Dari sekian banyak pasal dan kasus, sejauh ini hanya sedikit kasus pidana yang terlapor akhirnya dilepaskan dari tuntutan karena adanya pengaturan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP). Pada 2021 ada kasus Robandi dkk. Yang terbaru ada kasus Daniel Frits, serta Haslilin dan Andi Firmansyah. Sayangnya, pertimbangan majelis hakim terhadap pasal yang dibuktikan justru layak untuk dipertanyakan substansi penafsirannya. Bagi saya, dari berbagai fakta hukum yang ada pasal yang dipertimbangkan dalam kasus mereka justru tidak layak untuk dinyatakan terbukti.
Pada 2024, terdapat tiga putusan kasus pejuang lingkungan yang akhirnya diputus bebas oleh hakim menggunakan dasar Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal tersebut sering disebut sebagai Anti SLAPP. Majelis hakim dalam perkara Daniel Frits, Haslilin dan Andi Firmansyah menyatakan kalau pelaporan terhadap mereka adalah bentuk SLAPP sehingga dilepaskan. Hakim mengacu pada pedoman internal mereka dan juga Pasal 66 UU PPLH.
Daniel ditangkap dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Duduk perkaranya, Daniel membuat status di akun Facebook-nya tentang pencemaran yang terjadi di pantai Karimun Jawa yang dia anggap ada kaitannya dengan tambak udang di sana. Yang dipermasalahkan pelapor adalah pernyataan Daniel tentang “masyarakat otak udang”. Daniel sempat dinyatakan bermasalah menyebar kebencian sehingga menimbulkan perpecahan. Tetapi di putusan tingkat banding sampai kasasi, walau dakwaan terbukti, ia dinyatakan lepas karena terbukti memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Sementara itu, Haslilin dan Andi Firmansyah dilapor dengan tuduhan menghalang-halangi operasi pertambangan yang telah memiliki izin sah—pidananya diatur dalam Pasal 162 UU Minerba. Saat itu, mereka bersama warga berdemo di lokasi tambang yang sangat dekat dengan pemukiman. Mereka melarang alat berat beroperasi dan menyuruhnya pergi dari lokasi. Di pengadilan Negeri Andoolo, majelis hakim beranggapan bahwa tindak pidananya terbukti tetapi mereka juga merupakan pejuang lingkungan sehingga harus dilepaskan dari tuntutan hukum.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Ambiguitas Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan 162 UU Minerba
Tindak pidana ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE) dan tindak pidana menghalang-halangi operasi pertambangan (Pasal 162 UU Minerba) adalah dua tindak pidana yang tafsirannya begitu luas. Sebelum Pasal 28 ayat (2) direvisi melalui UU No. 1 tahun 2024 tentang perubahan UU ITE, definisi “antargolongan” tidak jelas batasannya. Melalui putusannya tahun 2017, Mahkamah Konstitusi tidak memberikan definisi melainkan hanya menekankan bahwa maksud dari istilah tersebut mewakili entitas yang tidak terwakili oleh suku, agama, dan ras.
Harusnya, ujaran kebencian ini hanya dimaknai sebagai hasutan untuk membenci berdasarkan identitas yang melekat dan sulit diubah dari masyarakat dan bukan pada profesi, kelompok, atau hal lain yang berubah-ubah. Melalui UU ITE 2024, rumusan pasal ini berubah. Istilah “antargolongan” dihapus dan konteks hasutannya diperjelas berdasarkan apa saja misalnya ras maupun kepercayaan. Namun, walau kasus Daniel baru dilimpahkan ke pengadilan pada 2024, hakim pengadilan negeri masih menggunakan ketentuan dalam UU ITE yang lama sehingga menyatakan kalau perbuatan pidana telah terjadi.
Sementara itu, rumusan Pasal 162 UU Minerba sama karetnya sehingga sering digunakan untuk memidana warga yang memprotes aktivitas tambang. Sebagai contoh, warga yang berdemonstrasi di lokasi pertambangan dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 162. Atas permasalahan ini, Walhi, JATAM, bersama dua warga mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 2021. Namun, hakim berpandangan bahwa pengujian pasal ini prematur. Jika merujuk keterangan pemerintah dalam pengujian pasal ini pada 2010, Pasal 162 dimaksudkan untuk melindungi pelaku usaha yang sudah melaksanakan kewajibannya terhadap pemegang hak tanah sebelumnya. Jadi, jika semua kewajibannya dilaksanakan, harusnya tidak ada lagi gangguan atau rintangan dari pemegang hak sebelumnya.
Jika merujuk pada keterangan Akbari dalam pengujian pasal yang sama pada 2021, penerapan Pasal 162 telah melebar dan menimbulkan tafsir seluas-luasnya, sebab perumusannya tidak memenuhi asas legalitas. Menurutnya pula, pasal ini perlu diperbaiki dengan melihat elemen kesalahan dan tujuan pelaku. Jadi, penerapannya harus dikembalikan pada konteks melindungi pemegang izin usaha yang telah melaksanakan kewajibannya kepada pemilik hak sebelumnya yang merintangi karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Sayangnya tidak terjadi perbaikan rumusan Pasal 162 layaknya 28 ayat (2) UU ITE, sehingga ini masih menjadi persoalan serius saat ini dan ke depan.
Baca: Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Meningkat, Bagaimana Praktik Anti-SLAPP di Indonesia?
Bagaimana SLAPP bekerja?
Penggunaan Strategic Law Suit Against Public Participation (SLAPP) membungkam partisipasi publik, telah marak terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Istilah SLAPP diperkenalkan oleh Pring ketika menganalisis adanya fenomena penggunaan jalur hukum untuk menanggapi protes atau keberatan publik di Amerika. Dalam bukunya bersama Canan, diuraikan kalau SLAPP bekerja dalam tiga tahap.
Pertama, orang-orang mengeluarkan pendapat atau posisinya terhadap permasalahan publik yang justru bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu. Kedua, pihak tertentu ini lalu menggugat atau melaporkan orang-orang yang mengeluarkan pendapat sebelumnya. Situasi yang sebenarnya politis berubah menjadi persoalan hukum secara personal, misalnya laporan pencemaran nama baik. Ketiga, jika pengadilan mengakui kalau permasalahan itu adalah bentuk partisipasi masyarakat, perdebatan akhirnya kembali pada titik semula. Jika pengadilan mengakui laporan tersebut bukan soal partisipasi, laporan berlanjut menjadi sengketa hukum biasa.
SLAPP memiliki motif politik-ekonomi tersembunyi dan menggunakan gugatan atau pelaporan yang tidak berdasar. Ini adalah taktik untuk menguras sumber daya, kapasitas, dan moral melalui proses peradilan yang kadang panjang dan mahal. Sayangnya, SLAPP ini sering kali sulit untuk diidentifikasi karena ada di wilayah yang abu-abu, sebab menggugat atau membuat laporan pidana adalah tindakan yang sah. Padahal, harusnya persoalan ini tidak perlu masuk ke ranah pengadilan.
Identifikasi SLAPP ini semakin sulit karena pada praktiknya menggunakan pasal-pasal yang ambigu atau karet. Setidaknya di Indonesia, pasal pidana yang digunakan misalnya pencemaran nama, ujaran kebencian, penyebaran berita bohong, dan menghalangi operasi pertambangan yang sudah punya izin. Contoh lainnya adalah penggunaan tindak pidana larangan penyebaran ajaran komunisme dalam kasus Budi Pego.
Baca: Ketika Kritik Pencemaran Lingkungan Karimunjawa Berujung Bui
Dengan pedoman internal penegak hukum yang sifatnya terbatas pada perkara lingkungan hidup, SLAPP tersebut setidaknya masih dapat diatasi. Akan tetapi, penafsiran pasal di dalamnya justru tetap keliru dan ambigu. Dalam putusan 6459 K/Pid.Sus/2024, majelis hakim telah mempertimbangkan kalau konteks dari postingan yang diunggah Daniel tidak terlepas dari permasalahan lingkungan dan ucapannya adalah kritik dengan kalimat sindiran. Sayangnya, majelis hakim tidak menyimpulkan apakah rumusan pasal ujaran kebencian terpenuhi atau tidak. Jika kita melihat pasal, konteks dan niat menjadi tidak terbukti sehingga seharusnya pasal ujaran kebencian turut dinyatakan tidak terpenuhi.
Sementara itu, di kasus Haslilin dan Andi Firmansyah, aksi mereka bersama warga yang menyuruh ekskavator mundur dianggap sebagai bentuk tindakan merintangi oleh majelis hakim. Oleh karena itu, Pasal 162 dinyatakan terbukti. Namun, di bagian lain pertimbangannya, kita bisa mendapati kalau motif atau niat dari tindakan tersebut bukan untuk keuntungan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama. Mereka bergerak karena adanya kekhawatiran akan dampak pertambangan terhadap lingkungan hidup mereka.
Kalau saja, rumusan dan penafsiran terhadap tindak pidana lebih jelas, mereka seharusnya dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana. Walaupun bisa lepas dari hukuman karena ada perlindungan melalui ketentuan Anti SLAPP berdasarkan Pasal 66 UU PPLH, kekeliruan penafsiran pasal ini pada akhirnya turut perlu diperbaiki.
Perlunya perlindungan partisipasi publik dan perbaikan rumusan pasal pidana
Adanya Anti SLAPP dalam Pasal 66 UU PPLH, yang diikuti oleh penegak hukum dalam aturan internalnya saat ini adalah hal positif untuk perlindungan partisipasi publik. Tetapi, ini sifatnya terbatas untuk kasus-kasus pejuang lingkungan hidup. Perbaikan penafsiran pasal-pasal yang rumusan dan tafsirannya ambigu pun tidak dapat mengatasi fenomena SLAPP di Indonesia.
Pengaturan Anti SLAPP di Indonesia berkembang dari adanya permasalahan di bidang lingkungan hidup sehingga perlindungan ini akhirnya turut diatur dalam UU PPLH. Tetapi, jika merujuk pada studi Pring dan Canan, SLAPP ini mengarah pada bentuk pembungkaman partisipasi publik pada umumnya. Pun dalam pengaturan seperti di negara bagian Amerika Serikat maupun Kanada, yang mana pengaturan perlindungan dari SLAPP tidak spesifik pada satu sektor saja seperti lingkungan hidup.
Tentu saja, rumusan Anti SLAPP di UU PPLH juga masih ada kurangnya. Mulai dari rumusan yang mensyaratkan adanya tindak pembalasan, hingga bentuk partisipasi yang dilindungi yang harusnya tidak dibatasi pada tindak pembalasan terhadap partisipasi yang dilakukan melalui jalur hukum seperti menggugat izin perusahaan. Setelah ada aturan turunan seperti Peraturan Mahkamah Agung, perlindungan ini akhirnya cukup efektif untuk digunakan, khususnya untuk pelaporan pidana terhadap pejuang lingkungan.
Baca: 2 Pembela Lingkungan dari Torobulu Didakwa Halangi Aktivitas Pertambangan
Dari keterbatasan tersebut, kita seharusnya dapat menarik upaya perlindungan tersebut ke arah yang lebih luas. Tentu, kondisi Indonesia mesti menjadi perhatian agar aturan yang didorong juga bisa menjawab persoalan yang ada. Merujuk pada contoh peraturan perlindungan di negara lain bisa saja dilakukan, tetapi konteksnya bisa berbeda. Misalnya, Amerika lebih mendefinisikan SLAPP dalam kerangka gugatan, sebab memang kecenderungan SLAPP menggunakan gugatan perdata, bukan pidana. Di Indonesia, SLAPP justru terjadi di pidana dan perdata.
Dorongan pengaturan perlindungan partisipasi ini juga mesti diikuti dengan perbaikan rumusan dan penafsiran pasal pidana. Contoh kasus yang saya sebutkan hanya bagian kecil. Pasal-pasal pidana yang lain bisa saja turut digunakan oleh penegak hukum. Tetapi, tidak semua pasal mesti diperbaiki, sebab ada yang memang sebenarnya rumusannya sudah jelas tetapi digunakan untuk laporan SLAPP, sebab tindakan ini memang berada di ruang abu-abu. Perbaikan perumusan dan penafsiran pasal pidana ini adalah bagian dari perbaikan untuk perlindungan dari laporan SLAPP bagi setiap orang di negara ini.
Editor: Agus Mawan W