Tahun 2022, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Makassar, memasang sebuah plang besi di sekitar rumah Hadiara. Menancap pada sebuah tanah lapang, di pinggir jalan perumahannya, di Blok 10, Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.
Di plang itu tertulis: “Tindakan yang Harus Dilakukan Saat Banjir”, memuat lima langkah persiapan menghadapi banjir.
Sejak Hadiara tinggal di situ dan telah menghadapi ratusan banjir, plang semacam ini adalah sesuatu yang baru.
Hadiara mulai menetap di perumahan ini pada Tahun 1999, ketika umurnya masih tiga puluhan, dan membeli rumah di blok itu. Perumahan ini dibangun oleh Perumahan Nasional (Perumnas) Cabang Sulawesi Selatan, perusahaan umum milik Badan Usaha Milik Negara.
Perusahaan yang berdiri tahun 1974 itu, menyediakan perumahan buat masyarakat kelas menengah ke bawah, seperti Hadiara, seorang tenaga kesehatan dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa, di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak milik pemerintah.
Blok yang ditempati Hadiara berada paling dalam dan terendah di perumahan itu, seperti membentang di atas lembah. Mendekati dua aliran sungai, rawa, dikepung hamparan tanah lapang, dan danau luas yang sebelumnya hamparan sawah.
“Kayak hutan dulu,” kata Hadiara.
“Kalau malam, hanya suara kodok didengar, rumah pun jarang sekali, itupun berjauhan.”
Di tahun 1999, harga rumah itu Rp 7 juta, dan karena Hadiara baru saja terangkat PNS, dia mendapat subsidi Rp 1,5 juta. “Jadi saya cicil ini rumah sekitar Rp 60 ribu per bulan,” cerita Hadiara. Dan tinggallah dia di rumah itu. Meninggalkan rumah sebelumnya, di Sunggu Minasa, Gowa, kabupaten tetangga Makassar.
Di tahun itu, wilayah ini dilanda musim perampokan. Jadi, Hadiara belum mengisi rumahnya dengan televisi dan perabotan yang mengundang perampok. Perampokan mulai meredah beberapa selang waktu kemudian.
Suatu hari, setahun lebih sejak Hadiara mendiami rumah itu, dia sedang berada di teras rumahnya dan hujan turun begitu lebat. Air mulai meninggi. Naik ke teras. Menghanyutkan sendal dan barang-barang lainnya. “Banjir,” Hadiara tersentak.
Beras simpanannya pergi. Hanyut bersama arus banjir.
Banjir pun berulang kali datang, sejak itu. Hadiara putus asa. Dia berniat menjual rumah itu. Tapi tak seorang pun tertarik, bahkan setelah membanting harganya sampai Rp 5 ribu. Tetangganya pun demikian.
Tahun demi tahun, banjir kian tinggi dan berubah menjadi petaka. Merendam rumah berhari-hari. Merusak seisi rumah. Menurunkan harga jual rumah. Menguras tabungan keluarga dan memaksa penghuninya mengungsi. Yang pilih bertahan akan diselimuti kegelapan ketika malam, selama banjir belum surut.
“Pokoknya tidak ada itu rumah nda kena banjir. Rumah itu tinggal atapnya kelihatan.
“Apalagi di depan,” Hadiara menunjuk arah tetangga bloknya: Blok 8.
Ketika musim hujan, Hadiara dirundung cemas. Dia tahu, banjir segera menyusul. Air akan datang bergulung bak jeram sungai.
Karena pemerintah tak menyiarkan imbauan dan peringatan dini, Hadiara bergerak mendahului kedatangan banjir. Beras dan segala bahan pokok dia selamatkan semampunya, sebab ketika bencana itu datang, bantuan pemerintah selalu datang belakangan–jika dia kebagian. Inilah yang dia gunakan jika tidak sedang mengungsi atau tak dapat bantuan. Memilih menetap di rumahnya, dalam sergapan kesunyian dan genangan banjir.
Di tahun 2022, setelah kota ini dan perumahan Hadiara dikepung banjir, plang dekat rumahnya baru terpasang. Sebuah plang yang memuat langkah-langkah yang selama dua dekade lebih, telah dilakukan Hadiara setiap sebelum banjir, tanpa diminta.
Kamu dapat menggeser tombol putih pada infografis ini untuk melihat perubahan lanskapnya.
Sejak lama, Makassar telah berulang kali dihantam banjir. Namun, kekalutannya tetap sama. Warga menyalahkan pemerintah. Pemerintah tak ingin disalahkan.
Dalam sepuluh tahun terakhir banjir kian merusak, juga meluas, seiring mengembangnya permukiman hingga ke pelosok kota ini. Dan krisis iklim memperparahnya.
Sementara di tengah kota, banjir menerabas permukiman, akses jalan, sedangkan di pesisir banjir datang dari laut.
Pertanyaannya, apakah kota ini telah siap?
Infografis ini interaktif, kamu dapat menyentuh batang dan mengganti filternya untuk menampilkan data.
Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) menunjukkan, sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan punya risiko banjir yang tinggi. Pada 2023, provinsi ini berisiko tinggi terpapar bencana.
Bagaimana dengan ibukota provinsi ini?
Paling tidak, Makassar berisiko tinggi terpapar banjir menurut dokumen Kajian Risiko Bencana Sulawesi Selatan, dengan area yang berpotensi terdampak banjir tidaklah kecil. Mencapai 12.158 hektare, memapar sekitar 899.774 jiwa penduduk atau 71 persen dari total penduduk kota ini.
Selain meninggalkan kerusakan lingkungan, bencana ini turut berpotensi menimbulkan kerusakan fisik dengan estimasi kerugian mencapai Rp 4,090 miliar.
Di kota ini, sedikitnya ada 47 titik rawan banjir, meliputi empat kecamatan: Biringkanaya, Tamalanrea, Panakkukang, dan Manggala. Dan Blok 10 Perumnas Antang, tempat yang didiami Hadiara termasuk di antaranya, bersama Blok 8 perumahan ini.
Namun, sejak 2021–karena hanya data ini tersedia secara terbuka–sedikitnya telah terjadi 25 peristiwa banjir di sepuluh kelurahan, menurut laporan BPBD Sulawesi Selatan. Paling sering adalah Kelurahan Manggala, di mana Blok 8 dan 10 Perumnas Antang, berada.
Kepala Pelaksana BPBD Kota Makassar, Achmad Hendra Hakamuddin mengatakan, bahwa empat kecamatan tersebut berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan berada pada elevasi yang lebih rendah, dibandingkan rata-rata ketinggian kawasan lainnya di Kota Makassar.
Persoalan lain menurutnya, karena letak Makassar berdekatan dengan laut, yang ketika musim hujan di saat air laut naik ke titik pasang tertinggi akan menahan limpasan banjir dan memerangkap kota ini.
“Jelas,” kata Hendra kepada Bollo.id, “bahwa yang paling mempengaruhi banjir di Kota Makassar adalah intensitas curah hujan yang tinggi.”
Hendra mengutip skenario dari rencana kontijensi banjir, kepada Bollo.id. Bahwa banjir akan terjadi di empat kecamatan itu jika intensitas hujan berada pada tiga ratus hingga lima ratus milimeter dalam sebulan.
Dengan begitu, kata Hendra, begitu curah hujan tinggi, kapasitas sungai, danau, waduk yang terbatas menyebabkan air meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya.
Sebagai informasi tambahan, curah hujan di Makassar, dalam setahun berada pada rentang dua ribu hingga tiga ribu milimeter. Angka ini masuk curah hujan intensitas sedang hingga tinggi.
Tapi apakah karena persoalan topografi belaka?
Selain karena kerusakan di wilayah hulu sungai, kepadatan penduduk yang semakin meningkat memicu alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman, bikin kantung resapan air kian menyusut. Begitu kata Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel.
“Kita ketahui bersama saat ini, Kota Makassar sangat padat,” kata Slamet. “Hampir tidak ada lagi kita temukan daerah-daerah resapan air, karena rata-rata sudah menjadi pemukiman-pemukiman elit.”
Di kota ini Slamet mencatat, sistem drainase sungguh semrawut. Saluran primer, sekunder, hingga tersier tak saling terhubung dengan baik. “Belum lagi persoalan klasik seperti sumbatan sampah di drainase, yang juga menyebabkan aliran air tidak dapat mengalir dengan maksimal begitu.”
Ketika banjir mengepung kota ini, orang-orang menyalahkan deforestasi di bagian hulu sungai. Sebagian menyalahkan tata ruang kota. Yang lainnya menyalahkan kesanggupan pemerintah. Dan ada juga yang menunjuk pendangkalan sungai sebagai biang kerok.
Namun, hal lain bagi Slamet adalah, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ini yang jadi salah satu akar masalah. “Kita tahu RTH itu bisa menjadi daerah resapan air,” kata Slamet.
“Ini penyebab kenapa sedikit saja hujan, tiba-tiba bisa langsung banjir. Itu memang karena RTH kita tidak mencukupi.”
Menurut regulasi yang berlaku, setiap kota wajib menyediakan RTH minimal tiga puluh persen dari total luas wilayah. Dari jumlah tersebut, dua puluh persen harus berupa RTH publik, sementara sepuluh persen sisanya merupakan RTH privat. Sampai saat ini, luas RTH Kota Makassar hanya 11,47 persen dari total luas wilayah kota yang mencapai 17.580 hektare.
Di Tahun 2023, pemerintah Kota Makassar mengklaim, RTH di kota ini bertambah, setelah memasukkan areal paving block, yang bagi Slamet keliru, sebab paving block tak dapat mengganti peran ekologis pohon.
Bagi Slamet, ini bukan lagi sekadar penanggulangan bencana, tapi tentang kota yang kehilangan ruang.
Saat saya pertama kali berkunjung ke Blok 8 dan 10 Perumnas Antang, orang-orang enggan diwawancara, terutama jika pertanyaannya seputar banjir: petaka tahunan yang mereka derita.
“Saya sudah capek diwawancara,” kata seorang warga. “Tidak ada solusinya.”
Lalu, saya bertemu dengan Hadiara, di pondok kecil suatu jalan setapak. Hadiara seorang perempuan paruh baya.
Kami berjumpa pada siang terik, ketika panas menyengat kulit tiada ampun. Hadiara berulang kali mengipas wajahnya. Tangannya yang satu memegang sebuah tongkat. Empat tahun terakhir, dia sulit berjalan jika tidak menggunakan alat itu.
Siang itu dia menanti kepulangan putrinya dari sekolah, bernama Desy berusia 16 tahun.
Lebih dari dua dekade, Hadiara menyaksikan kawasan tempat tinggalnya berubah. Deretan rumah dan perumahan bertambah hingga jalanan yang dulu sepi kini ramai dilalui warga.
Hadiara mengajak saya masuk ke rumahnya dan duduk di ruang tamu, ditemani Desy. Bagi mereka, banjir yang berulang-ulang ini telah jadi sendi keluarganya, dan mengubah cara hidup mereka.
Hadiara telah merenovasi rumahnya, dari hasil penjualan rumah dulunya dan sisa-sisa tabungannya.
Rumah yang sebelumnya rendah, kini telah tinggi. Hadiara meninggikan bagian belakang rumahnya dan membangun lantai dua, tempat yang dia rencanakan sebagai tempat evakuasi. Cukup untuk sekadar memberi kehangatan dan kenyamanan.
“Kadang banjir tidak dapat ji ruang tamu, tapi karena ini yang rendah (menunjuk teras rumah), jadi air masuk lewat samping,” kata Hadiara. “Kalau keras sekali banjir, baru saya naik ke lantai dua.”
Cerita Hadiara yang meninggikan rumahnya membuat saya teringat dengan perkataan Moh Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar sebelumnya. Di Tahun 2021, ketika banjir mengepung kota ini dan rumah Hadiara, Danny–sapaan walikota itu, mengimbau warganya yang jadi korban banjir untuk membangun rumah dua lantai, sebagai upaya mitigasi.
Tapi, apakah persoalan banjir selesai setelah meninggikan rumah?
Bagi Hadiara, menghadapi banjir tak cukup dengan membuat rumah lebih tinggi, sebab jika rumahnya selamat dari banjir, akses jalan terputus. Karena itu dia selalu menyisihkan duit buat membeli persiapan bahan makanan untuk persiapan banjir.
“Kadang satu minggu itu banjir,” kata Hadiara. “Pernah bahkan itu ada sampai sepuluh hari baru turun air”
Blok ini memang rendah, tetapi ada satu Masjid yang dibangun tinggi, menjadi titik pengungsian korban banjir sekitarnya. Hadiara memilih tidak mengungsi, karena jaraknya yang jauh. Terutama dengan kondisi kakinya yang saat ini. Tim SAR kadang menyinggahinya, meminta Hadiara untuk mengungsi, tapi dia tetap tak mau.
“Susah tong kodong kalau begini kondisi ku mau pergi mengungsi,” kata Hadiara. “Biar mau buang air susah, mau ke kamar mandi susah.
“Kadang itu anakku suruh saya pergi mengungsi tapi susah sekali ku rasa, tersiksa ka kalau mau tidur, banyak orang.”
Dalam bencana, ada semacam konsensus tak tertulis–jika tak ingin menyebutnya prosedur informal: Bahwa titik pengungsian adalah pusat penyaluran bantuan. Dan jika demikian, para warga korban bencana yang tidak mengungsi bakal sulit mengakses bantuan, yang secara mandat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, pemerintah mesti menjamin semua warga yang jadi korban bencana mendapatkan bantuan.
Bantuan kata Hadiara, memang tersedia. “Tapi itu untuk yang hanya mengungsi.”
Tetangga Hadiara pun demikian. Saya bertemu Hairul, seorang warga berusia 48 tahun. Dan ketika menanyakan soal bantuan dia memilih satu cerita, yang dia tak akan lupa.
Suatu malam pada Tahun 2018, bloknya terkepung banjir. Rumahnya aman saja, tapi akses keluar masuk yang tergenang juga sama-sama bencana baginya. Dia tak dapat beraktivitas, membeli bahan pokok, dan macam-macam.
Waktu itu gelap karena listrik telah dipadamkan. Dia menerobos banjir menggunakan motornya, menuju titik pengungsian. Tapi ditengah jalan, motornya mogok.
“Terpaksa saya dorong keluar,” kata Hairul.
“Mau bagaimana? Daripada mati kelaparan, yang tidak kena banjir tidak dapat bantuan,” tambahnya ketika saya temui di depan kios miliknya.
Hairul baru menempati blok 10, sejak 2013. Dia tinggal bersama keluarganya. Rumah yang dia tempati kebetulan berada di dataran yang lebih tinggi.
“Tapi kalau keras-kerasnya banjir, itu tingginya bisa sampai dada. Jadi kita terpaksa keluar,” keluh Harianti, istri Hairul.
“Kenapa keluar?” saya bertanya.
“Karena tidak dapat ki juga bantuan. Tinggal di sini tidak dapat makanan, jadi lebih baik pergi mengungsi ke rumah orang tua.”
Harianti ingin protes soal ini, tapi dia tak ingin cari masalah. Dia takut karena mereka selama ini dianggap bukan korban, sebab rumahnya tidak terkena banjir. Ada banyak warga senasib serupa, kata Harianti, tapi memilih diam.
Hairul mengiyakan.
Makassar memang telah berulang kali diterjang banjir. Terparah yang pernah tercatat, sejak era republik, terjadi pada Tahun 2000, 2013, 2019, dan 2021, ketika kota “dunia” ini terkepung banjir dari segala penjuru.
Dan di awal Februari tahun ini, banjir datang kembali. Rumah Hadiara kembali terkena banjir. Jauh lebih parah dari bulan sebelumnya.
Sekali lagi, situasinya sama. Akses terputus, banjir sana-sini, dan menuntut kerugian materil yang banyak. Namun, kali ini Walikota telah berganti.
Munafri Arifuddin, pengganti Danny Pomanto, menggandeng sejumlah akademisi dari Universitas Hasanuddin, buat mengkaji solusi banjir di Kota Makassar. Upaya serupa yang dilakukan Danny Pomanto saat dia menjabat.
Munafri berharap dari tim ini ada solusi, termasuk membangun infrastruktur seperti kolam retensi dan pelebaran saluran air. Appi, sapaan Munafri ingin, banjir bukan urusan pemerintah saja, tetapi ada unsur masyarakat, dan instansi lain, karena melibatkan otoritas DAS Pompengan, dan pemerintah provinsi. Keinginan Appi sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Lewat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, bencana memang bukan urusan pemerintah belaka–meski dialah sebagai aktor utama. Seiring waktu, muncullah istilah pentahelix, sebagai pendekatan kolaboratif, antara Pemerintah, Dunia Usaha, Akademisi, Masyarakat (Organisasi Non Pemerintah), dan Media Massa.
Lantas, bagaimana kapasitas kota ini menanggulangi banjir? Menurut dokumen Kajian Risiko Bencana Sulsel (2022-2026) dan Indeks Risiko Bencana Indonesia terbaru, kapasitas kota ini rendah.
Kapasitas daerah meliputi kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat bahaya dan tingkat kerentanan daerah akibat bencana.
Sederhananya, jika kapasitas daerah tinggi, maka semakin kecil risiko bencananya, begitu pula sebaliknya.
Sebelum masa jabatannya berakhir, Danny Pomanto mengeluarkan pernyataan bahwa banjir yang melanda Kota Makassar, tidak ada kaitannya dengan siapa yang memimpin kota ini.
Bagi Slamet, cara pandang seperti ini sangat keliru memahami konsep risiko bencana.
Ada tiga komponen utama dalam perhitungan risiko bencana, yaitu kerentanan, ancaman, dan kapasitas daerah, kata Slamet. Meskipun faktor ancaman seperti iklim dan curah hujan bersifat alami dan tidak dapat dikendalikan, kerentanan lingkungan serta kapasitas pemerintah dan masyarakat merupakan aspek yang dapat ditingkatkan oleh otoritas terkait.
“Dan itu adalah tanggung jawab pengambil kebijakan,” kata Slamet.
Salah satu upaya meningkatkan kapasitas daerah adalah menyusun dokumen kebencanaan. Dari dokumen kajian risiko bencana, pengurangan risiko bencana, hingga rencana kontijensi per jenis ancaman bencana. Ini sesuai dengan mandat UU Penanggulangan Bencana.
Sebetulnya provinsi Sulsel telah punya tiga dokumen: Kajian Risiko Bencana, Rencana Penanggulangan Bencana, dan Rencana Kontijensi (Renkon) khusus banjir.
Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) memuat perencanaan dalam bentuk kerangka kerja mulai dari prabencana, tanggap darurat bencana, hingga pascabencana, terhadap seluruh ancaman bencana yang ada di Sulawesi Selatan.
Dan jika ancaman bencana yang spesifik, seperti banjir, kerangka kerja itu diturunkan ke dalam dokumen Rencana Kontijensi yang lebih kontekstual dan spesifik, memuat serangkaian tindakan yang dilakukan dengan perkiraan atau asumsi risiko yang terjadi saat banjir terjadi, sumberdaya yang tersedia, dan alur komando. (BPBD Kota Makassar merujuk Dokumen Rencana Kontijensi Provinsi Sulsel untuk banjir yang terjadi di kota ini).
Ketua Pelaksana BPBD Sulsel, Amson mengatakan bahwa evaluasi terkait penanggulangan telah dilakukan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan yang pemutakhirannya dilakukan setiap lima tahun sekali.
“Update itu termuat dalam kegiatan yang selama ini dilakukan oleh BPBD. Evaluasinya terkait program atau kegiatan yang disinkronkan dengan program prioritas gubernur,” jelasnya melalui pesan Whatsapp pada Kamis, 30 Januari 2025.
Sebetulnya, dokumen Renkon perlu dievaluasi, ditinjau dan diperbarui, menyesuaikan perubahan yang terjadi, menurut Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No2/2023. Paling tidak peninjauan dilakukan per enam bulan, dengan masa berlaku tiga tahun.
“Justru saat tidak ada bencana harus dimutakhirkan,” kata Karno B. Batiran, Tenaga Ahli Kajian Risiko Bencana BNPB, melalui WhatsApp.
Pemutakhiran ini beralasan, sebab akan mengukur kesiapan sumberdaya, sarana dan prasarana, kesiapan pelaku dan sektor-sektor terlibat, kesediaan data, termasuk mengkaji prosedur tetap.
“Dan yang paling penting juga memutakhirkan ancaman–termasuk early warning system-nya,” kata Karno. “Bahkan sebenarnya Renkon itu harus diuji berkala, melalui drill, uji latihan, dan operasionalisasinya.”
Sistem peringatan dini. Dalam perencanaan penanggulangan bencana Sulsel, salah satu upaya dalam program Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Bencana untuk merespons darurat bencana secara tepat dan memitigasi risiko banjir, adalah melalui pengadaan sirine Early Warning System (EWS).
Amson mengatakan bahwa rencana tersebut masih dalam tahap awal.
“Baru mau,” balasnya singkat.
Kapan realisasinya, saya bertanya.
“Kalau sudah ada barangnya toh.”
Di Kota Makassar, sistem peringatan dini masih manual, klaim Hendra, Kepala Pelaksana BPBD Makassar.
Melalui informasi serta data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), BPBD Kota Makassar, kata Hendra akan melakukan penilaian di daerah-daerah titik banjir, sebelum mempublikasi kondisi atau status Kota Makassar melalui sosial media dan kanal publik.
Kata Hendra, penerapan sistem peringatan dini menggunakan teknologi sensor atau alat pengukur ketinggian air (water level) di beberapa titik banjir, dapat mendeteksi lebih awal sebelum air mencapai wilayah Kota Makassar atau daerah rawan banjir.
Namun, pelaksanaan program ini masih dalam tahap pembahasan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) terkait alokasi dana.
“Dari tahun lalu sebenarnya, cuman dengan berbagai macam aturan dalam penganggaran, itu tertunda,” tuturnya.
Renkon banjir yang ada saat ini, berlaku sejak 2022 hingga 2025–tahun ini. Meskipun kapasitas daerah melibatkan peran masyarakat, rendahnya kapasitas kota ini bukan salah warga seutuhnya, sebab Renkon perlu disosialisasikan dan disebarluaskan. “Supaya semua orang tahu,” kata Karno.
Belum genap 100 hari kerja, Pemerintahan Prabowo-Gibran memangkas dana operasional kementerian dan lembaga berkedok ‘efisiensi’, demi pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BP Danantara), lembaga dana investasi pemerintah yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia.
Dampaknya, anggaran tiga lembaga penanggulangan bencana ikut dipangkas, yaitu BNPB, BMKG, dan Basarnas. Pemotongan anggaran terhadap ketiga lembaga cukup besar, Basarnas berkurang 33 persen, BNPB 43 persen, dan BMKG hingga 50 persen.
Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, mengatakan bahwa pemangkasan anggaran akan berdampak pada kelancaran operasional lembaga. Salah satunya adalah pengadaan peralatan penting untuk penanggulangan bencana.
“Sudah beberapa tahun kami tidak bisa membantu daerah dalam pengadaan alat seperti mobil dapur, mobil tangki, dapur lapangan, dan sebagainya. Tahun ini, alokasi dana untuk Deputi Bidang Logistik dan Peralatan kembali berkurang, meskipun masih cukup besar dibanding tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.
Sementara BMKG, salah satu lembaga yang mengalami pemangkasan anggaran paling besar, berencana mengajukan dispensasi langsung kepada Presiden.
Langkah ini mereka tempuh karena mereka khawatir efisiensi anggaran akan mengganggu operasional serta perawatan alat-alat deteksi dini yang vital. Akibatnya, kemampuan mendeteksi dan menyampaikan informasi terkait aktivitas alam dan potensi bencana kepada publik bisa melambat.
Sementara itu, di Makassar, melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah tahun 2024, anggaran penanggulangan bencana mencapai Rp 6,6 miliar, yang terbagi dua puluh peruntukan. Tertinggi adalah anggaran pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana, dan respons cepat kejadian luar biasa penyakit/wabah zoonosis prioritas yang mencapai Rp 3,2 miliar.
Lalu berapa anggaran yang disiapkan untuk Pelatihan Pencegahan dan Mitigasi Bencana? Nol rupiah.
Pengelolaan dan pemanfaatan sistem informasi kebencanaan? Nol rupiah.
Sementara itu, Anggaran Penanggulangan Bencana di tingkat provinsi juga dinilai begitu sedikit oleh Dewan Provinsi Sulsel. “Dari alokasi anggaran untuk BPBD Sulsel sekitar Rp 15 miliar, tapi untuk penanganan bencana hanya Rp 2 miliar, apakah itu cukup? Sisanya dinilai hanya dialokasikan ke belanja lain yang tidak relevan,” tutur Anggota Komisi E Musakkar di Makassar, pada Desember 2024.
Dari kediaman Hairul, saya mengendarai motor menuju area belakang perumahan, melewati jalan menurun. Di depan sebuah masjid—yang menjadi lokasi pengungsian—saya membelokkan motor. Di sana, saya menemukan rumah Mustamin. Sisa-sisa genangan masih tampak jelas; jalanan yang basah menjadi tanda, banjir baru saja surut.
“Saya sudah terbiasa begini,” katanya. “Waktu masih di bawah tinggal malah sampai dada.”
Mustamin menetap di Blok 10, sejak 2004. Dia seorang sopir pete-pete, sebutan angkutan umum di Makassar. Tahun 2021, dia pindah di rumah ini, tempat kami berjumpa. “Rumah yang dulu itu, yang punya tidak dia kasih kontrak ke saya.”
Mustamin tahu, pindah ke blok ini punya risiko. Tiap tahun dia bisa mendapat banjir dua kali. “Baru sampai pinggang,” katanya.
“Jadi barang-barang yang dibeli gampang sekali rusak.”
Ketika kami berjumpa, Mustamin baru saja selesai membersihkan rumahnya dari sisa banjir.
“Ini kan tidak berfungsi juga got-nya (drainase),” Mustamin menyela dan menunjuk selokan depan rumahnya.
“Baru kemarin ini, waktu sebelum mulai hujan, kita ramai-ramai di sini bersihkan.”
Menurut Mustamin, banjir semakin parah akibat maraknya pembangunan perumahan baru di sekitar Perumnas. Dia mengenang bagaimana kawasan tersebut dulunya dilindungi tanggul, yang kini telah hilang karena pembangunan hunian elit.
“Di situ mulai membobol, artinya di luarnya tanggul membikin perumahan, makanya dia membobol,” kata Mustamin.
“Kan tinggi, kalau tidak dibobol, sama sekali tidak bisa ditempati karena air toh, rawa-rawa.”
Tak hanya merusak tanggul, pembangunan itu kata Mustamin menghalang limpasan. Saat hujan deras, banjir semakin menenggelamkan rumah-rumah warga.
Seperti Hadiara, Mustamin membuat satu ruangan di loteng rumahnya, berlantai papan. Menjadi tempat penyelamatan barang-barang berharga miliknya.
“Jadi kalau banjir di atas semua mi.”
Di lorong yang sama, tak jauh dari rumah Mustamin, ada Harun. Saya menjumpainya ketika rumahnya masih tergenang banjir baru-baru ini.
Harun berusia 58 tahun, dan baru menetap di blok ini pada tahun 2023.
Rumah yang ditinggali Harun punya noda kecoklatan bergaris, bergelombang, dan memanjang pada seluruh tembok. Itu kata Harun adalah jejak banjir. Tinggi garis itu mencapai satu meter.
Sama seperti Mustamin, Harun menduga banjir ini disebabkan sistem drainase yang buruk dan persoalan sampah yang menyumbat selokan sekitar hunian mereka.
“Itu kamu lihat toh di samping? Banyak sampah di situ dibuang,” katanya pada saya.
“Bagaimana tidak banjir? Ini pemerintah nanti hujan baru dia mau urus got. Bagaimana caranya? Harusnya ini sebelum hujan sudah diantisipasi.”
25 tahun sejak Hadiara tinggal di sini. Banyak hal telah berubah. Rumah kian bertambah dan jalan semakin baik. Tetapi, banyak dari rumah-rumah itu kosong, tak dihuni.
Di sepanjang blok perumahan ini, rumah-rumah kosong berdiri, diselimuti semak, dan hancur dilumat waktu, banjir, dan cuaca tropis. Beberapa rumah kosong terpacak spanduk pada pagarnya, bertuliskan: “RUMAH INI DIJUAL”.
“Sulit di sini, Dek,” kata Hadiara pada saya.
“Khusus daerah sini. Di sini ada yang rendah ada yang tinggi. Ada waduk di atas, kita ini di bawah. Ini modelnya kayak baskom, jadi itu air ke sini.”
“Tapi sekarang saya sudah siap,” lanjut Hadiara. “Meja berasku sekarang sudah tinggi. Jadi ya dipersiapkan memang apa adanya.”
Liputan ini dibiayai oleh Bollo.id dan donatur Kongsi-Kongsi. Terima kasih kepada Someone, Kiki, Someone, Someone, Riri Reza, Herd, Mayuri, dan Hamba Allah, atas keterlibatannya untuk mewujudkan laporan mendalam ini kepada publik.
Dukung Kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Foto sampul: Arfa Zulkarnain dari CI
Editor: Agus Mawan W
Penata ruang: Agus Mawan W