Konflik lahan PT Lonsum/Dok. GRAMT

Pertambangan jadi Penyebab Meningkatnya Konflik Agraria di Sulsel

Dalam lima tahun terakhir Sulsel terus masuk dalam daftar lima besar provinsi dengan konflik agraria di Indonesia. 

Makassar – Bollo.id — Industri ekstraktif menjadi salah satu sektor yang menyebabkan konflik agraria di Sulawesi Selatan (Sulsel), tiap tahun terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir Sulsel terus masuk dalam daftar lima besar provinsi dengan konflik agraria di Indonesia. 

Data dari KPA Sulsel menunjukkan, industri pertambangan di Sulawesi Selatan, kini mencapai 279.876,76 hektar, yang didominasi oleh izin usaha pertambangan nikel dan emas, sejak Desember 2009 hingga januari 2024.

“Pemerintah Sulawesi Selatan melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nomor 3 tahun 2022, memasukkan alokasi ruang untuk dicadangkan sebagai areal tambang dan energi,” kata Rizki Anggriana Arimbi, Kordinator KPA Sulsel, dalam pertemuan media, di Adaji Kopi, pada 21 September 2024.

“Di mana 11.696.04 hektare berada di daratan dan 26.382.68 hektare dialokasikan untuk tambang pasir laut.”


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Sulsel memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan luas administrasi tercatat 4.533.055 hektare, meliputi dua belas kabupaten dan tiga kota. Namun di tengah kekayaan alam itu, terjadi eksploitasi tambang yang begitu masif, menurut Kiki, sapaan akrab Rizki Anggriana Arimbi.

Sepanjang tahun 2023, KPA mencatat sedikitnya terjadi 241 letusan konflik agraria, terjadi di atas tanah seluas 638.188 hektar, tersebar di 346 desa, dengan korban terkena dampak sebanyak 135.608 kepala keluarga.

Data ini membuat Sulsel berada di urutan kedua tertinggi sebagai provinsi dengan konflik agraria di Indonesia. Dan sektor tambang salah satunya menyumbang angka ini, dengan luasan konflik mencapai 58.478 hektare dan 9.870 keluarga menjadi korban.


Baca data lengkapnya: Konflik Agraria di Sulawesi Selatan


Pada sektor tambang, sejak 2009-2024, konsesi tambang banyak berada di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara, didominasi oleh tambang emas dan nikel, satu komoditi Indonesia yang sedang booming. Di Luwu Timur, KPA mencatat konsesi tambang mencapai luasan 130.415,4 hektare sedangkan, Luwu Utara seluas 104 901,4 hektare.

Dalam diskusi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, mengidentifikasi beberapa pemicu konflik agraria, salah satunya yaitu bagaimana aturan pemerintah, yang menganggap masyarakat petani tidak memiliki hak. 

Hasbi Asiddiq dari LBH Makassar, mencontohkan: Ketika suatu proyek akan dilakukan di suatu daerah dan membutuhkan lahan, sementara masyarakat di daerah tersebut tidak mengantongi sertifikat dan dokumen lain yang mendukung kepemilikan lahan mereka, maka perusahaan yang masuk itu dianggap memiliki dasar hukum untuk mengklaim. 

Inilah yang menurut Hasbi kadang menjadi persoalan. 

“Persoalan yang kadang juga muncul adalah kriminalisasi ketika warga itu memperjuangkan haknya, berusaha untuk mempertahankan hak-hak yang ada di wilayahnya,” kata Hasbi. 

“Kadang mereka dijerat dengan skema pengrusakan ketika mereka melakukan demo, dan penggunaan senjata tajam ketika misalnya dalam mengikuti pendampingan dia menggunakan senjata tajam.”

Selain itu, pemerintah kerap menggunakan pendekatan keamanan, mengerahkan polisi dan TNI di lokasi proyek. “Seperti kemarin yang kita liat secara bersama, bagaimana proses pembebasan lahan yang ada di Luwu, terkait proyek tambang emas, yang mengerahkan aparat keamanan,” kata Hasbi.


Sementara itu, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SPAM), Suryani minta kepada publik untuk mewaspadai konsolidasi dan transaksi politik antar pengusaha esktraktif dan politisi, menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2024, di Sulsel.

“Tentu akan banyak untung karena politisi mendapatkan kekuasaan dan memastikan keuntungan bisnis melalui kebijakan izin,” kata Suryani dalam kesempatan yang sama. 

Bagi Suryani, ada hal penting lainnya yang patut dilihat dalam konflik agraria. Bagaimana konflik ini berdampak pada perempuan.

Di lapangan, kata Suryani, perempuan juga ikut berjuang dan menjadi bagian penting dalam gerakan rakyat. “Bahkan sering kali perempuan berada di baris depan.”

“Berharapnya memang bahwa perjuangan perempuan jangan lagi diartikan sebagai pelengkap gerakan rakyat atau kelas kedua dalam gerakan sosial karena kepentingan perempuan itu tidak keluar dari kepentingan rakyat itu sendiri.”


Editor: Agus Mawan W


Aswandi

Aswandi adalah mahasiswa jurnalistik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Saat ini magang di Bollo.id.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Skip to content