Artikel ini hadir pada dasarnya karena ingin terlibat dalam percakapan sehari-hari oleh kalangan muda yang sudah muak dengan pemerintah dan DPR yang terus membuat aturan yang merugikan warga.
Bollo.id — Aksi pembangkangan terhadap Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sempat merebak ke puluhan kota yang tersebar di Indonesia. Meskipun pada akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memaksakan pengesahan regulasi kontroversial ini pada 20 Maret 2025.
Letupan aksi protes penolakan berbagai aturan dapat kita lacak setidaknya sejak tahun 2019. Gerakan populer ini dapat diklaim berkecamuk melalui agitasi sosial media yang masif hingga memobilisasi anak muda turun ke jalan.
Gelombang protes bisa di-highlight sejak proses penyusunan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020. Hingga kini, kita dapat merangkai anatomi gerakan populer ini. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Semarang dan banyak lagi secara seragam menggaungkan suara yang sama.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Semangat ini terkoneksi dan memiliki hubungan yang solid hingga membawa semangat protes online lalu ditumpahkan ke ruas-ruas jalanan perkotaan.
Masih ingat dengan beberapa tagar pemberontakan serta tuntutan generasi muda seperti: #ReformasiDikorupsi, Tuntutan 7+1, #MosiTidakPercaya, #PeringatanDarurat, #IndonesiaGelap.
Melalui beberapa tagar yang muncul, kita dapat memetakan mindset di setiap gerakan. Semua mobilisasi menyasar langsung ke “jantung” yang menentukan layak tidaknya regulasi baru disahkan. Yakni di kantor-kantor DPR baik itu pusat maupun daerah.
Gerakan #IndonesiaGelap merupakan penanda puncak kemarahan. Hal ini merupakan akumulasi akibat dari regulasi dan kasus-kasus yang pelakunya merupakan pejabat publik tentu menjadi pemicu utama.
Krisis ekonomi akibat aturan dagang, kekerasan aparat, kasus korupsi, kekerasan seksual, nepotisme jabatan penguasa, hingga sulitnya akses terhadap barang pendukung kehidupan sehari-hari.
Kantor DPRD di Yogyakarta sempat dihiasi dengan tulisan protes. Sebelumnya ada di Bandung, pemuda beri kejutan Kantor DPRD dengan kobaran api. Termasuk Jakarta, jelang Hari Raya Idulfitri protes itu terus berlanjut.
Kota-kota kecil juga ikut bergerak dimulai sejak 20 hingga 29 Maret 2025 di 72 titik. Seperti Lamongan, Bulukumba, Kediri, Magelang, Bengkulu, Manokwari, Bali, Palangkaraya, dan masih banyak kota lain yang ikut menolak RUU TNI.
Sembilan hari aksi, pilihan untuk menyasar ke titik-titik kantor DPR tentu memiliki alasan yang sangat logis. Karena mereka adalah institusi yang memiliki hak secara konstitusi yang mengambil sekaligus memutuskan aturan baru.
Baik itu UU baru maupun merevisi UU lama. Merekalah yang patut untuk didesak untuk berpihak kepada aspirasi warga Indonesia. Meski kesannya masih sedikit naif, yang mesti digaris bawahi adalah: tagar-tagar sebagai penanda gerakan adalah simbol protes.
Tidak ada satupun didengarkan oleh mereka. Tidak ada satupun yang pernah menyentuh kerah baju para anggota DPR, melucuti sekaligus mendelegitimasi kuasa mereka agar patuh pada supremasi sipil. Mereka tidak pernah menggubris tuntutan publik, karena kita memiliki kepentingan yang berbeda.
Ini juga menggambarkan betapa tidak representatifnya lembaga perwakilan rakyat di masa kini. Keusangan serta kemiskinan cara berpikir sangat terang terlihat. Melalui kaki tangan partai yang koruptif, jalan menuju parlemen hingga duduk di kursi DPR dengan cara transaksional.
Ditambah absennya gagasan partai, termasuk anggota yang didominasi oleh pemodal sangat sulit untuk memenangkan ide serta gagasan progresif dalam lingkaran oligarki. Apalagi perorangan anggota DPR yang mengaku mampu mengubah keadaan.
Sistem “keterwakilan” DPR harus diubah, melalui tangan mereka hingga lahir aturan yang membuat masalah. Ini adalah tawaran percakapan setidaknya bisa menjadi imajinasi baru terhadap gerakan yang terus berpindah dari aturan yang satu ke yang lainnya.
Kita harus menyudahi ikut dalam logika penguasa yang terus memecah konsentrasi kita. Dengan menghapus model keterwakilan, semangat demokrasi per lima tahun dapat dikikis. Semangat menghadirkan demokrasi dalam hal partisipasi publik secara harian patut untuk jadi obrolan bagi kita semua.
Itu sekali lagi agar kita semua tidak lagi terjebak dengan model gerakan yang pernah kita lakukan bersama-sama. Beberapa referensi sangat banyak, diskusi dan perdebatan tentang apa “percakapan sebagai tawaran” baru dari gerakan protes anak muda yang absen.
Kita harus memikirkan bagaimana melucuti abusive power oleh pemerintah dan DPR RI, padahal kita adalah kelompok massa yang memberikan konstituen kepada mereka hingga mampu duduk ditampuk kekuasaan.
Yang menariknya, tawaran-tawaran radikal melalui gelombang protes #MosiTidakPercaya pernah muncul di Kota Yogyakarta. Aliansi Gejayan Memanggil telah memantik percakapan di kalangan gerakan tentang “dewan rakyat”.
Namun, entah mengapa tawaran politik tersebut hilang dan tidak pernah hadir kembali dalam gerakan protes #IndonesiaGelap.
Kemungkinan besar adalah, kita tidak memiliki pengalaman sejarah sama sekali akan hal tersebut. Imajinasi kita terkungkung dengan perjuangan yang sifatnya konstitutif sehingga sulit untuk dibayangkan, terlebih untuk dikerjakan bersama-sama.
Melacak Partisipasi Publik dan Demokrasi Langsung di Indonesia
Di tahun 1969 melalui referendum yang curang, Papua Barat terintegrasi menjadi bagian dari Republik Indonesia. Namun tidak bagi Timor Leste. Di masa kepemimpinan BJ Habibie, melalui tekanan internasional dan desakan rakyat Timor Leste, mereka berhasil merebut kedaulatannya melalui referendum rakyat untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Ini adalah praktik serta pengalaman yang pernah hadir di dalam catatan demokrasi semu Indonesia. Referendum dalam sudut pandang konstitusi pernah hadir di Indonesia. Mari kita lacak ke belakang. Ada UU Nomor 5 Tahun 1985.
Meski aturan ini telah dihapus melalui TAP MPR Nomor VIII/MPR/1999. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari aturan ini, yang patut disorot adalah kita pernah memiliki sejarah dan pengalaman kolektif bagaimana setiap orang selain dari pemilihan umum setiap lima tahun, memiliki ruang dan hak untuk bersuara dalam setiap aturan.
Tentu ini tidak mudah, namun standing artikel ini mencoba mengkritisi tradisi gerakan tahun belakangan yang cenderung masuk ke dalam lubang yang sama tanpa ada tawaran atau setidaknya ada yang berani memikirkan gambaran Indonesia ke depan.
Duduk masalah cukup sederhana, kita tidak punya ruang sama sekali dalam menentukan aturan. Peristiwa yang terjadi di Hotel Fairmont — KontraS melalui personelnya direpresi dan didorong keluar dari forum penyusunan RUU TNI menjadi salah satu bukti ruang partisipasi dikunci dengan sangat ketat.
Apakah referendum kebijakan menjadi solusi yang atas segala masalah? Tentu saja tidak, namun poin plus dari tawaran ini adalah ajang mengasah imajinasi baru, melewati beberapa tahapan tangga gerak bersama. Terkhusus juga menghindari berulang nya protes gerakan belakangan.
Blok “Referendum Kebijakan” Baru!
Referendum Kebijakan, yang menjadi tuntutan bersama itu memungkinkan jika kita melihat keseragaman gerakan yang pernah hadir. Absennya organisasi yang solid namun tidak memberikan batasan solidaritas yang menyebar ke seluruh penjuru kota di Indonesia, termasuk imajinasi politik.
Problem esensial yang kita hadapi secara harian adalah kedaulatan. Meski secara jelas telah diatur dalam UU pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa partisipasi merupakan hal yang wajib dilaksanakan dalam membentuk satu peraturan. Hal tersebut tidak bergeming dalam keseharian.
Kita tidak bisa bersuara dan memilih atas kinerja keterwakilan palsu DPR. Partisipasi publik harus kita rebut, membuka pandangan kita, membangun kultur bersama “blok ‘referendum kebijakan’ baru”, hingga memaksa pemerintah dan DPR untuk tunduk pada supremasi rakyat.
Ini dapat menjadi ruang eksperimental dalam gerakan. Ada beberapa ragam contoh bagaimana hak serta suara warga berhasil merebut kedaulatan dalam bersuara. Brexit, warga Britania Raya berhasil memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, perjuangan panjang warga di selatan, Catalunya untuk merdeka dari Spanyol.
Dalam praktik yang lain seperti di Swiss, Uruguay, dan Amerika, referendum wajib dalam tindakan terbatas pada topik-topik spesifik dalam konstitusi. Hal yang lain, ada istilah yang dikenal sebagai “Plebisit Opsional” yaitu mekanisme demokrasi langsung yang memungkinkan pihak berwenang mengajukan pertanyaan kepada warga negara untuk dijawab.
Terdapat juga istilah dalam referendum, yakni “referendum opsional”. Kadang disebut veto populer, atau referendum abrogative yaitu referendum opsional memungkinkan warga negara untuk menolak undang-undang yang disahkan oleh legislatif (“veto rakyat” dalam jargon Amerika).
Dengan demikian, warga negara memberikan suara secara reaktif atau “membela diri”, dalam hal mereka menanggapi langkah sebelumnya oleh pihak berwenang. Referendum ini membuka kemungkinan penolakan suatu tindakan, amandemen konstitusi, keputusan keuangan, dan banyak hal lain.
Bagi Indonesia, rentang tahun 2019 hingga kini protes-protes yang berlangsung berangkat dari penyusunan undang-undang serta revisi undang-undang yang sering dianggap merugikan hak masyarakat.
Berbicara tentang referendum, konteks tersebut juga berlaku di negara Swiss yang berlangsung rutin dan legal. Swiss mengenalnya dengan istilah Obligatory – untuk perubahan konstitusi dan Optional untuk UU baru yang disahkan parlemen, dapat ditolak dengan hitungan representatif minimal 50 ribu warga dalam kurun waktu 100 hari setelah UU disahkan.
Praktiknya sudah terlihat akhir ini meski dalam lingkup kampus, mahasiswa Universitas Udayana berhasil merebut suara massa untuk menolak kerjasama kampus dengan TNI.
Dalam lingkup yang lebih luas ini juga sekaligus menjadi ruang konsolidasi, untuk mendesak segala bentuk aturan yang ingin hadirkan harus pamit sehormat-hormatnya terhadap kekuasaan rakyat.
Alih-alih membiasakan tradisi keberulangan, obrolan tentang model kekuasaan rakyat harus dipikirkan secara bersama di dalam ruang diskursus. Hingga hari ini, kita harus latihan berani untuk mengatakan “tidak” pada segala bentuk yang usang. Sebelum artikel pemantik ini berakhir: apa model kekuasaan rakyat yang baru cocok untuk Indonesia?
Ibaratnya, Indonesia digambarkan sebagai bentuk piramida kekuasaan, yang sudah saatnya kita jungkir balikkan secara bersama-sama. Ke depan, urusan kita bakalan berhadapan dengan rezim pengintai melalui RUU Polri yang akan masuk ke dalam ranah privasi kita tanpa adanya sekat.
Kita harus punya suara, kita harus menolak dan untuk tidak terjebak dengan misi mereka dalam memecah konsentrasi kita harus hadir didalam setiap agenda pengambilan aturan.
Mungkin, melanjutkan tawaran politik radikal oleh Gejayan Memanggil melalui gerakan mosi tidak percaya dan bangun dewan rakyat. Referendum kebijakan adalah opsi langkah mendelegitimasi karena mosi tidak percaya harus dimanifestasikan dengan memutus kuasa yang tidak terkontrol.
Tidak ada jalan lain jika kita sendiri tidak bisa memilih dan berkehendak atas isi kepala kita.
Satu orang, satu suara! Setiap hari!
#MosiTidakPercaya #ReferendumSekarangJuga
Editor: Sahrul Ramadan