Bollo.id — Konflik Bara-baraya dimulai pada 2016. Sejak sembilan tahun yang lalu, para warga mulai hidup di bawah bayang-bayang penggusuran.
Menjelang satu dekade konflik, selama itu pula, warga Bara-baraya menjaga rumahnya dari tangan-kaki aparat dan mafia tanah. Bagi mereka, rumah tak sekadar tempat tinggal saja.
“Rumah itu tempat kita hidup. Tempat manusia hidup. Tempat bersatu dengan keluarga. Tempat merancang segala yang direncanakan dalam hidup. Tempat berlindung,” kata Andarias, warga Bara-baraya kepada Bollo.id, saat ditemui 24 Maret 2025.
Bagi ia dan keluarganya, rumah adalah segalanya. Rumah bak kehidupan. “Rumah itu tempat orang hidup tenang, merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Not house but home,” ujar pria 54 tahun ini.
“House itu rumah fisik semata sedangkan home itu yang punya makna lebih dalam. Sama di Bara-baraya ini, di samping kami punya house, ini juga home. This is our home not only house,” lanjutnya.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Sama dengan Andarias, Lusi juga menganggap rumah adalah kehidupan. Rumah lebih dari sekadar materi, properti, atau aset belaka. “Rumah itu tempat tinggal, tempat keluarga, dan nafas hidup” katanya.
Ia sekilas mengingat momen kedatangan aparat ke Bara-baraya pada 2016 lalu. Begitu paniknya Lusi kala itu. “2016 itu tiba-tiba ada berita tentara masuk semua ke lorong. Terus warga pukul-pukul tiang listrik (sebagai peringatan),” cerita Lusi.
“(Makanya) barang-barang diamankan dan tentara itu lewat-lewat saja. Panik itu wajar. Mereka di asrama, jam 03.00 subuh berbaris-baris. Rumah dirobohkan, kita trauma.”
Merujuk dari catatan perjuangan Aliansi Bara-baraya Bersatu melawan penggusuran, banyak tentara diturunkan untuk mengeksekusi lahan. Tercatat ada ratusan rumah terancam digusur.

“13 Desember 2016. Subuh hari, sekitar 3.000 personel TNI-AD diturunkan pihak KODAM VII Wirabuana/XIV Hasanuddin untuk proses eksekusi lahan 102 rumah di Kelurahan Bara-baraya. Setiap rumahnya dihuni sekitar 3 sampai 4 kepala keluarga (KK) dan terdapat sekitar 600 jiwa di Asrama Purnawirawan TNI,” dikutip dari akun Instagram solidaritas @barabaraya.bersatu, 5 April 2025.
Lusi bercerita tentang pengalamannya didatangi oleh aparat di rumahnya sendiri. Mereka masuk tanpa izin. “Iya, tiga orang pernah dengan seragamnya. Mereka langsung masuk-masuk saja. Tanpa salam. Mereka tanya tentang batas-batas tanah ke saya,” ucapnya.
Lusi terintimidasi karena tindakan aparat. Ia bertanya maksud kedatangan orang-orang ini. “Saya tanya ‘Ada apa ini pak?’. Saya tanya karena ini rumah saya, kenangan saya, dan sebagai anak yang mempertahankan rumah orang tua saya,” terangnya.
Caca, pemuda setempat yang kala itu berusia 10 tahun juga berbagi kisah saat rumahnya didatangi aparat. Tentu dengan perasaan yang sangat cemas dan takut.
“Pagi ada apel, suara sepatu (aparat), ribut, tapi nda ku hiraukan ji. Pulang pa, baru mi (ku sadari), ternyata rumah-rumah digusur. Itu pertama kali liat ekskavator. Awalnya kaget, takut, nanti kita juga dikena,” Caca bercerita.
Bagi Caca, rumah tak sebatas tempat tinggal, tapi wadah untuk berbagi kebersamaan. “Rumah itu tempat tinggal, tempat berkumpul, dan tempat pulang. Tidak ku anggap rumahku itu orang, tapi orang itu yang kuanggap rumah. Rumahku nda sepenuhnya keluarga, tapi individu seperti kakak-kakak mahasiswa juga,” lanjutnya.
Konflik Bara-baraya
Konflik pertanahan di Bara-baraya dimulai pada 2016. Tentara berupaya menggusur rumah warga yang diklaim termasuk area asrama TNI AD Kodam Hasanuddin—dulu Kodam Wirabuana.
Pada 2017, surat perintah mulai dikeluarkan. Bahkan surat peringatan pengosongan diterbitkan hingga tiga kali yang dibawa oleh personel tentara. Surat peringatan pengosongan lahan tidak digubris oleh warga.
Pada tahun yang sama, konflik pertanahan ini bertambah dengan adanya klaim Nurdin Dg Nombong. Dia mengaku sebagai ahli waris sah Moeding Dg Matika atas tanah yang berstatus Eigendom Verponding (hak atas tanah yang diberikan kepada warga Indonesia dari pemerintah kolonial Belanda).
Atas hak Surat Hak Milik (SHM) Nomor 4 tahun 1965 yang ia minta ganti ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ia juga menuntut pengosongan lahan di luar asrama tentara yang telah dihuni oleh warga selama bertahun-tahun.
Tentang Bara-baraya:
- Bara-baraya: Api Kecil yang Sebentar Lagi Berkobar
- Konflik Bara-Baraya: Properti sebagai Sarana Eksklusi
- Anak Bara-Baraya di Tengah Bayang-bayang Penggusuran
- Bara-baraya yang Terus Menggema
Ia kemudian membawa gugatannya ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, tetapi gugatannya tak diterima hakim. “Kami diberikan imbauan meninggalkan tempat untuk kosongkan tempat. Kami nda mau,” Andarian mengulas.
“Kami dikasih tiga surat peringatan (SP), kami tak gubris. Akhirnya Nurdin Dg. Nombong menggugat warga ke pengadilan negeri pada 2017. Kami sempat menang tiga kali,” kata Andarias.
Andarias bilang, warga menang hingga tingkat Mahkamah Agung. Namun, mulai 2020, keputusan hukum berbanding terbalik dengan kekalahan warga.
“Di PN, menang. Pihak Nurdin Dg Nombong naik banding ke Pengadilan Tinggi (PT), tapi warga tetap menang. Mereka kemudian tak lanjut ke MA. Kembali ke PN. Kami masih menang hingga tiga kali. Bahkan incraht itu keputusan,” katanya.
“Mereka kemudian banding lagi ke PT untuk kedua kalinya. 2020 itu pas Covid dengan bulan Maret yang dimulainya aturan social distancing. Warga taat aturan pemerintah, kita tidak kawal pengadilan dan tidak melakukan rapat-rapat. Kecolongan kita. Pengadilan Tinggi (PT) memutuskan sebaliknya,” lanjutnya.
Sejak saat itu, warga Bara-baraya menghadapi ancaman penggusuran dan terlibat dalam berbagai proses hukum untuk mempertahankan hak atas tanah mereka.
Hingga saat ini, warga Bara-baraya masih melakukan perlawanan intimidasi upaya eksekusi dari aparat, penggusuran rumah, dan perlawanan hukum melawan mafia tanah.
Editor: Sahrul Ramadan