Pengungsi melakukan demonstrasi
Pengungsi melakukan demonstrasi/Istimewa
/

Pengungsi di antara Dilema Kemanusiaan dan Isu Kebencian

Mencapai negara suaka tidaklah mudah. Ada banyak hambatan. Persoalan hukum. Pembatasan perjalanan, hingga masalah administratif. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang terpaksa melarikan diri secara ilegal, dan menempuh jalur laut yang penuh resiko. 

Fokus adalah rubrik baru Bollo.id, memuat penjelasan dari isu dan topik yang sedang kami pantau.


“Afghanistan itu,” kisah Farid (nama samaran) pada saya. 

“Selalu ada perang. Bom pecah–meledak. Apalagi kalau (etnis) Hazara, selalu dibunuh oleh Taliban dan kelompok ekstrem lainnya.”

Farid menghela. “Jadi itu alasan saya memutuskan untuk keluar dari Afghanistan.”

Kami berbincang, lewat telepon pada malam itu, Minggu 10 Desember 2023. Farid telah fasih berbahasa Indonesia dan meminta namanya disamarkan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Farid, seorang etnis Hazara, kelompok etnis minoritas di Afghanistan. Kondisi keamanan yang tidak stabil di Afghanistan berdampak pada kehidupan etnis Hazara. Mereka kerap jadi sasaran amuk dan korban dalam serangan konflik bersenjata.

Farid, adalah satu dari sekian ribu pengungsi Afghanistan yang membungkus seluruh hidupnya ke dalam berbagai tas dan berlabuh ke negara lain, demi mencari suaka.

Tahun 2013 silam, Farid tiba di Jakarta melalui jalur udara. Sepuluh tahun sudah Farid menunggu kepastian, kapan dia akhirnya bisa ke negara suaka.

Kondisi serupa turut dirasa Karim bersama keluarganya. Karim bersama keluarganya adalah pengungsi Muslim Rohingya, yang kini hidup di salah satu penampungan sementara, di Kota Makassar. 

Rohingya salah satu kelompok minoritas yang sangat menderita dari rentetan kekerasan dan pembasmian suku oleh pemerintah militer Myanmar. Memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan tanah lahir mereka dan akhirnya terdampar di berbagai kamp pengungsian, di wilayah Asia Pasifik.

Di negara asal, para pengungsi menjadi korban represi dan persekusi, atas sentimen ras, perbedaan agama, kewarganegaraan, kelompok sosial, dan konflik bersenjata. 

Kelompok-kelompok rentan, katakanlah di negara Myanmar dan Afghanistan, memilih untuk mencari perlindungan di negara suaka, salah satunya Australia. Dan Indonesia menjadi tempat persinggahan mereka.

Namun, mencapai negara suaka tidaklah mudah. Ada banyak hambatan. Persoalan hukum. Pembatasan perjalanan, hingga masalah administratif. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang terpaksa melarikan diri secara ilegal, dan menempuh jalur laut yang penuh resiko. 

Dalam beberapa kasus, mereka terdampar setelah terombang-ambing di lautan. Beberapa menjadikan Indonesia sebagai tempat berlabuh.


Baca juga: Babak Baru Kasus Pelecehan di Rutan Polda Sulsel: ‘Pelaku Hanya Dikasih Sanksi Ringan’


Indonesia sebetulnya hingga kini belum meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, membuat Indonesia tidak punya kewajiban untuk menerima pengungsi. 

Kendati dalam menangani pengungsi, Indonesia saat ini merujuk pada dua perundang-undangan: Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. 

Di Perpres tersebut, dalam menangani pengungsi, Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan UNHCR bersama International Organization of Migration (IOM), badan PBB yang memiliki tanggung jawab dalam menerima dan memberi perlindungan bagi para pengungsi.

Selain itu, atas dasar kemanusiaan dan aturan dalam hukum internasional yang berlaku terhadap pengungsi, negara yang menjadi zona transit menerapkan prinsip non-refoulement. Sebuah larangan mengembalikan atau memaksa pengungsi kembali ke negara asal, di mana mereka senantiasa akan menghadapi ancaman terhadap keselamatan dan hak asasi mereka.

Penolakan Pengungsi

Sebagai negara transit para pengungsi, Indonesia terjebak dalam dilema yang rumit antara menangani situasi kemanusiaan yang berkaitan dengan hidup pengungsi dan menjaga keamanan negara dari dugaan sindikat penyelundup manusia.

Isu ini menjadi perbincangan dan telah memunculkan pro kontra di masyarakat. Terbaru, di Aceh, di mana warga menolak kedatangan pengungsi asal Rohingya.

Soal itu, Mutiara Pertiwi, dari Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pemerintah sejak awal kurang mengantisipasi, ketika gelombang pengungsi berdatangan pada pertengahan November 2023 lalu.

“Negara tidak hadir,” katanya, dikutip melalui BBC Indonesia. 

“Sehingga akhirnya kondisi-kondisi di titik paling darurat, ketika para Rohingya ini baru datang, peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah justru diserahkan kepada masyarakat.”

Di laporan sama, pengamat sekaligus anggota Human Rights Resource for ASEAN, Rafendi Djamin melihat, pandangan negatif masyarakat terhadap Pengungsi Rohingya kian meningkat. 

Tren itu dipicu pesatnya kabar hoaks yang beredar dan, pemerintah yang kurang menanggapi kedatangan para pengungsi dan menekan penyebaran informasi yang tidak benar, yang telah bercampur dengan sentimen kebencian terhadap etnis Rohingya.

Pengungsi di Makassar

Di Indonesia, setidaknya ada 12.097 pengungsi dan pencari suaka, menurut data UNHCR Indonesia, pada Juli 2023. Terdiri dari 8.828 orang dewasa dan 3.269 anak-anak. 54.4 persen adalah pengungsi asal Afganistan. Somalia 10.3 persen, Myanmar 7.3 persen, Iraq 4.98 persen, Sudan 3.99 persen, dan sisanya berasal dari negara lain.

Sementara menurut Direktorat Jenderal Imigrasi, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia hingga 24 Oktober 2023, mencapai 11.995 orang. Beberapa pencari suaka telah menjalani resettlement atau pemindahan ke negara suaka.

Mengutip pada laman resmi UNHCR Indonesia, terdapat enam kota yang menjadi tempat penampungan bagi pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Menyebar di Jakarta, Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, hingga Kota Makassar.  

Di Kota Makassar, setidaknya ada 1.300 pengungsi, menurut data Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar, per 15 November 2023.

Data-data itu bukan sekadar angka, dan Farid salah satu di antaranya. Sejak tiba, Farid mendiami salah satu akomodasi (penempatan pengungsi di luar rumah detensi) yang ada di Kota Makassar. Status sebagai pengungsi dia dapatkan pada 2014, setahun setelah mendaftarkan diri sebagai pencari suaka di Jakarta. 

Dia bilang, aturan imigrasi di Indonesia mengatur, bahwa jika seseorang masih berstatus pencari suaka akan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Bila telah ditetapkan dan diberi kartu identitas pengungsi oleh UNHCR maka akan ditempatkan di luar Rudenim.

“Dia tidak boleh ditahan, jadi dia diberi tempat menginap di luar,” tuturnya Farid.

Sementara negara melindunginya sebagai status pengungsi, sejumlah hak dasar Farid belum terpenuhi di sini.

“Jadi pengungsi di Indonesia ini tidak punya hak bekerja, hak dapat masuk sekolah, memiliki kendaraan dan Surat Izin Mengemudi (SIM),” tambah Farid. 

“Dan juga tidak boleh keluar ke wilayah selain di daerah penampungan.”

Hal serupa juga mendera sejumlah pengungsi anak. Mereka sulit mengakses pendidikan formal selama di Kota Makassar. 

Kendati pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan, tetapi sejumlah aturan macam penentuan kuota dan persyaratan administratif yang rumit, bikin mereka harus menunggu sekian lama demi mengenyam pendidikan.

“Awalnya SMA (Sekolah Menengah Atas) itu tidak mau terima, soalnya kuota sudah penuh,” kata Aika 

“Kami menunggu untuk mendapatkan surat rekomendasi dari dinas provinsi untuk masuk sekolah negeri. Setelah melihat surat rekomendasi, sekolah pun akhirnya mau menerima.”


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

2 Comments

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

ollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut.
Skip to content