Seorang petani saat mengkuti aksi demontrasi menolak RUU Cipta Kerja di Jakarta tahun 2020/Ilustrasi: kpa.or.id
Seorang petani saat mengkuti aksi demontrasi menolak RUU Cipta Kerja di Jakarta tahun 2020/Ilustrasi: kpa.or.id

Menginterogasi Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Agraria

HMN meletakkan keutamaan penguasaan sumber daya agraria pada organisasi yang ‘mewakili’ kepentingan kolektif, yaitu negara, dan dengan demikian membatasi kontrol oleh swasta.

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah satu dari beberapa pasal konstitusi yang bunyinya sangat merdu. Ia berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Karena keberadaannya, UUD 1945 terbilang sebagai “Konstitusi Agraria,” konstitusi yang memuat landasan mengenai hubungan warga terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya (Arizona, 2014).

Gagasan Negara Integralistik —yang dianggap sebagai totalitarianisme versi khas Indonesia (Robet, 2020)— bercorak kental dalam pasal tersebut. Diusung oleh Soepomo, salah satu arsitek UUD 1945, gagasan ini pada intinya mengonsepsikan ‘negara’ dan ‘masyarakat’ larut sebagai satu kesatuan, sehingga penjaminan hak asasi yang sifatnya individualistis tidak perlu mendapat porsi yang dominan dalam Konstitusi. Karenanya, spirit kekolektifan mengakar kuat dalam pemikiran konstitusional Indonesia.

Melampaui ide Negara Integralistik, UU Pokok Agraria kelak merinci penguasaan negara atas sumber daya agraria dengan konsep “hak menguasai negara” (HMN). Seturut latar waktu ketika ia dikonsepkan (1945‐1960), konsep hak ini memang memiliki semangat antipenjajahan, antiimperialisme, dan antikapitalisme.

HMN meletakkan keutamaan penguasaan sumber daya agraria pada organisasi yang ‘mewakili’ kepentingan kolektif, yaitu negara, dan dengan demikian membatasi kontrol oleh swasta. Di titik itu, negara terlibat aktif untuk mencampuri urusan pengelolaan agraria dalam rangka menciptakan kemakmuran dan mewujudkan keadilan sosial, sesuai raison d’être (alasan atau pembenaran) berdirinya Indonesia.


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Negara “Budiman”?

HMN mengandaikan agar negara menjadi entitas yang “budiman,” penjamin keadilan. Cita mulianya hendak menyeimbangkan ketimpangan hak yang diakibatkan oleh feodalisme atau kapitalisme. HMN memiliki primasi, terutama bagi “pembangunan untuk kepentingan umum.” Sayangnya istilah “kemakmuran” maupun “kepentingan umum” tetaplah elusif, dan karenanya rentan dibajak (Susanti, 2023).

Kajian Komnas HAM atas UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (2018) menyimpulkan bahwa pendefinisian “kepentingan umum” berupa daftar 18 item ‘pembangunan’ senyatanya begitu longgar, mengakibatkan lemahnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

Di lapangan, masalah merentang dari partisipasi bermakna yang nihil, praktik penggusuran, dan absennya ganti rugi layak. Nahas, UU Cipta Kerja lebih jauh menambahkannya menjadi 24 daftar item pembangunan.

Oleh rezim developmentalist seperti Orde Baru dan dua jilid kepresidenan Joko Widodo yang telah membuka keran investasi begitu deras, operasionalisasi HMN lazim berujung pada perampasan ruang hidup rakyat.

Alih-alih menyeimbangkan yang timpang, penerapan HMN justru tampak memfasilitasi proses pencaplokan sumber daya agraria. Dari eksklusi semacam itu, segelintir orang menikmati sumber daya yang dibagi-bagi. Dengan kenyataan inilah, tata kelola yang diklaim untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat patut dipertanyakan.


Baca:


Kasus Rempang, Menyimak Arti Penting Pluralisme Hukum

Dari konflik agraria di Rempang yang meletus pada September 2023 silam, kita bisa merefleksikan betapa lemahnya posisi masyarakat saat berhadapan dengan mega proyek investasi yang dikukuhkan sebagai Proyek Strategis Nasional.

Klaim “tanah negara” atau “kawasan hutan” seolah menjadi mantra eksklusi yang pamungkas. Ketiadaan sertifikat hak milik menjadi dalih untuk menghempaskan masyarakat dari ruang hidupnya yang telah ditinggali bahkan sejak 1834, ketika Indonesia sebagai “proyek bersama” belum jelas terbayang.

Sementara penyertifikatan hak warga tampak tidak difasilitasi, masyarakat Rempang bertumpu pada penguasaan de facto secara turun-temurun. Konflik tersebut pada pokoknya memperlihatkan kontestasi klaim berdasar sistem penguasaan formal versus informal.

Maka dari itu, pluralisme hukum mempunyai urgensi. Pluralisme hukum, kondisi ketika lebih dari satu sistem hukum beroperasi bersamaan dengan taraf tertentu, dapat menjadi konsep yang menimbulkan kepekaan (sensitizing concept) akan keragaman hukum. Di Indonesia, hamparan sumber daya agraria ditandai dengan sistem penguasaan formal (de jure) yang dilegalisasi hukum negara, dan penguasaan informal (de facto) yang dilegitimasi berdasarkan hukum adat atau kebiasaan (Simarmata, 2023).

Mendasarkan sistem hukum negara sebagai satu-satunya sistem penguasaan yang absah memungkinkan terciptanya ketidakadilan. Itu tak jauh beda dari praktik kolonial melalui asas “Domein Verklaring” (Deklarasi Wilayah), ketika tanah-tanah masyarakat yang tak bisa dibuktikan penguasaannya berdasarkan hukum agraria buatan Belanda —Agrarische Wet 1870— akan jatuh menjadi tanah kepemilikan penjajah. Barang tentu, masyarakat mendasarkan klaim penguasaannya bukan menurut hukum kolonial, melainkan hukum adat.

Unjuk rasa petani Polongbangkeng, Takalar, lawan perampasan tanah/GRAMT
Unjuk rasa petani Polongbangkeng, Takalar, lawan perampasan tanah/GRAMT

Walaupun Domein Verklaring dikutuk, paradigmanya tetap eksis, menyusup ke dalam operasionalisasi HMN. Salah satu pandangan kritis seputar diskursus UU Pokok Agraria adalah kritik terkait HMN yang dianggap tak jauh berbeda dari Domein Verklaring, sebagaimana pada kenyataannya ia diandalkan untuk menjustifikasi tindakan negara justru untuk melanggar hak-hak rakyat (Bachriadi & Wiradi, 2011).

Pluralisme hukum penting untuk mengakui sistem penguasaan berbasis hukum di luar negara. Dari pluralisme hukum, masyarakat adat diperlakukan sebagai entitas sosio-politik yang pada derajat tertentu memiliki otonominya, meski berada di bawah naungan otoritas negara (Kurniawan, 2012).

Signifikansinya telah dibela oleh Van Vollenhoven, ahli hukum adat asal Universitas Leiden, yang cukup dikenal karena kritiknya atas proyek unifikasi hukum di Hindia-Belanda pada tahun 1900-an. Menurutnya, sistem penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, seperti hak ulayat, perlu diakui. Dan dengan pengakuan itulah masyarakat dapat terhindar dari perampasan ruang hidup (Bedner, 2021).

Pada konteks konflik agraria seperti kasus Rempang, pluralisme hukum perlu dibela demi menggapai keadilan sosial, melampaui ‘keadilan hukum’ (versi negara) yang formalistis belaka.


Abdul Munif Ashri

Abdul Munif Ashri merupakan Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada dengan konsentrasi akademis hukum internasional. Beberapa artikelnya merentang dari kajian kritis hak asasi manusia, hukum pidana internasional, dan keadilan transisi, terbit di berbagai jurnal hukum nasional. Tulisannya terkompilasi dan bisa diakses pada laman: https://www.researchgate.net/profile/Munif-Ashri

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay