Artikel ini tayang bersama dengan Mongabay Indonesia
Desember 2023, Mangung sedang duduk santai di bale-bale depan rumahnya, ditemani anak istri. Dia tidak sedang melaut karena cuaca sedang tidak mendukung. Mangung duduk bersila, di depannya ada secangkir kopi hitam, sambil menyeruput kopinya ia menghembuskan nafas panjang.
“Bukan soal uang,” kata Mangung kepada saya pada medio Desember 2023.
“Tapi soal tempat pencahariannya nelayan.”
Mangung adalah seorang nelayan di Pulau Lae-Lae, Sulawesi Selatan. Sejak usia 7 tahun, dia senang ke laut, menjaring ambaring, sejenis udang berukuran kecil dan halus. Sehari-hari dia menggunakan jaring kecil berbentuk segi empat yang diwariskan dari ayahnya. Ambaring (Acetes indicus) biasa dikenal sebagai udang rebon—berukuran kecil dan hidup bergerombolan di perairan dangkal, sekitar pulau.
Biasanya sepulang sekolah Mangung bersama teman-temannya bergegas turun ke laut, membawa jaring ambaring sambil bermain.
Kini usianya 54 tahun. Sudah hampir empat dekade masa itu, ambaring, cumi dan berbagai jenis ikan masih melimpah di Pulau Lae-Lae. Potensi perikanannya masih bisa menghidupi mayoritas nelayan dengan layak.
“Bisa ku dapat sampai 100 keranjang ambaring per hari, kalau lagi banyak-banyaknya,” kata Mangung berbangga diri. “Kalau mancing? Ya ada-ada saja, tapi cukuplah.”
Pagi itu, 12 September 2020, Mangung sedang duduk-duduk, menanti hujan akhir tahun. Saat musim hujan, ambaring akan melimpah. Ini artinya tabungan Mangung akan kembali terisi.
Sayangnya pagi itu berbeda, bukan hujan yang datang tetapi rombongan pejabat dari Pemerintah Sulawesi Selatan. Di antara mereka, ada Gurbernur Sulsel Nurdin Abdullah dan Pj Walikota Makassar. Mangung bingung dan hanya mendengar dari jauh.
Pada pertemuan itu, pemerintah membagikan masker, bicara soal kabel listrik bawah laut, dan mengumumkan akan menata Pulau Lae-Lae demi meningkatkan kesejahteraan warga melalui pengembangan wisata. Di belakang mereka, terpasang spanduk bertuliskan PII (Persatuan Insinyur Indonesia) Wilayah Sulawesi Selatan dan PII cabang Kota Makassar Peduli Covid-19.
Dalam kegiatan tersebut, pemerintah mengumpulkan warga buat menandatangani absensi kehadiran. Mangung memilih berada di pinggir-pinggir dan tak ingin mendekat. Seingat dia, pemerintah tidak sekalipun menyebut kata reklamasi dalam pertemuan itu.
Pertemuan antar pemerintah dan warga itu pun berlalu. Kehidupan Mangung dan warga Lae-Lae berjalan seperti biasa.
Ternyata, tanpa Mangung dan warga tahu, pada Agustus 2020—sebulan sebelum acara itu, Gubernur Sulawesi Selatan menerbitkan surat bernomor 593.6/5522/BKAD perihal penetapan lahan pengganti reklamasi Center of Point Indonesia (CPI) seluas 12,11 hektar.
CPI adalah kawasan strategis bisnis global terpadu Kota Makassar, The Equilibrium Centerpoint Park (ECP) terletak di depan Pantai Losari. Proyek reklamasi ini telah membuat daratan baru seluas 157,23 hektar berbentuk burung garuda.
Pada proyek ini anak usaha konglomerasi PT Ciputra Development Tbk (CD), PT Ciputra Nusantara (CN) menjalin kerja sama dengan PT Yasmin Bumi Asri (YBA), sebagai pengembang. Pemerintah Sulawesi Selatan mendapat jatah 50,47 hektar, tempat berdirinya wisma negara, Mesjid 99 kubah, dan lego-lego.
Jatah pemprov tidak sesuai kesepakatan awal, buntut persoalan administrasi. Pemprov hanya mendapat bagian 38,36 hektar. Dari sinilah muasalnya, Pulau Lae-Lae kemudian ditunjuk untuk menggantikan jatah pemprov yang seharusnya berada di CPI.
Pada Januari 2023, Pemerintah Sulsel meneken addendum IV bersama YBA, untuk reklamasi CPI tahap dua di Pulau Lae-Lae.
Hingga dua tahun kemudian, Mangung dan warga Lae-Lae tetap tak tahu apa maksud pengembangan kawasan wisata. Hingga awal 2023, warga Lae-Lae mendengar desas-desus reklamasi. Katanya, di ujung pulau pemerintah memasang patok, sebagai tanda batas reklamasi.
Pada Februari 2023, sebuah spanduk berdiri dan ‘menempel’ di pohon tepat di ujung Pulau Lae-Lae. Spanduk itu berisikan Surat Edaran Sekretariat Daerah (Sekda) Pemerintah Sulsel dengan Nomor 180/1428/B.Hukum. Spanduk itu mengabarkan berita bahwa Pemerintah Sulsel akan mereklamasi sisi barat pulau itu, tempat mata pencaharian Mangung.
Mangung, maupun warga lain pun akhirnya tahu kalau pengembangan wisata di Pulau Lae-Lae berarti reklamasi.
Saya berupaya mewawancarai Asisten II Pemprov Sulsel Bidang Perekonomian dan Pembangunan Muhammad Ichsan Mustari tetapi hingga berita ini terbit, tidak ada tanggapan. Saya telah menghubungi nomor pribadi dan WhatsApp yang digunakan Ichsan Mustari.
Pada kesempatan lain, Ichsan memastikan reklamasi ini tidak akan menyengsarakan warga. “Kehadiran Pemprov Sulsel dalam hal ini tidak sama sekali membuat masyarakat sengsara,” kata Muhammad Ichsan Mustari kepada Bollo.id, media lokal di Sulawesi Selatan.
Baca juga laporan mendalam soal reklamasi Pulau Lae-Lae: Di Bawah Bayang Reklamasi
Potensi perikanan di Pulau Lae-Lae
Sepanjang pesisir Pulau Lae-Lae sudah menjadi bagian bagi kehidupan nelayan. Mereka mencari ambaring, cumi, ikan, dan lato’. Bahkan juga menjadi berkah bagi perajin puru-puru (alat umpan).
Kalau cuaca sedang teduh, mereka melaut, memancing ikan dan cumi di pesisir Lae-Lae hingga Pulau Samalona, berjarak 30 menit pakai perahu.
Ketika musim kemarau dan air laut sedang surut, nelayan Lae-Lae–kebanyakan perempuan–akan mencari lato’. Kalau musim hujan tiba dan ombak tinggi mereka akan menjaring ambaring, di tepi laut.
Ambaring seperti berkah. Muncul sepanjang hari hingga musim berganti. Padaring–sebutan nelayan pencari ambaring–, biasanya mereka mulai menjaring sejak pukul 03.00 dini hari.
Bagi Mangung, tidak perlu ke tengah laut untuk bisa menghidupi keluarganya cukup di tepian saja. Nelayan yang lain pun sama. “Intinya di sini kalau kakimu sudah basah kena air laut, pasti ada uangmu,” kata Mangung.
Selain ambaring, warga Pulau Lae-Lae juga memanfaatkan lato’ sebagai sumber makanan dan ekonomi. Lato’ (Caulerpa lentillifera) atau anggur laut sejenis makro alga yang tumbuh di perairan dangkal, yang berpasir dan berkarang.
“Di sini kalau sedang surut air banyak sekali lato’,” kata Harianne, perempuan nelayan Lae-lae, istri Mangung. “Kita tinggal turun ambil, mirip punya kebun di dekat rumah, sisa dipetik.”
Harianne mulai mencari lato’ sejak kecil. Kala itu, Harianne cari lato’ untuk konsumsi. Setelah menikah, dia mulai menjual lato’ ke wisawatan yang berkunjung ke pulau tetangga—Pulau Gusung, lima menit dari Pulau Lae-Lae.
Setiap siang sampai sore, biasa dia menghabiskan hari mengumpulkan lato’. Setelah itu, meniris, menyimpan, baru keesokan hari dia dijual. Sekantong besar, Harianne mematok harga Rp50.000, dalam sekali jual bisa laku empat kantong.
Hasil laut di sekitar Pulau Lae-Lae, tak hanya membawa berkah bagi nelayan laki-laki, juga perempuan nelayan.
Selain mencari lato’, perempuan nelayan Lae-Lae membuat alat umpan atau kerap disebut puru-puru. Puru-puru sejenis alat umpan, berjaring, melonjong seperti kantung berukuran kecil. Alat ini berguna buat menampung ambaring sebagai umpan.
Puru-puru menjadi primadona nelayan pemancing hingga banyak perempuan nelayan Lae-Lae juga membuat puru-puru.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Warga berdaya tanpa reklamasi
Pemprov Sulsel mengklaim pembangunan wisata bahari di atas reklamasi itu untuk menyelesaikan persoalan pengangguran di Pulau Lae-Lae. Juga menumbuhkan ekonomi daerah dan menaikkan taraf ekonomi warga.
Namun, Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir (Kawal Pesisir) memandang berbeda.
Pulau Lae-Lae, bagi Kawal Pesisir memiliki berbagai potensi pariwisata, tetapi pengembangan tidak seperti rencana Pemprov Sulsel dengan reklamasi.
“Tetapi pariwisata yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal dan posisinya sebagai subyek bukan obyek. Masyarakat merancang dan melaksanakan seluruh proses potensi ekonomi tersebut,” kata Putra dari Kawal Pesisir.
Dia mengatakan, selain hasil laut, potensi ekonomi di Pulau Lae-Lae sangat beragam. Ada sejarah dan kebudayaan, katanya, hingga kearifan lokal yang kaya. “Ini bisa dikembangkan dengan melibatkan secara aktif masyarakat dengan prinsip-prinsip partisipasi bermakna.”
Bagi warga, tanpa reklamasi pun hasil laut bisa menghidupi mereka sejak dulu.
“Kalau soal makan tidak ada sama sekali masalah, anak-anak juga tenang bersekolah,” kata Situju, nelayan Pulau Lae-Lae. “Makanya tidak usah mi direklamasi karena cukup ji dan bisa ji hidup tenang di sini, meskipun pekerjaan ta hanya nelayan.”
Sejak umur 16 tahun, Situju mulai melaut. Memilih menjadi nelayan tentu mempunyai risiko tinggi, tetapi itu bisa dia lalui. Kali ini dia harus menghadapi masalah yang membuatnya sangat resah, yakni reklamasi.
“Kalau boleh jangan ada reklamasi karena itu wilayah tangkap nelayan,” katanya. “Di mana lagi menangkap kalau ditimbun laut?”
Situju tidak mengada-ada. Sekali melaut, dia bisa dapat berbagai macam ikan yang bernilai tinggi. Ada kakap merah, kuwe, maupun tenggiri. “Tergantung musim,” katanya.
Reklamasi menurut Kawal Pesisir, bisa berdampak pada aspek sosial, budaya, dan sejarah Pulau Lae-Lae. Salah satunya, akses warga terhadap ruang hidup dan memicu mereka beralih profesi dengan tanpa keahlian yang lain.
“Ini menjadi problem baru lagi. Ini jelas, reklamasi akan menimbulkan berbagai macam problem di tengah kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar,” kata Putra.
Bagi Mangung, pemerintah bisa saja mengganti kerugian dalam bentuk uang, tetapi wilayah tangkap nelayan tak bisa tergantikan.
“CPI na ambil mi tempat pencaharian ta di sana, sekarang mau lagi na ambil tempat pencaharian ta di sini. Di mana-mana reklamasi, kasihan nelayan,” katanya.
Keterangan sampul: Dokumentasi Kawal Pesisir