Bollo.id — Setiap 1 Mei, jalanan di berbagai kota di Indonesia dipenuhi massa yang bersuara lantang memperingati Hari Buruh Internasional, termasuk Makassar. Tahun ini, Hari Buruh 2025 kembali dirayakan dengan aksi turun ke jalan.
Sayangnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi damai ini tak lepas dari tindakan kekerasan aparat kepolisian terhadap buruh dan mahasiswa.
Di Jakarta, aksi massa di depan Gedung DPR berujung ricuh setelah polisi menuding ada kelompok “anarko” menyusup. Di Semarang, enam orang masih ditahan hingga sepekan setelah aksi.
Sebelumnya, 24 orang, termasuk jurnalis-pers mahasiswa, sempat ditangkap dan sebagian besar baru dibebaskan. Padahal sejarah mencatat, Hari Buruh adalah momentum perjuangan untuk kehidupan yang layak.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Sejarah Panjang Perlawanan Buruh
Hari Buruh berasal dari pemogokan buruh di Amerika Serikat pada Mei 1886 yang menuntut jam kerja layak. Aksi itu memicu bentrok dengan polisi, menewaskan sejumlah buruh.
Peristiwa inilah yang menginspirasi Kongres Sosialis Internasional di Paris pada 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Dunia. Di Indonesia, peringatan ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda tahun 1918.
Namun, setelah peristiwa G30S, Hari Buruh dilarang karena dianggap berbau komunisme, rezim orde baru Soeharto menciptakan komunisme sebagai musuh ideologi publik.
Baru pasca-reformasi, peringatan ini dihidupkan kembali dan resmi menjadi hari libur nasional pada 2013. Namun hingga kini, perjuangan buruh untuk mendapat upah dan perlindungan layak masih jalan di tempat.
Indonesia Masuk Daftar Buruk
Menurut laporan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) tahun 2024, Indonesia masuk kategori negara dengan kondisi buruk bagi pekerja.
Skor Indonesia berada di angka 5 dari skala 1–5+, yang berarti hak-hak pekerja sangat tidak dilindungi. Catatan pelanggaran pun tidak sedikit. Ada 885 pelanggaran upah minimum, 686 pelanggaran pembayaran lembur, dan 56 pelanggaran THR.
Banyak buruh bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa kejelasan masa depan. Di tengah kondisi ini, janji-janji politik, seperti pembukaan 19 juta lapangan kerja oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, terdengar seperti harapan kosong.
Regulasi ketenagakerjaan seperti Omnibus Law yang sudah terbukti merugikan buruh justru terus dilanjutkan.
Represi Jadi Jawaban
Alih-alih mendengar jeritan buruh, negara justru memilih membungkam mereka. Tindakan represif aparat dalam aksi-aksi 1 Mei menjadi potret nyata betapa hak menyampaikan pendapat tidak dijamin sepenuhnya.
Polisi kerap berdalih “mengamankan” massa aksi, istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana. Mereka melakukan penangkapan tanpa proses hukum yang jelas, interogasi tanpa pendamping hukum, bahkan intimidasi terhadap peserta aksi dan jurnalis.
Baca juga:
- Buruh Tambang di Morowali Tewas Akibat Slag
- Kecelakaan dan Pengabaian: Persimpangan Jalan Keselamatan Kerja Buruh IMIP
- Blak-blakan Huadi Langgar Jam Kerja dan Upah Lembur Kurang, Bagaimana Nasib Buruh?
Kerap kali dalam kondisi yang bias logika, kepolisian menggunakan istilah “anarko” sebagai pembenaran untuk represifitas. Hanya karena berpakaian serba hitam, seseorang bisa dicap anarko dan ditangkap.
Ini cara pandang yang mengingatkan kita pada masa Orde Baru, ketika tuduhan PKI bisa membuat seseorang hilang tanpa jejak.
Negara Harus Bertanggung Jawab
Kita perlu mengingat bahwa hak untuk bekerja, upah layak, dan kebebasan berserikat adalah hak konstitusional. Negara bertanggung jawab menjamin dan memenuhinya.
Peringatan Hari Buruh semestinya bukan diperlakukan sebagai ancaman, tapi sebagai pengingat bahwa masih banyak warga negara yang hidup dalam ketidakpastian. Kita tidak ingin masa lalu represif terulang. Kita ingin masa depan di mana buruh dihormati, bukan dilukai.
Editor: Sahrul Ramadan