Bollo.id — Sejak 2019, masyarakat Desa Bababinanga, Kecamatan Duampanua dan Salipolo, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, terus dihantui kekhawatiran. Sebab, perusahaan tambang terus berupaya masuk untuk mengeruk pasir di hilir Sungai Saddang.
Jika penambangan terjadi, dampaknya sangat serius. Mata pencaharian warga akan hilang dan kampung mereka terancam tenggelam. Padahal, sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup sebagai petambak dan petani kebun.
“Yang sedang diperjuangkan masyarakat adalah masa depan,” ujar Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sulawesi Selatan, kepada Bollo.id, Sabtu, 3 Mei 2025.

Menurut Rizki, tambang sering kali lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat bagi warga. Pemerintah biasanya hanya datang saat bencana terjadi, membawa mie instan, baju bekas, dan tenda darurat. Pemerintah dan perusahaan tak pernah memberi solusi untuk pemulihan ekonomi masyarakat.
Padahal di Bababinanga dan Salipolo, potensi kerugian mencapai miliaran rupiah jika tambak warga rusak, hilangnya rumah, dan hancurnya aset lain.
“Yang harus kita sadari, apa yang mereka perjuangkan sesuai konstitusi,” tegas Rizki. “Kalau tanah, air, dan hutan justru menyebabkan bencana berarti negara telah gagal menciptakan kesejahteraan.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengamanatkan bahwa negara wajib melindungi hak-hak rakyat atas tanah secara turun-temurun. Artinya, negara harus memberikan rasa aman dan nyaman kepada warganya.
“Bayangkan, enam tahun ratusan keluarga di dua desa ini hidup tanpa rasa aman,” ucap Kiki sapaan akrab Rizki.
Apalagi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menetapkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Saddang sebagai kawasan kritis yang seharusnya dipulihkan. Bukan dijadikan area penambangan demi memenuhi kebutuhan material pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Menurut Rizki, pengusaha tambang memiliki kekuatan modal besar. Dan mereka tidak perlu bekerja keras tapi cukup menyedot pasir dan meraup keuntungan besar, sementara masyarakat menanggung risikonya.
“Yang jadi korban bukan perusahaan, tapi masyarakat,” katanya. “Karena itu warga sepakat sampai kapan pun, tambang harus ditolak.”



Lili, warga Bababinanga, menyatakan bahwa konflik antara masyarakat dan pihak penambang sudah berlangsung lama. Karena itu, ia berharap pemerintah mampu bertindak sebagai penengah dan tidak membiarkan perusahaan masuk beraktivitas.
Meskipun ada sekitar 60 orang yang mendukung tambang. Namun menurutnya, mereka bukan warga yang tinggal di Bababinanga atau Salipolo. “Jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan,” tegasnya. “Kalau dipaksakan masuk, jelas akan terjadi konflik.”
Lili mencontohkan Dusun Cilallang di Desa Salipolo, yang dulunya berdiri 235 rumah. Kini hanya tersisa 20 rumah akibat abrasi. Bahkan masjid di dusun itu hampir hanyut terbawa arus. “Pergi cek ke sana,” tantang Lili ke pemerintah. “Kita berjuang demi kehidupan. Kalau tambak hancur, apa kami mau makan?”.
Penolakan yang Berujung Kriminalisasi
Sebanyak 527 orang telah menyatakan penolakan terhadap tambang pasir di muara Sungai Saddang. Itu dibuktikan dengan dokumen yang telah ditandatangani warga Desa Bababinanga dan Salipolo.
Warga lain, Mawaddah mengaku pernah dikriminalisasi bersama 20 orang lainnya akibat menolak tambang pasir. Ia sempat dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Duampanua atas tuduhan pemalsuan tanda tangan warga yang menolak perusahaan tambang.
“Dikira saya yang palsukan tanda tangan warga. Jadi, saya yang dilaporkan,” ujar perempuan 30 tahun ini. “Ada 21 orang yang dipanggil jadi saksi,” ungkap Mawaddah.
Mawaddah bilang bahwa warga yang telah menyatakan penolakan terhadap tambang pasir siap melakukan apa pun untuk melindungi tambak dan mata pencaharian mereka.
“Sungai Saddang belum dikeruk saja rumah sudah hanyut. (Apalagi) kalau dikeruk, abrasi pasti makin parah,” tambahnya. “Penghasilan warga rata-rata Rp5 sampai 6 juta per tiga bulan. Siapa yang bertanggung jawab kalau semua hilang?”.
Warga Tuntut Izin Tambang Dicabut
Puluhan warga dari dua desa mendatangi Kantor Bupati Pinrang. Mereka menerobos masuk dan menuntut agar semua izin tambang di muara Sungai Saddang dicabut. Mereka menganggap kehadiran tambang mengancam kehidupan petambak dan petani.
Seorang warga, Lili mengatakan, mereka sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi ke bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pinrang. Tetapi pemerintah tak pernah mengindahkan permintaan warga.
“Tambang ini membunuh kami secara tidak langsung,” kata lelaki bertopi di depan Kantor Bupati Pinrang, Selasa 21 Januari 2025. “Kami sudah bosan menuntut pencabutan izin.”


Ia pun khawatir konflik akan semakin parah jika pemerintah tetap mengizinkan tambang, sementara mayoritas masyarakat menolak. Seharusnya, lanjut dia, pemerintah melindungi masyarakat, bukan malah membiarkan perusahaan beroperasi. Apalagi tidak pernah ada sosialisasi.
Menanggapi tuntutan tersebut, Sekretaris Daerah Pinrang, A. Calo Kerrang, menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemerintah Daerah Pinrang hanya sebatas melaporkan kondisi di lapangan. “Kami tidak mengeluarkan rekomendasi, hanya menyampaikan kondisi masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga, Cipta Karya, dan Tata Ruang Kabupaten Pinrang, Andi Awaludin Maramat, menambahkan surat yang diterbitkan pada November 2022 hanyalah keterangan tata ruang, bukan izin usaha penambangan.
Surat tersebut menjelaskan tentang lahan-lahan perkebunan, pertanian, dan badan air. Jadi, keterangan itu sebagai syarat untuk pengajuan izin tambang.
“Pemerintah daerah tidak pernah mengeluarkan izin usaha pertambangan,” tegasnya. “Jika izinnya belum terbit, secara administrasi telah dibatalkan karena hanya berlaku dua tahun.”
Rapat Tanpa Titik Terang
Pada 13 Januari 2025, warga menghadiri rapat koordinasi di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. PT Pinra Tala Bangi, pihak perusahaan tambang, mempresentasikan dokumen formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Dokumen itu disusun oleh enam akademisi dari Universitas Hasanuddin. Di antaranya, Safruddin (Ahli Geologi), Q. Fathan ( Ahli Pertambangan), M. Al Izza Hizbullah (Geologist Jr), Muh. Rifal Landu (Ahli Geohidrologi), Baso Djamada (Ahli Sosekbud), dan Bahrul Ulum (Ahli Kualitas Air).

Dalam dokumen itu disebutkan bahwa perusahaan telah mendapat persetujuan pemanfaatan ruang seluas 8,99 hektare dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Selatan pada 16 Agustus 2023.
Penambangan akan dilakukan di sempadan Sungai Saddang menggunakan kapal isap mini jenis Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD). Mereka mengklaim metode ini efisien dan ramah lingkungan. Karena tingkat kekeruhan udara permukaannya yang kecil dan dengan potensi produksi hingga 1.000 meter kubik pasir per hari.
Perusahaan juga beralasan laju sedimentasi di Sungai Saddang terus meningkat, sehingga menyebabkan pendangkalan. Pengerukan diperlukan untuk mencegah banjir. “Lebar sungai meningkat dari 192 meter pada 2014 menjadi 512 meter pada 2024,” ujar Safruddin, ahli geologi.
Namun, dalam pertemuan itu, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang menegaskan perusahaan belum boleh beroperasi sebelum mengantongi rekomendasi teknis. Status lahan yang berada di badan sungai dan sempadan masih belum jelas.
Kepala Bidang Penataan Lingkungan Hidup Dinas LH Sulsel, Andi Rosida, mengatakan rapat ini diadakan untuk melihat dokumen yang dipaparkan oleh PT Pinra Tala Bangi dan mendengar suara kedua belah pihak. Sebabnya, ada warga yang mendukung dan juga menolak tambang. “Kita ingin tahu alasan masyarakat yang menolak dan mendukung,” kata dia di sela rapat.

Direktur PT Pinra Tala Bangi, Sarifuddin mengaku, perusahaannya telah rutin melakukan pengerukan pasir dan mengirimnya ke IKN. Namun, pasir itu diambil dari Desa Alitta di Kecamatan Mattiro Bulu, Pinrang. Pasir juga dikirim ke wilayah lain di Kawasan Timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur.
Namun, usai pemaparan, warga yang menolak merasa tidak diberi ruang bicara dan akhirnya memilih keluar dari ruang rapat. “Kami punya lahan di sana. Kalau habis, siapa yang tanggung jawab?,” tutur Yangka, perempuan asal Dusun Cilallang, Desa Salipolo, sambil meninggalkan ruangan.
Editor: Sahrul Ramadan