Explainer
Bollo.id — Sejak 2019, Pemerintah Kabupaten Takalar mendorong pengembangan Kawasan Industri Takalar (KITA) seluas 3.500 hektare (ha). Pengembangan awalnya direkomendasikan Pemkab Takalar melalui Peraturan Bupati Takalar Nomor 39 Tahun 2023 kepada PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dengan melibatkan investor asing dari China melalui Asosiasi Industri Logam Non Besi atau PT China Metal Recycling Association (CMRA).
Kemudian berpindah pengelolaan ke PT Kawasan Industri Tiran (KITA), anak usaha PT Tiran Nusantara. Berdasarkan dokumen rencana, lahan ini akan mencakup 2.600 ha zona industri, 100 ha pelabuhan, 100 ha perumahan, dan 45 ha lapangan golf, dengan tahap awal pembangunan meliputi 100 ha untuk industri pengolahan logam non-besi.
Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Transparency International Indonesia (TII) dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar (Hipermata). Pemilihan lokasi dipandang strategis karena berada di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 2 dan dekat pelabuhan utama, sehingga mempermudah distribusi bahan baku.
Desa Laikang diproyeksikan terdampak langsung kehadiran KITA karena sebagian besar lahan yang dialokasikan merupakan ruang hidup masyarakat pesisir. Termasuk lokasi budidaya rumput laut, tambat perahu, dan area penggembalaan ternak tradisional.

Kekhawatiran masyarakat pesisir Desa Laikang terhadap rencana pembangunan KITA tidak berdiri di ruang hampa. Mereka belajar dari pengalaman di wilayah sekitar. Di Kabupaten Jeneponto, keberadaan PLTU telah memicu dugaan penurunan kualitas perairan yang berdampak pada penurunan harga dan mutu rumput laut.
Sementara di Kabupaten Bantaeng, pengembangan kawasan industri telah membatasi akses nelayan terhadap ruang kelola laut dan menurunkan produktivitas rumput laut. Bagi warga Laikang, kedua contoh tersebut menjadi peringatan nyata akan risiko yang dapat mereka hadapi jika kawasan industri itu benar-benar dibangun di atas ruang hidup mereka.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Wilayah yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan melalui budidaya rumput laut, perikanan tradisional, dan pertanian terancam berubah menjadi kawasan industri berskala besar dengan potensi dampak sosial-ekologi yang signifikan.
Skema kompensasi yang ada terbatas pada pembelian lahan dengan harga rendah tanpa jaminan keberlanjutan mata pencaharian. Sementara itu, struktur kepemilikan proyek yang terkonsentrasi pada lingkaran elite memunculkan potensi konflik kepentingan yang dapat mengabaikan kepentingan masyarakat lokal.
Di Desa Laikang, sebagian besar masyarakat memperoleh informasi penting terkait pembangunan proyek KITA melalui perbincangan antarwarga atau kabar dari tetangga. Sangat jarang terjadi pemberitahuan resmi atau pertemuan formal dari pihak pemerintah desa atau perusahaan.
Kalaupun ada sosialisasi, biasanya hanya dihadiri segelintir orang dan fokusnya terbatas, misalnya terkait pembangunan pabrik rumput laut atau pabrik jagung, tanpa membahas keseluruhan proyek secara menyeluruh. Kelompok pemuda mayoritas mendapatkan informasi dari obrolan antarwarga, yang memunculkan risiko penyimpangan atau asimetri informasi karena tidak bersumber dari pihak yang berwenang.
“Perencanaan yang sebenarnya hanya segelintir orang yang mengetahuinya seperti aparat desa,” kata Sudirman, warga Laikang pada Temuan Data Citizen Score Card melalui Focus Group Discussion (FGD)-Diseminasi Riset Audit Sosial Kawasan Industri Takalar yang digelar TII bersama PB HIPERMATA di PPLH Puntondo Desa Laikang, Takalar, yang diterima redaksi Bollo.id, 23 September 2025.

Minimnya akses informasi menciptakan hambatan partisipasi inklusif, di mana hanya mereka yang aktif di lingkaran informasi informal yang mengetahui sebagian besar perkembangan proyek. Kelompok petani rumput laut bahkan menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi resmi sama sekali terkait pembangunan.
Meski pernah ada pertemuan dengan pemerintah setempat, kehadiran yang sangat minim justru memperkuat indikasi buruknya jalur komunikasi formal. Sementara itu, kelompok nelayan menghadapi masalah serupa: seluruh informasi diperoleh secara informal, tanpa akses resmi untuk mengetahui rencana proyek atau menyampaikan masukan.
Kelompok perempuan juga mengalami kondisi serupa, di mana mayoritas hanya mengetahui kabar proyek dari mulut ke mulut. “Orang-orang yang diberikan ruang untuk perencanaan terkesan eksklusif. Hal ini juga dirasakan pada penyerapan tenaga kerja,” kata Dg Jalling, petani rumput laut, Puntondo.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah sistemik dalam tata kelola komunikasi pembangunan di tingkat lokal. Ketiadaan informasi resmi berarti warga kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan yang terinformasi, mengajukan pertanyaan, atau sekadar memahami apa yang akan terjadi di sekitar ruang hidup mereka.
Muncul sejumlah catatan yang menunjukkan kesenjangan komunikasi dan potensi menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. “Sudah ada surat pernyataan sikap ‘menolak’ hasil musyawarah warga tetapi tidak ada tindak lanjut oleh pemerintah setempat,” tegas Mus Mulyadi, dari BPD Puntondo.
Perjalanan Alot
Pada 25 Agustus 2025 lalu, forum warga dalam diseminasi itu berlangsung alot. Mereka mengundang berbagai pihak untuk mencari kejelasan persoalan yang dihadapi warga. Pejabat pemerintah yang hadir memberikan pandangan beragam. Kabid Sarana dan Prasarana Perindustrian Takalar menilai masyarakat seharusnya melihat dari dua sisi.
“Jangan hanya melirik dampak sosialnya saja, dampak ekonomi juga penting untuk kita perhatikan. Namun perlu kita ketahui bahwa pemerintah hanyalah pekerja teknis,” ujarnya dikutip Bollo.id, dari laman resmi TII.
Sikap serupa juga ditunjukkan Kepala Desa Laikang, Nursalim Dg Lingka yang memilih posisi berhati-hati. “Sebagai kepala desa perlu saya ingatkan bahwa ada batasan-batasan bagi saya dalam isu ini, bukan mendukung, bukan juga menolak. Saya berdiri di tengah-tengah, kita sama-sama cari solusi. Jika saya tidak berpihak pada proyek ini, takutnya saya berpengaruh pada jabatan saya,” tuturnya.

Kabid Pemberdayaan Nelayan DKP Takalar, Syamsuddin Serang, menekankan pentingnya keseimbangan antara industri dan sektor pesisir. “Jika ada sesuatu yang kita buat harusnya dilanjutkan untuk dilaksanakan secara beriringan agar semuanya jalan, baik industri maupun budidaya rumput laut dan lainnya,” jelasnya.
Berbeda dengan aparat pemerintah, sikap tegas justru datang dari parlemen. Muhammad Ibrahim Bakri, anggota DPRD Takalar, menegaskan berdiri bersama warga. Sikap itu dianggap penting karena dia menilai, akan muncul dampak buruk bila persoalan ini didiamkan.
“Saya lantang menyuarakan bahwa saya berpihak dan mendukung warga. Warga punya hak untuk bersuara. Jika memang ini sesuatu yang tidak baik untuk ke depannya, kenapa kita harus dukung? Jika kawasan ini diadakan, ini akan menimbulkan dampak pada perubahan budaya di desa kita,” tegasnya.
Sementara itu, PT Tiran, penggagas kawasan industri, tidak hadir meski telah diundang. Telaah dokumen Formulir Kerangka Acuan KITA menyatakan pernah melakukan pertemuan konsultasi publik dan tercatat 33 orang hadir dalam pertemuan tersebut. 32 orang memberikan masukan namun pada tabel pendapat hanya terdapat 31 orang. Sejumlah saran dan tanggapan dari masyarakat terdampak tercatat di dalamnya.
Namun berdasarkan hasil FGD audit sosial, tidak ditemukan satupun peserta yang mengetahui ataupun pernah terlibat dalam proses partisipasi publik, sebagaimana tertulis dalam dokumen tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kecurigaan rekayasa data dalam dokumen adanya ketidaksesuaian antara laporan proses pelibatan masyarakat dalam dokumen perencanaan dengan realitas di lapangan.
“Kami akan tetap menyuarakan tuntutan, meski banyak yang menghalangi,” tegas Sudirman. “Apakah Laikang sudah siap diubah menjadi kawasan industri? Sementara SDM yang ada sangat jauh untuk bisa menjadi kawasan industri,” Mus Mulyadi, BPD Desa Laikang menambahkan.
Minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan Kawasan Industri Takalar mencerminkan belum terpenuhinya prinsip dasar Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai standar etis dan hak asasi dalam pembangunan berskala besar.
FPIC menekankan bahwa masyarakat, khususnya komunitas lokal dan adat, memiliki hak untuk memberikan persetujuan secara bebas (free), tanpa paksaan, sebelum proyek dimulai (prior), dan berdasarkan informasi yang lengkap dan jujur (informed).

Menyelisik Dampaknya
Akses terhadap laut dan wilayah pesisir merupakan aspek krusial dalam kehidupan masyarakat Desa Laikang, khususnya bagi kelompok nelayan dan petani rumput laut. Audit sosial ini menemukan bahwa meskipun secara umum akses fisik terhadap laut masih tersedia, terdapat kekhawatiran yang meluas terkait potensi pembatasan akses sebagai dampak dari rencana pembangunan KITA.
Warga menyampaikan bahwa selama ini mereka memanfaatkan Teluk Laikang untuk berbagai aktivitas ekonomi seperti menangkap ikan, menjemur dan mengolah hasil laut, serta sebagai jalur transportasi. Namun dalam dua tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya aktivitas proyek, warga mulai menyadari adanya perubahan di wilayah pesisir, termasuk keberadaan alat berat dan pemasangan patok yang belum pernah dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat.
Kelompok nelayan secara tegas menyampaikan bahwa sejak keberadaan alat berat dan patok proyek di pesisir, mereka tidak lagi merasa aman menambatkan perahu di lokasi biasa. Jalur tambat yang sebelumnya dapat diakses bebas kini mulai dihindari karena khawatir akan dibatasi atau diusir oleh pihak proyek.
Sementara itu, petani rumput laut menjelaskan bahwa lokasi pengolahan dan penjemuran hasil panen mereka di wilayah pesisir kini semakin terancam. Mereka kesulitan mencari tempat pengganti yang memadai dan menyatakan belum ada kejelasan mengenai kelanjutan penggunaan ruang tersebut. Kekhawatiran muncul bukan karena larangan yang eksplisit, melainkan karena adanya rasa tidak aman atas ruang yang selama ini mereka kelola secara turun-temurun.
Kelompok perempuan menyoroti dampak tidak langsung dari aktivitas proyek terhadap peran domestik dan ekonomi rumah tangga mereka. Pesisir yang sebelumnya menjadi ruang multifungsi untuk mengolah hasil laut, membantu suami, dan bermain bersama anak-anak kini tidak lagi nyaman diakses karena kebisingan alat berat dan berkurangnya ruang teduh.
Nelayan setempat, Eli Daeng Sila, menuturkan bahwa jika ruang laut dibatasi, masyarakat tidak hanya kehilangan hasil tangkapan, tetapi juga kehilangan tempat untuk bekerja. Hal ini memperlihatkan kecemasan yang tidak hanya terkait akses fisik, tetapi juga menyangkut keberlangsungan hidup. “Kalau laut ini ditutup, bukan cuma rugi hasil, tapi juga hilang tempat kita bekerja.”

Sementara itu, Daeng Jalling, petani rumput laut, menyebut bahwa sudah tidak ada harapan lagi sejak proyek mulai berjalan. Menurutnya, lokasi pengolahan rumput laut yang sebelumnya digunakan kini sudah tidak aman karena kedekatannya dengan aktivitas alat berat dan wilayah yang telah dipatok sebagai bagian dari proyek kawasan industri.
Beberapa warga bahkan mulai enggan menjemur hasil panen di lokasi tersebut karena takut dipindahkan atau ditegur. “Dulu kita bisa lewati pantai ke mana-mana. Sekarang sudah mulai ada alat berat dan patok-patok. Sudah tidak ada harapan dan kehidupan setelah ada kawasan industri.”
Kelompok pemuda mengamati perubahan fungsi ruang pesisir sebagai ruang rekreasi dan interaksi sosial. Pantai yang biasa digunakan untuk berkumpul, bermain bola, atau memancing kini dianggap sebagai “zona abu-abu” tidak jelas boleh diakses atau tidak. Mereka juga menyoroti bahwa tidak ada papan informasi atau sosialisasi terkait batas proyek, sehingga muncul ketidakpastian.
Di beberapa titik seperti di Dusun Puntondo dan Boddia menunjukkan adanya aktivitas proyek seperti alat berat, patok pembatas, tumpukan material, dan papan nama perusahaan di wilayah pesisir. Observasi menjadi bukti penting bahwa perubahan ruang sudah terjadi dan berpotensi membatasi akses warga secara bertahap. Temuan ini memperjelas bahwa rasa aman dan kepastian ruang warga telah terganggu.