Ini bukan kisah seorang pahlawan. “Panggil aku Samsir saja."
Samsir Mohammad/Bilven/Bandungbergerak.id
/

Petani Tua dari Lereng Burangrang

Ini bukan kisah seorang pahlawan. “Panggil aku Samsir saja."

Di masa tua, ia memilih menyingkir ke lereng Burangrang. Sesekali ia turun gunung untuk menyapa zaman dan memberi petuah politik.

Ini bukan kisah seorang pahlawan. Ia hanya seorang prajurit yang berusaha tetap lurus, meski para pemimpinnya ingkar terhadap cita-cita perjuangan kemerdekaan. Semula cita-cita itu adalah melindungi dan mencerdaskan segenap bangsa Indonesia.

“Panggil aku Samsir saja,” kata lelaki tua itu ketika seorang anak muda menyapanya. “Ini memang terdengar aneh, tapi kita harus membiasakan bersikap egaliter.” Sore itu hujan membasahi tembok-tembok Ultimus, toko buku yang pernah dituding memfasilitasi aktivisme kaum sosialis. Di sana, biasanya Samsir membunuh waktu. Samsir suka sekali ngobrol. Siang atau malam, asalkan tersedia kopi aroma hitam kental dan rokok kretek.

Tubuhnya ringkih, berkacamata bulat tebal, sebagian rambutnya sudah rontok di bagian depan. Sering tampil dengan kemeja, lengkap dengan ikat pinggang dan celana katun. Tongkat setinggi pinggangnya setia menyanggah kedua kakinya yang merapuh.

Untuk ukuran orang yang berusia 81 tahun, dia tergolong kuat. Pergi kemana-mana sendiri menggunakan kendaraan umum. Keluhan penyakitnya hanya satu, nyeri otot di pangkal paha.

Samsir Muhammad, seorang aktivis kemerdekaan. Ia pernah duduk di Konstituante dan MPRS merancang Undang-Undang Negara Indonesia, sebelum kemudian disingkirkan oleh Soekarno. Setelah kekuatan politiknya sirna, Samsir menyusuri sunyi dari penjara ke penjara dan terakhir dibuang Soeharto ke Pulau Buru.

Samsir dibuang setelah pecah konflik politik di tahun 1965, yang acap disebut Gerakan 30 September (G30S). Ia dianggap berdosa lantaran aktivitasnya di dalam tubuh Barisan Tani Indonesia, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Saya tidak akan menuntut atas apa yang saya alami,” katanya lirih. “Saya terjun ke dalam pergolakan proklamasi dan ambil bagian mengangkat senjata melawan Belanda untuk sebuah Indonesia yang berdaulat seperti yang diamanatkan UUD 45 dan tidak berhasil. Kalau berhasil kan tidak begini Indonesia. Ini adalah konsekuensi dari proses yang dikelirukan oleh para pemimpin.”

***

Di lereng gunung Burangrang, utara kota Cimahi, Samsir tinggal. Keadaan sekeliling terlihat asri. Ada jalan setapak menuju rumahnya, sekira 500 meter dari jalan raya. “Saya ini homeless ‘tunawisma’, kamu gak tahu ya? Sungai Cikapundung aja tau kalo saya homeless,” guraunya. Rumah itu milik seorang teman Samsir yang telah meninggal dunia. Ukurannya hampir sama dengan tipe 36 perumahan umum. Ventilasinya minim.

Sebuah kamar ukuran 2 x 3 meter didiami Samsir. Ada banyak buku di sana dan sebuah mesin tik manual di meja tuanya. Suara duet Dewi Yul dan Broery Pesolima mengisi ruangan itu. “Di sini airnya jernih ya, Bung,” kata saya, sekadar membuka percakapan.

“Iya, tapi harus beli,” jawabnya.

Lho ini kan lereng gunung?” lanjut saya.

“Kamu lupa ya di negara mana kamu hidup. Padahal dalam undang-Undang Dasar, sudah jelas. Kau baca pasal 33. Makanya pelajari lah undang-undang 45 itu.”

Samsir adalah benih tunggal dari pasangan yang menikah karena tuntutan adat Bukit Tinggi. Ia lahir di Kampung Sungai Puar pada 30 Mei 1926. Ibunya bernama Sadian. Ayahnya bernama Muhammad. Pasangan ini menikah karena dijodohkan oleh orang tua. Samsir tidak pernah tahu apa pekerjaan ayahnya, sebab, ketika ia berumur 3 tahun, orang tuanya bercerai dan Samsir dibawa oleh sang ibu ke tanah Jawa. Sadian lantas menikah lagi dengan Beram Sutan Rumah Panjang, seorang antiekereij (ahli barang-barang antik).

Dialah sosok ayah yang Samsir kenal. Mereka tinggal di Bandung. Lalu pindah ke Jakarta, pindah lagi ke Bandung dan menetap hingga kini. Dari Beram, Sadian memiliki dua orang anak laki-laki dan perempuan bernama Muchlis dan Tuti. Muchlis sangat mengidolakan Samsir. Kemana Samsir pergi, diam-diam Muchlis mengikutinya. Ia sangat ingin menjadi seperti kakaknya. Sedangkan Tuti difabel fisik dan mental sejak lahir. Kelak, ketika Samsir dibuang ke Pulau Buru, Muhclis sangat tertekan. Mentalnya kacau, sehingga ibunya terpaksa mengirimya ke Rumah sakit Jiwa di Cimahi. Samsir kecil mengenal pendidikan formal di Holands Indlansche School (HIS) di Bandung. Sekolah tingkat dasar yang didirikan tahun 1914 oleh pemerintah kolonial untuk pribumi.

Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan dan bahasa Belanda. Samsir sering pindah-pindah sekolah jika tak senang dengan gurunya. Ia tak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Tapi pernah mendapat ajaran pesantren di Tasikmalaya.

“Saat itu, bala tentara Jepang berhasil menaklukan pemerintah Belanda, dan berbuat lebih kejam kepada rakyat. Itulah sebabnya saya tidak mau disekolahkan di sekolah yang diadakan oleh Jepang.”

Samsir mulai mengendus politik ketika usianya 17 tahun. Ia sering bertandang ke pertemuan-pertemuan partai politik. Saat itu Soekarno sedang gencar-gencarnya melakukan penyadaran politik anti kolonial kepada pribumi melalui Partai Nasional Indonesia (PNI). Samsir diam-diam berada di antara orang-orang itu dan menyimak pidato-pidato Soekarno, seorang aktivis pergerakan yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Keyakinannya melawan kolonialisme, diperkukuh oleh wejangan-wejangan sang ibu.

“Raja adil, raja disembah, raja lalim, raja disanggah,” demikian kata sang ibu yang dituturkan kembali oleh Samsir.

Kesadaran para pemuda untuk memerdekakan diri dari penjajahan saat itu sudah mengalir deras. Organisasi-organisasi pelajar seperti Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) dan PPP (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) bersatu dan terbentuklah asrama Menteng 31 pada penghujung tahun 1942.

Para penggeraknya yakni Sukarni, Chaerul Saleh, A.M Hanafi, Ismail Wijaya, Soekarno, Moch.Hatta, Muhammad Yamin, Iwa Kusumasumantri, Amir Syarifudin dan Moch. Djembek. Dari pihak Jepang yang membantu adalah Prof. Beki H Shimizu. Mereka melakukan agitasi, memberi masyarakat pelajaran-pelajaran politik dan agama. Dari kawasan Menteng inilah sperma proklamasi mengkristal.

Meski hanya berumur satu tahun, tetapi gerakan ini banyak memberi perubahan dan penyadaran terhadap kaum muda. Samsir salah satu pemuda itu. Samsir gemar membaca buku. Saat itu peredaran buku di tanah air sangat bebas. Pemerintah kolonial tidak membatasi apalagi melarang peredaran buku-buku apapun. Sejak di sekolah dasar, murid-murid pribumi diwajibkan mengunjungi perpustakaan oleh guru-guru dari Belanda. Das Kapital karangan Karl Marx misalnya, Samsir temukan di museum.

Banyak cara mendapatkan buku. Pekerjaan ayah yang seorang ahli barang antik itu, sangat menguntungkan Samsir. Sang ayah, biasa membeli perabotan orang-orang Belanda yang akan pulang ke negerinya setelah berpuluh-puluh tahun hidup di Indonesia. Nah, di antara barang-barang itu, buku termasuk barang yang dijual. Namun, Samsir tangkas mengamankan buku-buku itu sebelum dijual lagi oleh sang ayah.

***

Proklamasi tinggal menanti hari. Sejumlah tokoh pemuda merumuskan dan memandatkan pembacaan proklamasi kepada Soekarno dan Hatta. Samsir pengangum dua tokoh ini. Bersama pemuda lainnya, ia terus mendesak proklamasi. Kepercayaan lalu berubah menjadi kekecewaan ketika Soekarno dan Hatta sebagai presiden Republik Indonesia dan wakilnya berkompromi dengan Belanda. Perjanjian itu disebut dengan perjanjian Linggarjati. Ditandatangani 1946, satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Semua partai mendukung keputusan Soekarno dan Hatta termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). “Dua tokoh itu pantas dihargai dan dihormati atas perjuangannya melawan kolonial. Tapi rupanya mereka tergelincir justru pada saat memegang kekuasan,” kata Samsir.

Perjanjian ini dinilai mengkhianati proklamasi. Bagi Samsir, proklamasi bukan hanya memerdekaan Jawa, Madura dan Sumatera seperti yang disepakati dalam perjanjian Linggarjati. Proklamasi itu adalah kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah oleh Belanda. Dari kekecewaan itu, lahirlah sebuah kelompok dimana Samsir bergabung. Kelompok itu awalnya bernama Laskar Rakyat Jakarta Raya. Lalu berganti nama menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat yang berpusat di Cirebon. Chaerul Saleh yang nantinya menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) termasuk dalam kelompok ini. Kelompok ini mempublikasikan sebuah media yang terbit setiap minggu, bernama Godam Jelata. Salah satu artikel yang dimuatnya berjudul “Anti Linggarjati sampai Mati.

Soekarno rupanya tidak senang. Mereka dijadikan target operasi penangkapan. Mereka tetap utuh menjadi kelompok yang menentang Linggarjati. Lari ke gunung dan hutan-hutan di Jawa Barat menghindari sergapan pasukan Soekarno. Ternyata Belanda ingkar terhadap perjanjian itu dengan melakukan agresi militer. Lagi-lagi Soekarno dan Hatta melakukan kompromi melalui perjanjian Renville. Berbeda dengan Linggarjati yang menimbulkan pro dan kontra, perjanjian Renville umumnya ditentang oleh rakyat Indonesia dan partai-partai politik. PNI dan partai Masyumi tegas menolak perjanjian itu.

Anti Renville memicu keras terbentuknya Negara Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Kartosuwirjo, pentolan Masyumi. Januari 1948, lebih dari seratus orang perwakilan organisasi Islam yang ada di Jawa Barat mengadakan konferensi di Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Mereka melihat kekosongan kekuasaan di wilayah itu. Kasman, komandan teritorial Sabilillah, mempertimbangkan kekuatan besar antara blok Barat dan blok Timur.

Kasman mengusulkan pendirian Negara Islam. “Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya. Karena itu kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam. Berdirinya negara Islam akan menyelamatkan negeri ini,” kata Kasman, sebagaimana dikutip Kholid O Santosa dalam bukunya Jejak-Jejak Sang Pejuang Pemberontak. Pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta, sudah semakin gawat. Belanda menundukkan kota itu hanya dalam waktu enam jam saja. Soekarno dan Hatta ditangkap lalu dibuang ke Bangka.

Agar terhindar dari kekosongan kekuasaan, Soekarno dan Hatta memberi perintah kepada Menteri Kemakmuran, Sjarifuddin Prawiranegara, untuk membentuk pemerintahan di Sumatera. Berdirilah kemudian Pemerintah Darurat Revolusi Indonesia (PDRI). Melihat kondisi kacau ini, Kartosoewirjo menyerukan perang suci melawan Belanda kepada seluruh umat Islam Indonesia.

Rakyat bangkit melawan Belanda, seperti yang terjadi di Jawa Barat. Mereka berkelompok di hutan hutan dan desa-desa. Seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Laskar Tanah Merah, Laskar Wanita Indonesia atau Laswi yang kini dijadikan nama sebuah jalan di kota Bandung. “Rakyat di Bandung, berbondong bondong mengungsi ke arah selatan kota. Mereka meninggalkan rumah dan harta bendanya karena tak sudi diam di tempat yang sudah dikuasai Belanda.”

“Itulah pengorbanan rakyat, yang tak pernah dihargai oleh para pemimpinnya. Siapa yang mengingat pengorbanan mereka?” ujar Samsir. “Dan melupakan mereka adalah sebuah dosa.”

Di mana Samsir saat itu? Ia bergabung dengan TNI, dan diangkat menjadi kepala staf divisi Bambu Runcing. Ia bergerilya di pedalaman hutan Jawa Barat. Ketika lari ke Garut, Samsir bertemu dengan seorang gadis bernama Rosmiati yang kelak menjadi istrinya.

Pertemuan ini berawal dari penyamaran Samsir di rumah orang tua Rosmiati. Samsir berpura-pura menjadi pengungsi yang kehilangan orang tuanya. Samsir terpaksa berlindung di rumah warga, karena menderita demam tinggi. Saat itu, siapa saja yang ketahuan menyembunyikan anggota TNI, terancam dibunuh oleh serdadu Belanda. Samsir sekuat tenaga menyusun skenario, agar sandiwaranya berjalan mulus hingga badannya pulih dari demam. Tapi, sandiwara Samsir gagal sebelum usai.

Rosmiati menemukan dokumen-dokumen soal pengangkatan Samsir sebagai perwira TNI di bawah lipatan kasur tempat Samsir berbaring. “Sedang cari orang tua ya,” tanya Rosmiati kepada Samsir, menyindir. Samsir mengangguk gugup, sambil memastikan apa maksud pertanyaan gadis itu. Rosmiati memperlihatkan dokumen itu, tanpa perkataan lebih lanjut.

“Tolong jangan bocorkan hal kepada siapapun. Aku tak ingin keluargamu mendapat susah gara-gara keberadaanku.”

Rosmiati hanya berlalu.

Tapi gadis itu benar-benar menjaganya. Kejadian itu awal dari berseminya kecambah-kecambah cinta di antara mereka. Pertemuan selanjutnya terjadi di Bandung, namun kedua orang tua mereka tak merestui hubungan itu. Diam-diam, mereka sering melakukan pertemuan.

Orang tua si perempuan mengetahui hubungan mereka. Rosmiati dipindahkan dari Univesitas Padjajaran ke Universitas Indonesia di Jakarta. Padahal Rosmiati harus menyelesaikan dua studi, hukum dan ekonomi. Ketika mengetahui Samsir juga dipindah tugaskan ke Jakarta, Rosmiati dipindahkan lagi ke Bandung. Delapan tahun menjalin hubungan rahasia, akhirnya pasangan ini bisa menikah atas restu orang tua.

“Kalau kau bersedia menikah denganku, kau harus siap miskin!” kata Samsir kepada gadis itu. Lalu gadis itu menjawab, “Makan singkong juga hidup.”

***

“Aku maunya jadi TNI bukan tentara RIS,” kata Samsir kepada Chaerul Saleh. Ketika itu pasukan TNI disarankan bergabung dengan tentara RIS atau Republik Indonesia Serikat. Dalam Konferensi Meja Bundar, pihak Indonesia menyepakati pembentukan RIS.

Samsir menanggalkan semua lencana TNI demi pendiriannya yang tak sudi mengakui negara RIS. Sedangkan teman-temannya bergabung dengan tentara RIS. Samsir manfaatkan masa vakum dalam pemerintahan untuk mengorganisasikan kaum tani. Ia mendirikan Sarikat Tani Indonesia atau Sakti, bersama Burhan, Sidiq Kertapati, Soedjono, Sasongko dan Abdul Salam. Markasnya di Cisarua.

Awalnya organisasi ini bersebrangan dengan Barisan Tani Indonesia atau BTI, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI mempunyai tujuan nasionalisasi tanah, sedangkan Sakti tujuannya mengadakan tanah untuk kaum tani. Namun, belakangan BTI mengubah haluan organisasinya dengan apa yang diperjuangkan oleh Sakti. Keputusan ini setelah pemimpin PKI, D.N Aidit mengeluarkan pernyataan yang berjudul Hari Depan Gerakan Tani. Kedua oraganisasi ini melebur dalam satu bendera BTI.

Ada pengalaman menarik. Waktu itu tahun 1962. Samsir mendapat undangan dari organisasi tani Kuba untuk hadir pada sebuah pertemuan. Samsir sudah menjabat sebagai Sekretaris umum BTI. Dari Jakarta pesawat membawa Samsir ke Praha. Di sana ia harus menunggu pesawat yang terbang ke Havana.

Samsir tak pegang uang satu dolar pun. Ketika tiba di Havana, ia diboyong ke hotel Leviera, sebuah hotel yang berdiri di tepi pantai. Tak tahan ingin merokok, ia memungut puntung dari tong sampah yang biasanya berdiri depan lift. Malam kedua, seseorang mengejutkannya pada tengah malam buta.

“Che bisa bertemu malam ini,” ujar panitia itu dalam bahasa Inggris.

Saat itu Che Guevara menjabat sebagai menteri pembangunan. Samsir dan semua peserta pertemuan, bergegas menuju gedung yang disiapkan untuk pertemuan. Dari arah pintu aula yang membelakangi forum, Che muncul dengan baju militer dan pistol di pinggangnya. Sehelai handuk kecil sengaja dilipat di pundaknya.

“Dia memang gagah sekali. Sebelum menyapa kami, dia mencuci mukanya di westafel di samping pintu,” kata Samsir mengenang.

“Selamat pagi,” sapa Che.

“Revolusi Kuba adalah revolusi rakyat,” kata-kata pertama Che di depan forum dalam bahasa Spanyol. Samsir mengisahkannya kembali.

“Ketika masih bertempur dengan Batista, apa yang paling diperlukan?” tanya Samsir kepada Che dalam bahasa Spanyol campur Inggris.

Che terbahak dan menjawab singkat dalam bahasa Spanyol. “Sapatos,” katanya.

Dalam bahasa Indonesia berarti sepatu.

“Meski pegang senjata, tanpa bersepatu kakimu akan tertusuk pohon tebu dan tidak akan bisa menembak,” ujar Che. Samsir tertawa mengenangnya.

“Saya kira jawabannya sesuatu yang bersifat ideologis, eh… ternyata sepatu.”

Kuba adalah daerah monokultur. Sebagian besar lahan perkebunannya ditanami tebu. Samsir bertanya lagi. “Kenapa di Kuba orang bebas pegang senjata. Apakah tidak khawatir timbul kerusuhan?”

“Kekhawatiran itu hanya ada di kepala borjuis,” jawab Che.

“Jika hanya tentara yang memegang senjata, maka jika tentara besar kepala, rakyat tak bisa apa-apa. Tapi jika rakyat pegang senjata, rakyat akan mengecilkan kepala tentara yang besar kepala.”

Saat berpisah, Che membagi-bagikan cerutu kepada semua peserta pertemuan dan berkata: “Teman-teman, rakyat akan menang.”

Samsir sangat senang menerima cerutu itu, apalagi sudah beberapa hari tak merokok. Sebelum ke Kuba, Samsir hadir dalam konferensi perdamaian Asia Pasifik di Tiongkok. Di sana Mao Tze Tung berkata kepada Samsir bahwa tani itu sangat penting. Lalu Samsir diundang dalam perayaan revolusi Oktober di Moskow. Stalin menjadi bintang dalam perayaan itu. Masa itu, PKI sedang berjaya di bawah pimpinan Aidit. PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok dan Partai Komunis Uni Soviet.

Samsir Mohammad/Konstituante.net

BTI sebagai salah satu organisasi di bawah naungan PKI, memegang peranan penting dalam soal pengaturan kepemilikan tanah dan pertanian. Mewakili BTI, Samsir duduk di Konstituante, lembaga yang bertujuan merumuskan Undang-Undang Negara Indonesia.

Ia ditunjuk sebagai salah satu perumus Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Ada 11 orang dalam tim ini yang mewakili organisasi tani plus perwakilan dari Departemen Agraria.

“Rujukan UUPA adalah UUD 1945 pasal 33, di mana amat jelas bahwa negara itu bukan pemilik tanah dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, tapi negara menguasai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Samsir.

Dalam undang-undang itu batas kepemilikan tanah sawah lima hektar. Lebih dari itu kelebihannya diambil oleh negara dan dibagikan kepada petani miskin. Sosialisasi undang-undang ini disusul dengan pembentukan pengadilan Land Reform [reforma agraria] di setiap daerah.

“Aku juga bodoh, ketika undang-undang itu dibuat, tidak berpikir bagaimana dan siapa yang akan menjalankan.”

“Karena kalau melimpahkan tugas itu kepada pemerintah daerah, sama saja bohong. Pemerintah daerah kebanyakan adalah para pemilik tanah. Tentu mereka tak ingin kehilangan tanahnya.”

“Baru kepikiran sekarang,” katanya.

***

Ketika pagi merenggut malam 30 September 1965, Samsir menjenguk mertua di Bandung. Ia tak tahu kejadian semalam. Kota tiba-tiba senyap. Hujan turun dengan lembut. Tentara mondar-mandir tak karuan. Dari suara radio yang merana berkumandang pidato. Kabinet didemisionerkan, lalu berita tentang pembentukan dewan revolusi. Samsir mencari-cari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Ia tandangi gedung MPRS yang dulu bermarkas di Gedung Merdeka, Bandung. Lalu markas BTI di Jalan Pasirkaliki. Tapi jawabannya sama. Kosong. Saat-saat mengerikan telah terjadi. Beberapa jenderal terbunuh, yang kemudian disusul oleh pembersihan terhadap eksponen PKI. Sampai saat ini belum diketahui pasti siapa sesungguhnya aktor dibalik pembunuhan para jendral di malam 30 September itu. Soeharto menyeting isu bahwa PKI lah yang bersalah.

(Catatan editor: Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengakui, serangkaian peristiwa 1965 adalah pelanggaran HAM berat)


Baca juga: Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia


Satu bulan berikutnya. Di sebuah rumah teman ketika percakapan baru saja dimulai dan cangkir kopi belum mendingin. Segerombol tentara mendobrak pintu. Samsir tak bisa meloloskan diri.

“Dasar komunis. Komunis. Pembunuh. Penghianat. Tukang congkel mata orang,” kata-kata itu serta merta mengiringi siksaan demi siksaan.

“Bagaimana bisa terjadi? PKI itu kan massanya banyak. Uangnya juga banyak. Kok bisa habis? Pasti ada yang salah,” kata Samsir.

Kedua matanya membulat. Penjara riuh saat Samsir mengerang sakit di sudut kamar bertrali. Luka lebam di sekujur tubuhnya, membuatnya roboh, ambruk, tak berdaya. Tiga lapis gelondongan karet timbaan menghantam tubuhnya bertubi-tubi. Samsir dipenjara di markas Kepolisian Daerah Jawa Barat di Bandung. Ia ditempatkan secara khusus terpisah dari narapidana lainnya. Tapi pada saat bergulat dengan maut, gara-gara disiksa itu, Bandi seorang napi pencuri, memboyong Samsir ke kamar mandi lalu ditenggelamkan beberapa kali ke dalam sebuah bak besar.

“Entahlah, justru setelah ditenggelamkan itu, badanku terasa lebih bugar,” kenang Samsir. Mulutnya mengernyit .

Setelah beberapa bulan, ia dipindah ke Kebon Waru, lalu ke Nusakambangan dan terakhir diasingkan ke Pulau Buru. Samsir meninggalkan orang tua, adik, istri dan seorang anak perempuan yang masih balita. Anak itu tak sempat mengenali Samsir, karena ketika ia lahir, Samsir sudah dipenjara. Rosmiati merawat putrinya dengan baik. Ibu dan anak ini menyewa sebuah rumah kecil di gang sempit di Jakarta. Setiap hari Rosmiati bekerja menjadi penerjemah di kantor berita Rusia di Jakarta.

Beberapa tahun kemudian ia menjadi jurnalis di kantor berita yang sama. Profesinya ini memungkinkan Rosmiati berupaya mencari tahu tentang nasib suami dan ribuan tahanan politik lainnya. “Saya pernah dibawa mama ke Kebon Waru, tapi mama gak bilang kalau papa dipenjara,” kata Dian Sari intanti, putri Samsir yang kini berusia 42 tahun.

Sampul blog Samsir/petanitua.wordpress.com

***

Awal tahun 1979. Pertemuan yang mengharukan. Seorang gadis berlari dari samping ibunya. Loncat dan merangkul sang ayah yang asing. Ribuan tahanan politik dipulangkan dari Pulau Buru. Dian Intanti sudah tumbuh remaja. Sudah pasti, rumor mengenai sang ayah sudah mampir ditelinganya. Entah baik. Entah buruk. “Papa itu orangnya asik, gak kolot. Tapi saya tak kenal sosok papa. Kaget, tiba-tiba ada orang di rumah selain mama dan saya yang berlama-lama.”

Setelah pertemuan itu, sikapnya berubah. Ia membuka jarak. Tapi Samsir tak berusaha menjelaskan apapun. “Suatu kesadaran yang diterima dari orang lain, akan berbeda dengan kesadaran yang timbul dari diri sendiri,” katanya. Tapi Samsir punya tekad kuat. Ia ingin membahagiakan istri, anak dan orang tua.

“Saya berikrar lima tahun saja kesempatan membahagiakan mereka. Selama ini saya ini gak pernah ngasih uang.”

Ini bentuk kompromi bagi Samsir.

Bagi para mantan tahanan politik, belum ada kebebasan yang sesungguhnya. Mereka dibatasi dalam berbagai hal. Pekerjaan, aktivitas, semuanya harus serba lapor. Sampai suatu ketika Samsir bertemu dengan seorang kawan lama bernama Isman. Dia adalah salah satu pendiri organisasi kepemudaan, Kosgoro. Isaman memberi kepercayaan kepada Samsir untuk mengelola percetakan. Mula-mula percetakan itu kecil, hanya mengerjakan beberapa order. Tapi Samsir terus belajar dan bekerja keras. Ia yang membersihkan mesin-mesin dekil dan tua. Menurut Samsir tugas seorang manager adalah bukan profit making, tapi sebaliknya. Perusahaan harus menguntungkan orang lain. Sehingga perusahaan dibutuhkan oleh orang lain atau konsumen. Prinsip itu membawa Samsir pada keuntungan melimpah. Hanya dalam beberapa tahun saja penghasilannya mencapai 26 juta. Kemampuan berbisnis banyak disukai orang. Tender-tender besar diraih. Perusahaan-perusahaan lain meminang Samsir sebagai direkturnya.

“Dari pengalaman ini, saya berpikir bahwa tidak ada manusia satu pun di dunia ini yang mampu melihat dirinya sendiri. Kita membutuhkan cermin, dan Isman adalah cermin bagi aku.”

Sesuai janji, ia membelikan sebuah rumah untuk ibu dan istri. Selera dan ukuran diserahkan kepada masing-masing. Istrinya memilih rumah di Tegalega-Bandung. Luas tanahnya 4.500 m2. Terdapat air terjun buatan di belakang rumah, yang disekat dengan dinding kaca dari ruang makan. Furniturnya terbuat dari kayu Jepara, sesuai dengan selera sang istri. Sebuah ruangan disediakan khusus untuk menyimpan koleksi lukisan dan patung. Kehidupan Samsir benar-benar mewah. Batik keris, parfum, mobil, kian akrab dengan anak dan istrinya. “Orang-orang eks PKI bilang aku ini borjuis,” kenang Samsir. Lima tahun target Samsir sudah tercapai. Tak ada alasan lagi terus-terusan mengeruk uang. Tahun 1985, Samsir mundur dari jabatan direktur perusahaan. Berhenti dari kehidupan elit. Semuanya ia tanggalkan, gaya hidup mewah, jabatan dan gaji. Ia hanya mempersiapkan deposito secukupnya. Sedangkan istrinya masih setia pada dunia bahasa.

Ketidaksukaan putrinya menjadi-jadi setelah mengetahui Samsir berhenti jadi direktur.

Papa bodoh,” katanya.

Sepuluh tahun kemudian, Samsir dan istri sepakat menjual rumah mewah itu, setelah putrinya beranjak ke Universitas Indonesia. Harganya 200 juta, sebagian diberikan kepada anaknya, sebagian lagi dibelikan rumah mungil di Cimahi. Tak lama dari itu, pada 1996, istri tercinta meninggal dunia. Satu persatu keluarganya meninggal. Rumah terakhirnya pun dijual. Tinggalah putri satu-satunya. Ada tiga cucu, buah putrinya dengan seorang pilot. Mereka hidup di Jakarta, sementara Samsir menghabiskan masa tuanya di Lereng Burangrang, di sebuah rumah kawan lama.

Kenapa memilih miskin?

Because I love people and my country,” air matanya berderai.


Samsir meninggal di usia 83 tahun, pada 26 Juni 2009, selepas menghadiri acara diskusi di Jakarta. Dia dikebumikan di Padasuka, Bandung.

Samsir meninggalkan warisan catatan pada zaman. Dia menulis dan menampilkannya di petanitua.wordpress.com.


Catatan Editor: Petani Tua dari Lereng Burangrang ditulis oleh Mulyani Hasan, pada 16 Juli 2007 dan tayang di Jurnalnasional. Bollo.id menayangkannya kembali berkat izin penulis.

Keterangan foto sampul: Samsir Mohammad/Bilven/Bandungbergerak.id

Mulyani Hasan

Mulyani Hasan, pernah bekerja sebagai wartawan di media cetak dan elektronik. Saat ini tinggal di Kota Makassar, dan aktif di Ininnawa.

1 Comment

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Layak Dikenang

Musim Penyiksaan

Ia meninggal pada Kamis, 27 November 2008. Tercetak pada batang kayu salib yang tertancap di pusara:

Mengenang Afni…

Nur Afni Aripin, dulunya suka mengafirkan orang, kini menjadi sosok yang terbuka dengan perbedaan.

Ritual Pagi L. E Manuhua

Ia meliput banyak peristiwa bersejarah dari masalah Republik Maluku Selatan hingga jadi saksi buat mengenali jasad

Skip to content