Aktivitas pertambangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi petaka bagi para nelayan. Sumber pencaharian mereka dari hasil laut, kini tak dapat diandalkan karena tercemar limbah pembuangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) perusahaan.
Kini nasib para nelayan yang bermukim di sekitar tambang nikel itu terkatung. Mereka harus melaut dengan menempuh jarak hingga 7 mil untuk dapat menangkap ikan. Sejak perusahaan nikel beroperasi di sana, lingkungan mereka juga berubah jadi tidak sehat.
Ikan-ikan dan lobster yang dipelihara dalam keramba milik nelayan yang tinggal di Dusun Kurisa, Kecamatan Bahodopi, Morowali misalnya, semuanya mati akibat limbah pembuangan PLTU IMIP yang beroperasi tak jauh dari pemukiman nelayan.
***
Sore itu, pada awal Februari lalu, saya dan beberapa kawan berkunjung di Dusun Kurisa, Kecamatan Bahodopi, Morowali – tempat pemukiman para nelayan yang tak jauh dari lokasi pembuangan limbah PLTU IMIP.
Saya bertemu dengan Awal, seorang nelayan yang menjadi korban limbah buangan. Limbah membuat ikan-ikan dan lobster yang dipelihara di keramba miliknya mati mengenaskan.
Dari atas rumah Awal, terlihat air laut yang sebagian sudah keruh menguning hingga ke sumber pembuangan limbah PLTU IMIP. Kapal-kapal tanker di tengah lautan juga banyak beroperasi di sana.

Awal sudah tinggal di Dusun Kurisa sejak masih berumur dua tahun. Sebelumnya, dia bersama keluarga tinggal di Pulau Langala. Pulau kecil di Desa Fatufia, Bahodopi.
Dia bersama keluarga dan nelayan lainnya dipindahkan dari Pulau Langala ke Kurisa karena pemerintah setempat ingin mengelola pulau itu jadi tempat wisata. Sekarang Pulau Langala berubah nama menjadi Pulau Alang-alang.
Setelah dipindahkan, Awal bersama dengan nelayan lainnya membangun pesisir itu yang kemudian diberi nama Kurisa, setelah dimekarkan.
Di Kurisa, rumah-rumah milik nelayan dibangun berderet di atas tanah timbunan berpasir. Sebagian lagi dibangun di atas air laut menggunakan kayu, macam rumah milik Awal.
Awal sudah menghabiskan separuh hidupnya sebagai nelayan. Dia belajar melaut dari mendiang ayahnya yang dulunya juga seorang nelayan. Kala itu, Awal masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Sekarang usia Awal sudah 37 tahun. Dia tinggal bersama empat orang anaknya di Kurisa. Istrinya sudah meninggal.
“Saya tidak ingat kapan dipindahkan ke sini [Kurisa]. Sudah lama,” kata Awal, disela perbincangan, Selasa, 6 Februari 2024 sambil mencoba mengingat kembali kapan pertama kali dia tinggal di Kurisa.
***
Awal mengatakan, sebelum perusahaan IMIP beroperasi di sana pada 2016 lalu, nelayan hidup dengan sumber ikan yang melimpah. Setiap hari mereka menangkap ikan di sekitar lingkungan rumahnya menggunakan pancing.
Pada saat itu, para nelayan yang tinggal di Kurisa bahkan sempat membuat keramba, tempat untuk budidaya ikan dan lobster. Keramba milik Awal dibikin di bawah kolong rumahnya sebagai sumber pokok penghidupan keluarga.
Tentu saja, kondisi air laut di Dusun Kurisa saat itu masih asri dan dipenuhi pohon-pohon bakau. Ikan-ikan dan karang di bawah air laut masih terlihat dari atas rumah Awal.
Tetapi cerita kebahagiaan para nelayan di Kurisa itu sudah sirna. Menurut Awal, kondisi di Kurisa berubah sejak PLTU IMIP beroperasi di sekitar lingkungan mereka sembilan tahun lalu. Membawa derita bagi nelayan.
Pernyataan Awal ini beralasan. Sebab saat pembuangan PLTU itu mulai dibuka, ikan-ikan dan lobster yang dipelihara nelayan di keramba semuanya mati mengenaskan. Termasuk punya Awal.
“Pas dia buka itu [pembuangan PLTU], paginya langsung mengapung semua [ikan],” jelas Awal sambil menunjuk-nunjuk air laut di bawah kolong rumahnya yang telah berubah warna itu.
Kejadian ini membuat dada Awal sesak. Dia yang penasaran dengan penyebab matinya semua peliharaan itu kemudian mencoba memeriksa.
“Setelah diperiksa, perutnya dibelah. Masak dagingnya di dalam. Langsung masak, baru berminyak-minyak kayak dari dalam air.”
“Kita celup saja tangan kita, kayak air mendidih panasnya,” Awal melanjutkan.

Awal bukan satu-satunya nelayan di Kurisa yang merugi karena kerambanya dicemari limbah buangan dari PLTU IMIP. Kondisi serupa juga dialami Yanti, warga asal Kota Luwuk Banggai, Sulteng. Yanti datang ke Morowali karena tuntutan hidup.
Sama dengan Awal. Yanti juga dipindahkan dari Pulau Langala ke Kurisa pada 1992.
Yanti juga adalah saksi perubahan Dusun Kurisa, yang awalnya air laut di tempat itu dipenuhi pohon bakau dengan sumber ikan yang melimpah kini berubah jadi coklat karena dampak limbah buangan.
Saat kondisi air laut di Kurisa belum tercemar, kata dia, anak-anak di sana saban hari ke laut berenang dan bermain.
Ketika berada di laut, mereka juga mencari hasil laut macam ikan, gurita, dan lobster. Menggunakan pancing, tombak, dan jaring pukat.
Nelayan yang memiliki keramba, hanya perlu menaruh pancing di kolong rumah, tempat ikan dipelihara.
“Dulu di sini [Kurisa] dia punya penghasilan masih bagus, karena karang-karang belum ini [rusak]. Dulu masih tergenang, biar ikan berenang di laut itu kita lihat,” kata perempuan yang tahun ini berusia 40 tahun.
Yanti mengenang Dusun Kurisa sebelum PLTU IMIP beroperasi di sana. Dia masih menggunakan air laut untuk mencuci keperluan rumah tangga.
“Sekarang tidak bisa. Biar cebok saja tidak, dulu kalau habis buang air pakai air laut itu,” kata Yanti.

Sebelum PLTU IMIP, ada PT Bintang Delapan Mineral atau BDM memang sudah lebih dulu beroperasi di sana. Dalam suatu laporan, meskipun perusahaan itu ditolak warga, namun pada akhirnya BDM tetap beroperasi di laut Fatufia. Pihak perusahaan dicurigai bernegosiasi dengan kepala desa dan aparatur lain di kantor camat, tanpa melibatkan warga pada 2013 lalu.
Saat masih PT BDM yang beroperasi, menurut Yanti, kehidupan nelayan di Kurisa belum banyak yang berubah. Nelayan macam Yanti dan Awal masih pelihara ikan dan lobster di keramba.
Ikan-ikan masih banyak terlihat di pinggir tubir, dan nelayan masih mencari gurita di laut dekat pemukiman mereka.
Berlimpahnya sumber ikan di Kurisa saat itu, membuat nelayan jadi penyuplai ikan segar ke perusahaan BDM. Almarhum suami Yanti misalnya, sebelum mangkat pada tahun 2016 lalu, dia menjual hasil tangkapnya ke BDM seharga Rp18.000 hingga Rp20.000 perkilo.
“Ikannya segar-segar tidak pernah takut orang mau beli ikan karena katanya ikan di sini baru datang dari laut,” kata dia.
***
Peristiwa matinya peliharaan para nelayan di Kurisa akibat dampak dari limbah buangan PLTU IMIP itu membuat nelayan geram.
Nelayan macam Awal yang merasa dirugikan kemudian berdemonstrasi bersama warga setempat. Mereka meminta tanggung jawab dari pihak perusahaan IMIP.
Di sini, Awal dapat ganti rugi Rp30 juta dari pihak perusahaan. Padahal, menurut Awal, bila dihitung secara keseluruhan, kerugian yang dialami saat itu dapat mencapai Rp70 juta.
“Karena saya bilang tidak memaksa, yang penting ada ganti ruginya,” kata dia.

Sementara Yanti, merugi hingga Rp40 juta karena ikan sebanyak 135 kilo ditambah dengan lobster yang dipelihara di dalam keramba semuanya mati.
“Yang pertama itu ada [ganti rugi] tapi yang kedua tidak ada mi.”
“Kita tidak tahu apakah ada atau tidak ada, karena kasihan kita ini orang bodoh, tidak tahu ini.”
Sejak saat itu, aktivitas budidaya yang dilakukan para nelayan macam Awal dan Yanti di Kurisa berhenti.
Pengaruh air laut yang panas bercampur lumpur akibat limbah buangan PLTU IMIP itu dalam sekejap membuat peliharaan nelayan mati.
“Ini air merah-merah, kan bercampur di situ dengan lumpur. Keluar semua dari sana [PLTU IMIP],” katanya. “Kan lumpur ini gatal.”
***
Kejadian macam air laut yang tercemar akibat aktivitas perusahaan tambang tak hanya terjadi di Dusun Kurisa.
Di Morowali, hal serupa juga dirasakan oleh nelayan yang tinggal di Desa Bete-bete, Kecamatan Bungku Selatan. Suatu desa yang banyak dihuni oleh suku Bungku dan Bajo.

Di tempat itu, aktivitas eksplorasi suatu perusahaan di hutan pegunungan diduga jadi penyebab air laut di Bete-bete berubah warna jadi kuning kemerahan.
Kondisi ini memaksa nelayan di sana harus melaut jauh karena lingkungan mereka yang semula dijadikan tempat menangkap ikan, kini tak dapat diandalkan lagi.
Siang itu, saya bertemu dengan Sawaluddin, seorang nelayan berusia 47 tahun di Bete-bete pada awal Februari lalu. Saat itu, dia baru saja pulang dari laut usai menangkap ikan.
Dia tampak sibuk mencari sesuatu untuk memperbaiki mesin perahunya yang rusak. Pakaian yang dikenakan Sawal masih setengah basah.
Belum tengah hari, Sawal memutuskan pulang ke rumahnya di Bete-bete yang dibangun di atas air laut berwarna kuning kemerahan.
Di tangannya ada dua ekor ikan hasil tangkapan dari laut.
“Mancing ikan lajang, tapi rusak mesin makanya balik,” kata Sawal saat kami menyapanya, Kamis, 8 Februari 2024.
Hari itu, jika bukan persoalan mesin perahu yang rusak, Sawal masih akan melanjutkan perjalanannya untuk menangkap ikan.
“Iya, harusnya masih jauh keluar,” kata dia. “Biasa ikannya bisa anu, saya bisa dapat lima kilo. Sudah jauh keluar pergi menangkap itu.”

Sawal bilang kondisi air laut di Bete-bete sudah berubah warna jadi kemerahan sejak perusahaan itu mengeksplorasi pegunungan pada 2010 silam.
Namun, kondisi terparah yang dialami nelayan di tempat itu terjadi dua hingga tiga tahun belakangan ini.
Sebab material eksplorasi perusahaan hanyut sampai ke pemukiman nelayan di Bete-bete melalui anak-anak sungai. Membuat air laut berubah jadi kemerahan.
Sebelumnya, kata dia, air laut di Bete-bete yang merah itu akan kembali jernih jika musim hujan tiba. Hujan menghanyutkan material-material dari aktivitas tambang tersebut.
“Parah-parahnya itu beberapa tahun terakhir ini, pokoknya yang sudah tidak bisa. Hujan begitu tetap [merah],” ujar Sawal.
“Kita juga yang mau mandi-mandi ke sungai, tidak bisa mi.”
Dampak aktivitas eksplorasi itu tak hanya dikeluhkan oleh Sawal saja. Begitu juga dengan Haslan, nelayan di Bete-bete yang sudah mulai khawatir.
“Ikannya warga di Keramba kadang mati. Kalau sudah terlalu keruh mati lagi, gara-gara bahan kimia itu.”
Haslan adalah warga asli Ternate, Maluku Utara. Dia sudah tinggal di Bete-bete sejak lima tahun belakangan ini bersama tiga orang anak dan istrinya sebagai nelayan pancing.
Haslan dan Sawal selalu didekap kecemasan karena harus melaut jauh untuk dapat menangkap ikan. Itu karena lingkungannya sudah tercemar.
“Tidak ada yang mau mandi air laut sekarang,” kata Haslan.
“Nelayan kasihan, sudah jauh tempatnya mencari.”

Ketika musim timur tiba, kata pria berusia 34 tahun itu, nelayan di Bete-bete akan berpikir keras jika ingin berangkat ke tengah laut menangkap ikan. Sebab perahu yang mereka gunakan selama ini hanya perahu kecil.
“Siapa yang berani. Kalau begini sama halnya kita mau pergi bunuh diri.”
Sawal sendiri, tak dapat memastikan berapa jauh jarak yang ditempuh ketika berangkat menangkap ikan. Di tengah laut, dia juga mesti hati-hati karena jangan sampai disambar kapal besar.
“Kalau lima liter bensin tidak habis karena kita kondisikan dengan body kapal. Karena bodynya tidak bisa terlalu jauh.”
“Lebih banyak pengeluaran memang,” Sawal tertawa.
***
Kondisi telah berubah. Jangankan menangkap ikan di pinggir tubir, melihatnya saja sekarang sudah mustahil.
Di Kurisa nelayan sudah tidak lagi menangkap ikan dengan pukat di sekitar lingkungan mereka karena air laut yang tercemar limbah. Dalam sekejap menghancurkan pukat yang digunakan nelayan.
“Ikan-ikan juga ini tidak terlalu sehat di situ, orang takut makan.” kata Yanti.
Sama dengan keadaan di Bete-bete. Hidup sebagai nelayan di Kurisa harus tegar menghadapi mara bahaya ketika berangkat ke tengah laut menangkap ikan.
Pada 2023 lalu, kata Awal, nelayan kembali demo menuntut pihak perusahaan memberikan perahu fiber untuk setiap kepala keluarga di Kurisa. Jumlah kepala keluarga saat itu, sekitar 300-an.
Nelayan ingin menangkap ikan di laut, jauh dari lingkungan mereka yang sudah tercemar. Tetapi tetap saja, tuntutan itu tak dipenuhi dan membuat nelayan tetap menderita.
“Belum ada sama sekali dapat perahu,” suara Awal terdengar pelan.
“Tuntutan nelayan di sini itu [perahu] dan air bersih.”

Persoalannya ternyata tak cuma di situ. Mereka yang hidup berdampingan dengan perusahaan tambang juga was-was dengan asap pembuangan batu bara dari perusahaan yang dapat mengganggu kesehatan.
Di Kurisa, bau busuk macam limbah, debu, dan batu bara akan sangat menyengat hidung setelah lokasi itu habis diguyur hujan.
Yanti sudah hafal kelakuan buruk perusahaan. Setiap pagi, jika sedang membersihkan rumah, dia selalu mendapati telapak kakinya menghitam karena menginjak debu batu bara yang dibuang perusahaan.
Perusahaan membuang asap itu saat tengah malam, sebab jika dilakukan pada siang hari akan ketahuan warga.
“Jadi kalau tengah malam jam 12 sampai jam 1 huuh busuknya. Tengah malam kalau mau lihat, kabut sudah itu di atas [langit],” Yanti menggerutu.
Dalam kondisi itu, kata dia, nelayan yang tinggal di sekitar tambang harus cepat menutup makanan yang ada di dalam rumah.
Agar makanan itu tidak bercampur dengan material yang dibuang perusahaan.
“Tidak bisa juga kita biarkan makanan terbuka begini, harus ditutup.”
Nelayan yang sudah terlanjur sakit akan mengalami gejala.
“Batuk. Kalau terlanjur batuk, lama itu baru sembuh.”
“Tapi biasanya juga panas orang, demam, dan sakit tulang-tulang.”
Sehari setelah bertemu dengan para nelayan, saya dan kawan-kawan pun mendatangi sumber pembuangan limbah PLTU IMIP yang disebut-sebut sebagai biang masalah nelayan di Kurisa.
Lokasi pembuangan limbah ini tak jauh dengan Dusun Kurisa, tempat pemukiman para nelayan. Kawasannya bersebelahan.
Di pelataran parkir dekat dari Klinik IMIP, air bekas pembuangan limbah PLTU itu mengalir deras di bawah jembatan menuju laut lepas dekat pemukiman nelayan di Kurisa.
Sekilas air itu terlihat berwarna biru kehitaman dengan hawa panas di atasnya. Di seberang jembatan juga ada tumpukan batu bara di bawah bangunan besi beratap seng macam kanopi.


Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan, rusaknya lingkungan di Morowali, Sulteng karena kawasan itu adalah wilayah yang dikorbankan atau sacrifice oleh regulasi pemerintah.
“Kita mau bilang ini daerah yang dikorbankanlah. Hanya itu penjelasannya. Kan dealnya pusat, lewat minerba, lewat omnibus pusat. Proyek pusat,” kata Ashov.
Menurutnya, pemerintah kerap membuat narasi bahwa proyek transisi energi seperti di Morowali itu akan mendatangkan nilai tambah macam sewa, upah dan bunga. Tetapi disaat yang bersamaan, kata Ashov, banyak hal lain yang juga dikorbankan.
“Ya sacrifice, pengorbanan. Jauh dari setara, untuk ekstraksi dari kerusakan yang di tracing, polusinya tidak diekstrak [pisahkan]. Apa lagi yang mau kita bilang kalau bukan dikorbankan?.”
“Ya dikorbankan, untuk sesuatu yang dipatahkan juga dalam konteks, emang negara dapat apa?,” katanya “Dikorbankan untuk transisi.”
“Maksud gue cerita dikorbankan adalah soal relasi diproduksi di mana? Konsumsi di mana?”.

Bollo.id telah berusaha menghubungi Kepala Divisi Media Relation PT IMIP, Dedy Kurniawan untuk meminta tanggapan kejadian ini, tetapi belum mendapat respons.
Bollo.id juga telah mengirimkan surat permohonan wawancara secara resmi kepada Dedy Kurniawan. Surat itu dikirim pada 16 Agustus 2024 lalu, tapi tetap tak mendapat balasan hingga laporan ini diterbitkan.

***
Sebelum menjadi nelayan, Sawal dulunya bekerja di kebun. Dia bersama dengan warga di Bete-bete membuka lahan di pegunungan, menanam cengkeh, merica, dan jambu mete.
Sawal mengaku, lahan yang dieksplorasi perusahaan adalah miliknya. Persis seperti warga lainnya, yang lahannya juga dirampas pihak perusahaan.
“Ada dulu kita buka [lahan] di gunung tambah daerah tambang itu. Tapi sebelum itu [tambang] memang kita duluan [di situ],” kata dia.
Dalam beberapa kejadian, saat awal-awal pihak perusahaan melakukan eksplorasi di lokasi itu, kata Sawal, mereka akan pamit kepada warga yang berkebun di sana.
“Biasa dorang kasih lewat saja dulu alatnya eksplorasi, tarik dia punya doser. Dia pamit ke kebunnya warga.”
Dari sini, pihak perusahaan kemudian merampas lahan yang dikelola warga. Termasuk milik Sawal.
Semua tanaman warga dibabat habis tanpa ada ganti rugi. Peristiwa ini terjadi tiga tahun lalu.
“Mana ada diganti, tidak ada. Habis dibabat,” jelas Sawal.
Warga yang tak terima kemudian protes dengan berdemo, tetapi tak berhasil.
Mereka justru dibenturkan dengan polisi. Sejumlah warga yang terlibat dalam aksi protes tersebut ditangkap.
“Banyak yang ditangkap. Warga, Ketua BPD, kepala desa, anggota BPD.”
“Dipanggil ke sana, dikira mau apa, padahal langsung masuk [penjara]. Orang sini [Bete-bete] yang pergi sana, sampai sana diproses, bersalah. Masuk tidak pulang-pulang,” jelas Sawal.
Padahal saat berdemo, menurut Sawal, tak ada sesuatu hal yang dapat dijadikan sebagai dasar penangkapan terhadap warga.
“Tak ada yang dirusak. Orang perusahaan juga tidak ada yang luka. Tidak ada.”
Kejadian penangkapan itu membuat warga ketakutan. Mereka sudah tidak ada lagi yang berani berkebun sejak saat itu.
“Jadi yang berkebun di atas tinggalkan semua,” kata Sawal.
Pada suatu kejadian, Sawal bersaksi, melihat petugas gabungan dari Satpol PP, Babinsa berkeliaran di tempat itu. Dari atas gunung, ia melihat mereka membakar semua pondok-pondok warga, yang ada diratakan.
“Habis itu pondok-pondok di atas yang di pinggir jalan, disenso tebang. Diratakan. Merica itu diratakan.”
“Kita dulu itu kayak orang perang karena saya lihat dengan mata sendiri. Bakar-bakar, ngeri-ngeri, saya sementara di atas gunung lihat mereka. Yang bakar [anggota] polisi dan tentara.”
Dari kejadian ini, Sawal bersama dengan warga lainnya pun memilih jadi nelayan di Bete-Bete.
Namun, aktivitas eksplorasi perusahaan itu lagi-lagi membawa penderitaan bagi nelayan di Bete-bete. Sawal dan Haslan misalnya, sekarang harus melaut jauh untuk menangkap ikan.

Empat tahun lalu merupakan terakhir kalinya Sawal menangkap ikan di pinggiran laut sekitar pemukiman Bete-bete dengan mendayung perahu.
“Dulu [ikan] cakalang sama tuna masuk ke sini. Sekarang tidak.”
“Kalau memang penghasilan, cukuplah. Sampai lima kilo dulu.”
***
Saat berkunjung di Kurisa awal Februari lalu, beberapa perempuan nelayan yang saya temui di sana sudah ada yang beralih profesi untuk bertahan hidup.
Ada yang bekerja jadi pemulung barang-barang bekas seperti botol minuman, besi rongsokan untuk dijual dan ditukar jadi uang. Kondisi macam ini dialami oleh Mariana, 35 tahun, Ika 29 tahun dan Yanti.
“Iya, untuk bantu-bantu suami,” kata Mariana.
Yanti sendiri juga sudah tak jadi nelayan. Saat bertemu, dia sibuk-sibuknya merakit sejumlah plastik untuk dijadikan wadah es batu.

Tentu saja, aktivitas macam ini dia tekuni sejak kondisi laut di Kurisa sudah tidak dapat dijadikan tempat mencari ikan lagi.
Jika dalam kondisi lagi tidak sibuk-sibuknya, Yanti akan menjual makanan seperti nasi kuning dan pisang ijo di sekitar lingkungannya untuk menambal kebutuhan keluarga.
“Karena apa mau dicari? Laut sudah panas, tidak ada ikan,” keluhnya.
“Yang ini [PLTU IMIP] beberapa tahun terakhir ini, beginilah sudah kehidupannya kami kasihan,” Yanti mengeluh sambil mencoba menenangkan anaknya yang menangis di pangkuannya.
Mereka yang masih bertahan sebagai nelayan di Kurisa akan hidup dalam ketidakpastian.
Kondisi air laut yang sudah tercemar membuat Awal harus melaut hingga menempuh jarak 7 mil dari rumahnya menggunakan perahu kecil.
Di tengah laut, Awal akan bertaruh hidup menghadapi berbagai bahaya macam terjangan ombak besar, yang kapan saja dapat memangsanya saat pergi menangkap ikan.
Awal sendiri biasanya memancing ikan di tengah laut pada malam hari. Dia berangkat pukul 5 sore dan balik ke rumah pukul 7 pagi.
Nelayan yang menempuh hal ini tak sedikit yang mengalami kerugian, karena ketika mereka berangkat menangkap ikan, mereka harus mengeluarkan ongkos besar.
Biaya yang disediakan Awal biasanya ketika sekali berangkat memancing Rp150.000 untuk kebutuhan bahan bakar dan bekal makanan selama berada di laut.
Sementara ikan yang berhasil dibawa pulang selama ini juga sedikit. Bahkan jika dalam kondisi lagi sial, Awal akan pulang dengan tangan kosong.
“Makanya itu istilahnya buang rugi terus,” kata Awal.
“Kalau sekarang susah. Tiga kilo, dua kilo kalau dapat kasihan. Tetap ada, cuma tidak banyak. Tidak seperti dulu.” kata Yanti.
“Dulu kalau orang memancing di malam hari, sampai 30 kilo atau 40 kilo satu malam pakai rawai.”
***
Hari demi hari telah mereka lalui. Sekarang mungkin mereka masih bertahan, namun kedepannya belum tentu.
Haslan sendiri sudah punya rencana mencari tempat yang baru agar dapat melanjutkan hidup.
“Saya mau mengantisipasi memang. Cari tempat lain yang jauh dari sini, di daerah saya sendiri.”
Sementara Sawal, berencana pindah ke tempat istrinya. “Di belakang rumah itu tambang juga, sebelum Bahodopi.”
Awal masih bertahan sebagai nelayan karena nenek moyangnya adalah nelayan. Di Kurisa, tempat dia tinggal, dihuni oleh suku Bajo dan Buton yang dikenal sebagai orang laut.
“Dulu kan sebelum tinggal di rumah begini, masih tinggal di perahu-perahu. Makanya tidak bisa lepas ini nelayan.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Editor: Sahrul Ramadan
[…] Baca selengkapnya… […]