Filosofi Rumah Panggung di Sulawesi Selatan

Konsep rumah adat masing-masing memiliki ciri khas. Untuk melestarikannya diperlukan penguatan khusus kepada siswa-siswa di sekolah.

Rumah adat Bulukumba
Rumah adat Bulukumba

Makassar, bollo.id Sulawesi Selatan, punya sejumlah suku dan budaya. Tiap suku punya ciri khasnya tersendiri, termasuk rumah adat yang dimilikinya. Misalnya rumah panggung yang berbeda bentuk, gaya, dan nama, yang hingga kini masih difungsikan.

Dahulu, rumah adat diperuntukkan, sebagai tepat bagi para raja, bangsawan atau petinggi adat untuk musyawarah menyelesaikan masalah. Kendati demikian, warga pada umumnya pun membuat rumah tinggal, yang juga berupa rumah panggung.

Hanya saja, yang membedakan adalah bentuk atap dari rumah itu, yang merupakan simbol strata atau status sosial pemiliknya.

Saat ini, sejumlah daerah di Sulsel masih mempertahankan menggunakan rumah panggung sebagai rumah tempat tinggalnya. Karena merupakan salah satu warisan nenek moyang, yang sampai sekarang masih terjaga dan dilestarikan.

Hanya saja, keberadaan rumah panggung saat ini, sudah dimodifikasi sedemikian rumah, yang  menunjukkan kesan modern, tapi konsep rumah panggungnya, masih dengan ketinggian tiga meter.

Kepala Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Makassar, Bustan menjelaskan, jika melirik ke belakang, misal di zaman neolitikum masyarakat sudah menetap dengan membuat tempat tinggal yang aman untuk melindungi diri mereka dari berbagai macam bahaya, misal serangan binatang buas dan lain-lain.


Baca juga : Menjaga Kampung Adat dengan Nalar Sederhana


“Kemudian di Sulsel, rumah panggung memiliki filosofi tiga bagian yakni atas, tengah, dan bawah yang artinya bahwa, secara kosmologis, alam semesta terbagi dari, dunia atas yang dihuni oleh para dewa-dewa langit. Lalu dunia tengah yang dihuni oleh manusia, dan dunia bawah yang dihuni oleh dewa-dewa bawah laut,” jelas Bustan.

Dan itu memang terlihat dari konsep-konsep rumah panggung yang dibangun di Sulsel, baik itu milik Suku Bugis, Makassar, Toraja, juga Mandar (Sulawesi Barat).

Rumah Bugis memakai konsep rumah panggung yang dibuat dari bahan berbagai jenis kayu. Ciri khasnya ada pada atap yang berbentuk pelana dengan timpalaja (bidang segitiga antara dinding dan pertemuan atap) yang jumlahnya disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Timpalaja adalah bidang segi tiga antara dinding dengan pertemuan atap.

Rumah Bugis, ada dua jenis, yang dikenal Saoraja atau Bola. Saoraja itu rumah untuk kalangan bangsawan, dan bola untuk masyarakat umum. tapi unsur-unsur rumahnya tetap sama.

Untuk rumah adat Makassar, dikenal dengan nama Balla. Seperti rumah adat lainnya, Balla dulunya juga menjadi rumah bagi para bangsawan. Bangunan rumahnya juga memiliki konsep tradisional rumah panggung.

Pembagian arsitekturnya dibagi menjadi tiga, yaitu atap, inti rumah, dan kolong. Bahan material yang dipakai adalah berbagai macam kayu, sementara atapnya memakai ijuk atau jerami.

Balla, ditopang oleh 10 tiang penyangga. Rumah ini dikenal luas dan besar, dengan ketinggian sekitar tiga meter. Jadi, ruangan dalamnya pun luas dan besar. Ruang teras Balla disebut dengan dego-dego, lalu ruang tamu disebut paddaserang dallekang.

Kemudian ruang bagian tengah akan dipakai sebagai ruang keluarga, dan kamar tidur berada di bagian paling belakang. Untuk kamar tidur di belakang ini dikhususkan bagi anak perempuan.

Atap Balla, juga berbentuk pelana, hanya saja, ujungnya lancip menghadap ke bawah. Untuk bagian atap, selain dari ijuk juga bisa dari bambu, rumbia, atau nipah. Lalu bagian pucuknya ada segitiga yang disebut sebagai Timbaksela.

Segitiga yang tidak bersusun ini menandakan rumah orang biasa, sementara yang disusun bertingkat menandakan pemiliknya adalah seorang bangsawan. Jika Timbaksela lebih dari tiga, tandanya si pemilik rumah adalah bangsawan yang memiliki jabatan pemerintahan.

Tongkonan, rumah adat Suku Toraja (Lina Herlina)

Kemudian rumah adat milik Suku Toraja, yang dikenal dengan nama tongkonan. Rumah yang satu ini banyak sekali ditemukan di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Tidak hanya di kawasan wisatanya, tapi di komplek rumah milik warga, biasanya selalu ada tongkonannya.

Tongkonan berasal dari kata ‘Tongkon’, yang berarti menduduki atau tempat duduk. sama dengan rumah adat suku lain di Sulsel. Rumah ini digunakan oleh para raja dan petinggi adat untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah.

Selain itu, rumah tongkonan berfungsi sebagai tempat berkumpul dengan warga untuk membahas upacara adat dan ritual acara kebudayaan lainnya.

Ciri khas rumah tongkonan, memiliki arsitektur yang unik, berupa rumah panggung yang bentuknya memanjang, dan terbuat dari kayu uru. Selain itu, atap rumah tongkonan juga memiliki bentuk seperti perahu dan memiliki ujung yang menjuntai ke atas yang sangat menjulang.

Pada bagian depan atas rumah juga bisa ditemukan patung kepala kerbau, atau kepala kerbau asli yang diawetkan, yang disebut ‘kabongo’.  Dan di bagian bawah rumah adat tongkonan ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan, menaruh bahan makanan dan hasil bumi yang akan digunakan sebagai persembahan pada acara adat.

Jika rumah adat Tongkonan hampir dimiliki semua warga di Toraja umumnya, karena kepercayaan animisme yang disebut Aluk To Dolo. Aluk Todolo merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Toraja yang sudah ada sejak dulu. Menurut kepercayaan masyarakat, kepercayaan ini diterima nenek pertama manusia dalam bentuk ketentuan dan aturan hidup yang disebut dengan sukaran aluk.

Tapi untuk rumah adat Bugis dan Makassar, tidak semua warga membangun rumahnya menyerupai rumah adat yang ada. Rumah milik masyarakat Bugis dan Makassar sudah banyak di modifikasi, atau bahkan sudah ada yang bergaya modern yang kekinian.

Seperti, yang dilakukan Mardini, 68, warga Mannagae, Desa Belo, Kecamatan Gandra, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan mengaku sejak kecil memang sudah tinggal di rumahnya yang berbentuk panggung. Meski sekarang sudah dimodifikasi, karena tidak lagi terbuat dari kayu, tapi beton. 

“Iye ini sudah dimodifikasi, karena kalau pakai kayu atau papan mahal sekarang, pemeliharaannya pun juga mahal. Dan untungnya dengan beton, tetap terlihat cantik dan bagus, dan memberi kesan tetap seperti rumah panggung kebanyakan,” akunya.

Amirullah Amir, Budayawan dari Universitas Hasanuddin Makassar menjelaskan, wajar saja jika keberadaan rumah adat di daerah Sulsel itu mulai sedikit berkurang, karena perawatannya cukup tinggi atau mahal. 

“Tapi untuk wilayah Toraja, rumah adat Tongkonan hingga kini masih eksis, karena memang dijadikan sebagai potensi wisata, dan menjadi jualan daerah, selain wisata religinya,” jelasnya.

Terlebih lagi menurutnya, untuk pemeliharaan Tongkonan di Toraja, itu difasilitasi oleh tiap lembang (Wilayah administratif), tidak dikelola secara pribadi seperti rumah-rumah ada di wilayah utara Sulsel, seperti Kabupaten Soppeng, hingga Sidenreng Rappang (Sidrap). 

“Kalau pun ada rumah ada di sana, itu pasti dibangun dengan modal pribadi, daerah hanya punya satu misalnya, yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat. Tetapi, jika untuk membuka atau dijadikan kawasan wisata, tentu pemerintah setempat harus memberi perhatian lebih terhadap keberadaan rumah-rumah adat di daerahnya,” tukas Amirullah.

Untuk upaya pelestarian rumah adat, Bustan lalu menambahkan, perlunya ada penguatan khusus di sekolah, misalnya kepada murid atau siswa, diberi pemahaman tentang sejarah yang bersifat muatan lokal (lokal genius), agar mereka sejak dini memahami pentingnya melestarikan warisan budaya.

Catatan Redaksi :

Artikel ini telah direvisi pada Jumat 22 September 2023, pukul 16.26 WITA. Terima kasih

1 Comment

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content