Gambar dihasilkan menggunakan DALL·E oleh OpenAI atas permintaan pengguna.
Gambar dihasilkan menggunakan DALL·E oleh OpenAI atas permintaan pengguna.

Mari Menjaga Universitas: Saatnya Orang Tua ‘Mengontrol’ Kampus

Bersatulah para orang tua dan tuntutlah kampus yang menjadikan anak-anak kalian robot pencari kerja.

Di Luwu, sekitar empat tahun lalu, pada satu sore yang hangat di teras rumah. Saya bersama tiga kerabat, sedang bercengkerama. Tamu terhormatnya adalah seorang paman, yang bekerja sebagai petani dan tukang ojek.

Cerita mengalir ke berbagai hal dan itu buat terbahak. Lalu Sang Paman bilang, kami harus mengganti waktunya yang hilang, karena tak ke pangkalan, malah ikut bersantai. Maka satu orang harus mengeluarkan uang Rp20 ribu. Jadilah, dia menghitung totalnya menjadi Rp60 ribu. “Tapi boleh lah, bulatkan Rp 50 ribu, karena dipotong kopi dan rokok,” katanya.

Dia, Paman yang kami juluki tukang ojek termahal di dunia. Dan dia bangga dengan julukannya. Setelah kopinya tandas, dia memandangku. Mengabarkan anak lelakinya sudah tahap akhir kuliah. Tentu saja itu kabar gembira.

Tapi dia meminta kami mencarikannya kerjaan saat selesai kuliah. Saya balik memandangnya dan bilang, kenapa susah, kan ada sawah. Jadi petani toh. “Bapaknya petani, anaknya jangan petani juga,” katanya.

Ini adalah potongan percakapan yang membuat saya memikirkan kembali makna “bersekolah”. Benarkah sekolah tujuan akhirnya adalah bekerja? Benarkah sekolah bukan lagi bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa? Ataukah sekolah hanya untuk meraih gelar-gelar?


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Adegan itu kembali menjadi sangat jelas setelah ramai usulan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) bagi perguruan tinggi. Rencana itu dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Tentu saja, ini menuai banyak sanggahan. Ada yang setuju, ada yang tidak. Tapi, saya tak heran, jika beberapa guru besar yang telah bermukim di kampus menyetujuinya. Dalilnya hampir seragam: perguruan tinggi bisa memperoleh keuntungan dan bisa membuat biaya kuliah lebih murah. Atau, pertambangan akan dikelola dengan baik dan berkelanjutan, karena yang mengontrol langsung adalah para akademisi.

Baik. Mari berjalan di daratan Sulawesi, surganya mineral dan pertambangan nikel, yang sebagian besarnya dikelola ugal-ugalan.

Bermula di tahun 1978, di ujung timur provinsi ini, ada pertambangan nikel PT Inco – sekarang PT Vale – beroperasi, di kampung sejuk pesisir Danau Matano, Sorowako. Beberapa tahun ketika perusahaan ini beroperasi, seorang antropolog, Kathryn Robinson, menelusurinya. Dia menerbitkan buku Stepchildren of Progress: The Political Economy of Development in an Indonesian Mining Town (State University of New York, 1986).

Robinson menggambarkannya dengan lugas, ada pembeda rumah-rumah para karyawan yang tertata dengan apik. Dapur dengan kompor listrik. Sementara kampung lokal, tetap berdiri tak beraturan di sempadan danau. Kemudian gelombang orang Indonesia lain berdatangan, mengenalkan bahasa. Maka perlahan bahasa lokal menjadi terpinggirkan.

Selanjutnya perusahaan membangun tiga bendungan (DAM) di batang Sungai Larona, aliran yang menghubungkan danau menuju laut di Teluk Bone. Warga mengeluh, sejak DAM itu berdiri, ikan sidat di Danau Masapi menjadi berkurang, dan bahkan saat ini sungguh sulit dijumpai.

Tapi perdebatan itu, tak pernah selesai. Sebab tak ada penelitian dari para akademisi yang menjadi tolak ukurnya. Suara warga menjadi tenggelam dan kemudian menghilang. Saya ingat betul, seorang warga di pesisir danau berujar, “jika ada orang sakit dan akan sembuh dengan makan masapi (sidat), orang itu akan mati, pasti,” katanya.

Aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah/Bollo.id
Aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah/Bollo.id

Puluhan tahun selanjutnya, demam nikel meningkat. Ratusan izin keluar, di daratan ini. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tahun 2021, dalam laporannya mencatat terdapat 6 perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan yang menguasai 87.556,6 hektar. Sulawesi Tengah terdapat 37 perusahaan dengan penguasaan lahan 92.604 hektar. Dan Sulawesi Tenggara sebanyak 252 perusahaan dengan total luas 510.282 hektar.

Tapi PT Vale, hanyalah pelopor pertambangan nikel di Sulawesi. Selanjutnya, rentetan fakta perusahaan mulai menambang. Mencemari sungai, mengotori laut, menghasilkan polusi, menyebarkan debu, menghilangkan sumber air. Ratusan fakta itu tersebar di beberapa media Indonesia dan internasional.

Apakah ada institusi atas nama lembaga kampus menyikapinya? Meski tak dipungkiri, beberapa akademisi kampus menjadi narasumber, tapi suara mereka kecil dan “sepertinya menjadi angin lalu”.

Tapi tak heran juga, di PT Vale, tahun 2012, Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Idrus Paturusi menjabat sebagai Komisaris Independen. Selanjutnya, komisaris independen terpilih tahun 2015 adalah Prof Dwia Aries Tina Palubuhu, yang juga menjadi Rektor Unhas, setelah menang pemilihan menggantikan Idrus Paturusi.

Kini Unhas dipimpin Prof Jamaluddin Jompa. Namun pertalian kampus ini dengan pertambangan masih terlihat. Kepala Kantor Sekretariat Rektor adalah Sawedi Muhammad, yang sebelumnya menjadi GM Provincial Government and Community Relation di PT Inco – sekarang Vale.  

aktivitas tambang nikel
Aktivitas tambang nikel PT Vale Indonesia di Sorowako/Lina Herlina

Lalu, smelter atau pabrik pengolahan nikel di Kabupaten Bantaeng, saat bupatinya dijabat Nurdin Abdullah – seorang guru besar Unhas dengan spesialisasi sungai. Pabrik itu berdiri di tengah kampung Balla Tinggia dan Mawang, Kecamatan Pajjukukang. Yang juga tepat dipinggir jalan utama yang menghubungkannya dengan Bulukumba.

Saat smelter itu berdiri yang dimulai oleh PT Huadi Nickel Alloy, penduduk sekitar sudah mengeluh. Warga batuk, pertanian mereka gagal, air sumur mengering, hingga debu yang terus menerus memasuki sela rumah. Saya beberapa kali menyambangi sekitar kawasan itu  dan telah merasakan dampaknya.

Kemudian yang terbaru adalah smelter nikel PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS), di Karang-karangan, Kabupaten Luwu. Ini adalah perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla. Membangun jetty untuk lalu lintas bahan baku ore dan telah mengorbankan sempadan mangrove.

Mineral tambang lainnya adalah semen. Di karst Maros – Pangkep, yang jaraknya dari Makassar hanya sekitar 1 jam perjalanan, terdapat dua tambang semen; PT Bosowa dan usaha milik negara; PT Semen Tonasa. Di sekitar pabrik itu, ratusan keluarga harus menderita dengan limpasan debu dan getaran setiap hari dari peledakan dinamit batuan gamping.

Maka sekali lagi, adakah institusi kampus yang peduli pada keadaan warga dan lingkungan di sana?

Sementara itu, di Sulawesi Tengah, kompleks perusahaan smelter nikel IMIP, saya bertemu puluhan pekerja lulusan kampus dari berbagai Indonesia. Mereka rela bekerja sebagai buruh tingkat bawah, meski mengantongi ijazah yang berbeda dengan pekerjaan yang mereka lakoni saat ini.

Tapi para pekerja itu hampir tak memiliki pilihan. “Yang penting bisa bekerja dulu. Selanjutnya kalau masih bisa ya tetap lanjut. Mau bagaimana lagi,” begitu ungkapan yang saya temukan. 

Lalu di Sulawesi Tenggara, tambang nikel memorak-porandakan pulau kecil Wawonii. Warga ketakutan dan kebunnya diserobot. Lembaga Bantuan Hukum menjadi pembela mereka dalam pendampingan hukum.

Maka cukup bosan lah untuk bertanya sekali lagi: Apakah kampus secara institusi bersuara pada ketimpangan itu?


Baca: Anak Bara-baraya di Tengah Bayang-bayang Penggusuran


Tuntutlah Kampus

Mungkin inilah saatnya. Para orang tua untuk bersatu, dan menuntut kampus, mengapa anak-anak mereka selesai “bersekolah” hanya menjadi pencari kerja?

Ada sarjana pertanian yang tak bisa mencangkul dan alergi ke kebun. Sarjana sastra yang tak mencintai buku dan literasi lokal. Sarjana pendidikan yang mengira belajar itu hanya menjadi guru di bangunan sekolah. Dan sarjana.. sarjanaa, yang banyak sekali…

Di beberapa kampung di Sulawesi Selatan, banyak orang tua yang harus rela menjual tanah, menggadaikan harta untuk anak-anak mereka, agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Ribuan sarjana itu, setiap tahun berjejal menunggu pendaftaran Pegawai Negeri Sipil. Melayangkan surat lamaran ke berbagai instansi. Dan akhirnya, sarjana hanya validasi mendapatkan ijazah untuk bisa mencari kerja.

Rasanya, kampus telah menjadi pabrik pencetak sarjana yang siap bertarung dalam pasar tenaga kerja. Bukan pencetak manusia yang berwawasan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Sanggalah jika ini keliru dan berikan saya faktanya.

Ayo.. orang tua, teriakkan lah kekecewaan kalian. Berapa banyak uang dan waktu yang sudah habis untuk menitipkan anak agar diasuh para profesor kampus, tapi akhirnya, harus rela mengeluarkan uang suap untuk mendapatkan kerja. Sebelum semuanya berakhir lebih buruk.

Jika kampus, mengelola tambang, maka sederet fakta ketimpangan dan ketidakadilan di lingkar tambang itu akan terus kekal. Bagi saya, tak mungkin kampus bisa mengontrolnya. Sebab di semua pertambangan ada alumni mereka yang bekerja, dan bahkan menjadi aktor perusakan. Tapi mereka bahagia melakukannya. Mereka tak pernah bisa bersuara, sebab mereka berlindung pada kalimat: ini piring makan kami, tak mungkin kami pecahkan.

Aksi demonstrasi mahasiswa dari gabungan fakultas di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) berakhir dengan penangkapan oleh aparat kepolisian pada Senin, 5 Agustus 2024, siang hari./Sumber: Istimewa
Aksi demonstrasi mahasiswa dari gabungan fakultas di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) berakhir dengan penangkapan oleh aparat kepolisian pada Senin, 5 Agustus 2024, siang hari./Sumber: Istimewa

Seorang kawan bilang pada saya, ini proses yang bagus. Kampus tak pernah memikirkan dan merasa bersalah pada apa yang dilakukan alumninya. “Untuk menenangkan hati, pikirlah kampus itu seperti minimarket. Orang datang membawa uang, memilih produk di etalase, kemudian belanja. Lalu keluar. Konsumen, mau apa kan barangnya itu tidak menjadi tanggung jawab tokonya lagi,” katanya.

Jadi apakah harapan masih disandarkan di kampus, jika sederet profesornya, kelak akan mengelola bisnis tambang, yang mengejar keuntungan, lalu berjanji menciptakan kenyamanan bagi warga? Atau pula janji memberikan biaya kuliah murah!

Sepertinya sebentar lagi kampus-kampus kita ini akan memasang spanduk di pinggir jalan, layaknya para politikus. Mari menunggunya.


Editor: Agus Mawan W



Eko Rusdianto

Eko Rusdianto adalah jurnalis lepas, menerima penghargaan Oktavianus Pogau dari Yayasan Pantau. Eko Rusdianto berkontribusi buat Bollo.id.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay