sangat nyata. Ia dan anak-anaknya tak lagi tidur di kamar, ia memilih mengistirahatkan dirinya ramai-ramai di ruang tamu. Alasan mereka satu: jaga rumah. 

Reniyanti (40), anak Anastasia di kamarnya. Dalam rumah Anastasia, ia tinggal dengan 8 orang anak, menantu, dan cucunya. Makassar, 18 Mei 2025/Foto: Aziziah Diah Aprilya
Reniyanti (40), anak Anastasia di kamarnya. Dalam rumah Anastasia, ia tinggal dengan 8 orang anak, menantu, dan cucunya. Makassar, 18 Mei 2025/Foto: Aziziah Diah Aprilya

Pertengahan tahun 2017, Anastasyah akhirnya memilih berhenti dari pekerjaannya. Pekerjaan yang ia geluti sejak tahun 2002, harus ia lepas dengan berat hati. Ia takut rumahnya tiba-tiba tergusur ketika sedang bekerja.

Asri di sisi lain, ketika baca surat edaran itu dan tahu rumahnya akan digusur langsung jatuh sakit. Perutnya sakit tak tertahankan. Suaminya berusaha menenangkannya. 

Anak Asri yang bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Bara-Baraya 1 langsung pulang hari itu dalam keadaan nangis. Anaknya masih kecil tetapi paham bahwa rumahnya tak aman. Anak sekolah diliburkan karena berita menakutkan ini. 

Kampung menjadi kacau balau, Nur, suami Asri langsung berkumpul dengan warga lainnya yang juga menerima surat. Mereka bingung dengan surat itu, tak ada kabar sebelumnya, kenapa tiba-tiba pihak Kodam XIV Hasanuddin mengklaim bahwa rumahnya juga termasuk ke dalam asrama. 

“Nda ada gosip-gosip dulu, bayangkan mi itu tiba-tiba ada surat bilang rumah mu mau digusur,” ucap Asri. Sejak itu, Nur akhirnya memilih pula tidur di ruang tamu. Sama dengan alasan Anastasyah Noen. Jaga rumah. 

Merawat keluarga

Tahun berganti tahun. Proses hukum terus berjalan. Anastasyah bolak balik pengadilan dan terus berdoa kepada Tuhan. Asri bolak balik memasak untuk perjuangan. Kehidupan mereka berubah total.

“Hakim yang adil itu ternyata hanya ada di atas(Tuhan), saya minta pengadilan Tuhan,” kata Anastasyah dengan teguh.

“Saya memang dulu tak tahu masak, tapi saya berusaha memasak untuk orang-orang yang bantu kita melawan,” kata Asri. 

Suasana rumah Anastasyah telah berubah. Anastasyah tak lagi ingin memperbaiki rumahnya ketika rusak, kebocoran di area dapurnya ia tak lagi pedulikan, kompornya hanya ia angkat ke tengah menghindari kebocoran, baju selalu terbungkus dalam sarung. 

Jika dulu ia punya ruang ibadah, hari ini ia hanya punya tempat ibadah. Bagaimana tidak, Anastasyah saban bulan sejak ia terima surat hingga hari ini selalu dihantui dengan berita rumahnya akan segera diratakan. 

Ia takut, ketika memperbaiki rumah dan menata kembali bajunya di lemari, besoknya rumahnya digusur. 

“Takut ka, ku perbaiki rumahku, baru besoknya malah digusur ki,” kata Anastasyah, matanya tampak berair.

Posko Bara-baraya Bersatu yang berada di dekat rumah Anastasia. Dulu ini ialah kantor lurah. Kini para warga, mahasiswa, tenaga bantuan hukum, aktivis, dan jurnalis berkumpul di sana untuk melakukan kegiatan melawan penggusuran. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya
Posko Bara-baraya Bersatu yang berada di dekat rumah Anastasia. Dulu ini ialah kantor lurah. Kini para warga, mahasiswa, tenaga bantuan hukum, aktivis, dan jurnalis berkumpul di sana untuk melakukan kegiatan melawan penggusuran. Makassar, 18 Mei 2025/ Foto: Aziziah Diah Aprilya

Namun di tengah kekalutan itu, Anastasyah tetap terus merawat keluarganya. Ia selalu meyakinkan anak-anaknya bahwa Tuhan bersama mereka. Meskipun di balik itu, Anastasyah sebenarnya setiap memasak tangannya gemetar.

“Saking cemasku, kadang biar pegang panci gemetar ka, tapi tidak ku kasi tahu anak-anakku,” imbuh Anastasyah. 

Anastasyah sempat berada dalam situasi yang sangat lelah, sejak tahun 2017 hingga hari ini, tidurnya tak pernah nyenyak, kecemasan menghantuinya saban hari. Delapan tahun hidup dalam kecemasan membuat tubuhnya terlihat sangat lemah, namun ia selalu dikuatkan oleh Hana, adiknya. 

“Jangan kita goyah, kalau kita goyah, kita kalah. Kebenaran itu milik Tuhan,” kata Hana, memberi semangat kepada kakaknya, Anastasyah. 

Asri juga mengalami banyak perubahan. Suasana rumahnya juga berubah, suaminya, Nur tak lagi tidur di dalam kamar. Nur memilih tidur di ruang tamu, jaga rumah. Anaknya, ikut jaga kampung, meronda tiap malam. 

Penyakit juga selalu mendatangi Asri. Perutnya selalu sakit ketika kembali ada berita bahwa dalam waktu dekat rumahnya akan segera digusur. Karena hal ini ia memilih melawan dengan memasak. 

“Saya kadang tidak bisa ikut rapat atau demo, jadi saya cuma kasi kumpul beras dari warga-warga terus masak untuk orang-orang yang pergi demo,” kata Asri. 

Memasak bagi Asri mampu menghilangkan kecemasan dan sakit perutnya. Tapi jika bicara soal menjaga keluarga, itu tak ada bedanya, Asri selalu mengusahakan keluarganya tetap aman.

Kedua perempuan ini, Anastasyah dan Asri tak pernah membayangkan di usia mereka sekarang ia punya aktivitas baru. Anastasyah bolak balik datang ke pengadilan meminta pengadilan tak menggusur rumahnya. 

Asri juga sama, ia tak membayangkan yang awalnya ia hanya memasak untuk orang rumahnya saja, sekarang ia memasak untuk orang-orang yang berjuang bersama mempertahankan rumah dari penggusuran.  

Anastasyah dan Asri, perempuan yang berjuang mempertahankan rumahnya dengan jalan masing-masing. Sejak isu rumahnya akan digusur, mereka punya penyakit yang sama, lambung. 

Namun satu yang pasti, bagi Anastasyah dan Asri, mempertahankan rumah bagian dari cara mereka merawat keluarga.


Baca juga artikel lain tentang Bara-baraya:

Saskia Salsyam

Saskia Salsyam adalah jurnalis di Bollo.id.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam

Semuanya Demi Hidup

Konflik agraria antar PTPN dan Warga Polongbangkeng bermula sejak lama. Para perempuan yang kini berusia sepuh