Ilustrasi, kapal pengangkut batubara/Tiara Pertiwi-Trand Asia
Ilustrasi, kapal pengangkut batubara/Tiara Pertiwi-Trand Asia

Ada Pendanaan untuk Proyek Energi Kotor PLTU Khusus Industri di Indonesia

Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang didanai oleh pemerintah berisiko memicu ledakan penggunaan PLTU captive yang merusak iklim

Bollo.id — Recourse, Trend Asia, dan Inclusive Development International melaporkan temuan lembaga pemberi pinjaman swasta milik Bank Dunia, International Finance Corporation (lFC). 

Bank ini disebut, secara tidak langsung telah membiayai pengembangan proyek PLTU captive atau pembangkit listrik khusus industri di dua kilang nikel di Pulau Obi, Maluku Utara, lewat klien perantara keuangannya.

Dalam laporan itu disebutkan bila unit PLTU captive [1] sering dibangun untuk memberi daya pada pemrosesan logam, seperti nikel atau baja, yang dianggap penting bagi upaya dekarbonisasi. 

Meskipun pabrik pengolahan nikel berperan dalam rantai pasokan kendaraan listrik yang dicap sebagai kendaraan hijau bebas emisi, penggunaan batubara PLTU Captive merusak upaya transisi energi dan menyebabkan kerugian bagi masyarakat.


Baca juga: Rentetan Masalah Hilirisasi Nikel di Indonesia


Laporan tersebut menyatakan bahwa Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang didanai oleh pemerintah berisiko mendanai ledakan penggunaan PLTU captive yang merusak iklim. 

Meskipun ada komitmen untuk mengakhiri pendanaan batubara dan menyelaraskannya dengan upaya global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Komitmen untuk menghentikan pendanaan proyek batubara dari MDB tidak termasuk penghentian pendanaan untuk PLTU captive atau pembangkit listrik batubara khusus untuk industri. 

Laporan terbaru [2] dari organisasi iklim Recourse, Trend Asia, dan Inclusive Development International, menemukan bahwa MDB yang didanai oleh publik, berisiko mendanai gelombang ekspansi proyek batubara PLTU captive di negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti Indonesia. 

“Saat ini, Bank Dunia tidak menyadari risiko yang ditimbulkan oleh PLTU captive terhadap manusia dan planet ini,” kata Daniel Willis, juru kampanye keuangan di Recourse dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Rabu, 10 Juli 2024.

Walaupun, lembaga tersebut memiliki komitmen untuk mengalihkan pendanaan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Artinya, ada celah di komitmen hijau Bank Dunia dan lembaga pinjaman swastanya, International Finance Corporation (IFC) untuk terus mendanai unit PLTU captive yang dirancang mendukung proses industri [3]. 

Dengan demikian, PLTU captive untuk mendukung proses industri seperti peleburan logam atau produksi semen, akan menjadi lebih umum dalam dekade mendatang. Laporan ini juga menyorot dua proyek energi kotor PLTU captive untuk industri nikel di Pulau Obi, Maluku Utara, Indonesia yang didanai IFC lewat klien perantaranya, yaitu Hana Bank Indonesia dan OCBC NISP. 

IFC secara tidak langsung membiayai setidaknya satu dari proyek-proyek ini melalui klien perantara keuangannya. Perantara keuangan lain yang didanai IFC untuk berinvestasi dalam proyek-proyek ramah iklim juga mendanai fasilitas bertenaga batubara untuk industri nikel di pulau tersebut.

Meskipun Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi kapasitas batubara yang terhubung ke jaringan listrik hingga hampir setengahnya antara tahun 2030 dan 2045 lewat Just Energy Transition Partnership (JETP), pemerintah berencana untuk meningkatkan kapasitas batubara untuk industri hingga dua kali lipat (dari 14,2 GW menjadi 32,7 GW) guna mendukung industri mineral transisi yang masif berkembang saat ini [4]. 


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Akibatnya, ekspansi PLTU captive akan menyebabkan peningkatan kapasitas batubara Indonesia secara keseluruhan hingga tahun 2045 yang akan merusak upaya pengurangan emisi rumah kaca yang telah dicapai melalui pengurangan penggunaan batubara.

Daniel bilang, “akan menjadi sebuah ironi besar jika, atas nama pembiayaan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk transisi energi terbarukan, Bank Pembangunan Multilateral juga membiayai ekspansi cepat batubara yang merusak iklim.”

“Kelompok Bank Dunia harus fokus untuk mendukung proyek-proyek iklim yang tidak merugikan, dan yang mempercepat, bukannya menghambat, dekarbonisasi industri.” 

Bersamaan dengan laporan ini diterbitkan sebuah studi kasus [5] tentang dampak pengolahan nikel dan pengembangan batubara di Pulau Obi yang menyebabkan polusi udara, menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, meningkatkan kemiskinan, hingga berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati.

“Proses transisi yang masih menyisakan ruang untuk penggunaan batubara tidaklah tepat dan berkeadilan,” kata Juru Kampanye Energy Policy and Finance Trend Asia, Novita Indri.

“Justru hal ini hanya akan membawa kita keambang kegagalan untuk mencapai Perjanjian Paris dan menambah kerusakan hingga penderitaan bagi lingkungan dan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan tersebut. Lebih dari itu, hal ini membawa kita semakin jauh dari transisi yang berkeadilan.”

Dengan demikian, Bank Dunia diharapkan untuk menutup celah dalam kebijakannya serta memastikan tak ada lagi dukungan untuk proyek-proyek batubara untuk PLTU khusus industri. 

Begitu pula dengan lembaga-lembaga yang tergabung dalam MDB untuk meningkatkan transparansi investasi perantara keuangan dan mendorong investor yang telah mendukung proyek-proyek batubara untuk memberikan tindakan perbaikan bagi masyarakat yang terdampak.

“Pembangkit listrik tenaga batubara tetaplah pembangkit listrik tenaga batubara, apapun penggunaannya, sebab memiliki dampak yang sama terhadap manusia dan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Inclusive Development International, David Pred.

“Baik pembangkit listrik maupun proyek-proyek yang bergantung padanya tidak dapat disebut ramah lingkungan dan mereka seharusnya tidak mendapatkan dukungan-secara langsung maupun tidak langsung-dari Bank Dunia atau lembaga mana pun yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.” 


Catatan Editorial

  1. Unit PLTU batubara captive adalah pembangkit listrik tenaga batu bara yang secara eksklusif melayani fasilitas industri.
  2. Laporan dapat diakses di sini
  3. Sebagai contoh, Pendekatan Ekuitas Hijau IFC secara eksplisit menyatakan definisi proyek yang berkaitan dengan batubara “mengeluarkan penggunaan PLTU captive untuk industri dari aplikasi”. Lihat halaman.9. https://www.ifc.org/content/dam/ifc/doc/2023-delta/ifc-approach-to-greening-equity- investments-in-financial-institutions.pdf
  4. Just Energy Transition Partnership. (2023). Comprehensive Investment and Policy Plan 2023, halaman84. https://jetp-id.org/storage/official-jetp-cipp-2023-vshare_f_en- 1700532655.pdf.
  5. Dua smelter nikel bertenaga batu bara yang dimaksud adalah smelter feronikel PT Halmahera Jaya Feronikel dan kilang nikel PT Halmahera Persada Lygend HPAL. Laporan terkait dapat diakses di sini

Sahrul Ramadan

Sahrul Ramadan adalah editor Bollo.id. Mengurus rubrik fokus, berita terbaru, dan ceritaan.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content