Kaki Kodok Indonesia yang Berakhir di Meja Makan Orang Eropa 

Sekitar 14 spesies kodok dari Indonesia diekspor untuk dikonsumsi manusia. Bagian kodok yang paling diincar adalah kakinya.

Kaki Kodok Indonesia yang Berakhir di Meja Makan Orang Eropa
W.A. Djatmiko- Wikimedia

Makassar, bollo.id – Jutaan kodok dibunuh kemudian dikirim menuju Eropa setiap tahunnya, untuk diperdagangkan. Kodok liar ini diburu dan bagian yang paling diincar adalah kakinya. Sejumlah pihak menyebut ada eksploitasi besar-besaran dan praktik yang tidak manusiawi di sana.

Dalam sebuah legenda, para biksu di abad 12 mulai mengkonsumsi hewan amfibi ini. Di mana, pihak gereja mengklasifikasikan hewan ini dalam kategori ikan. Di beberapa budaya di Asia, kodok juga bagian dari bahan konsumsi seperti di Vietnam dan Tiongkok.

Sejauh ini, Belgia menjadi importir utama kaki kodok, menyusul Prancis, Belanda, Italia, dan Spanyol. Menariknya, 80 persen kebutuhan kodok di Eropa di-suplai dari Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian terbaru, meningkatnya permintaan kaki kodok di Eropa menjadi ancaman serius atas populasi hewan tersebut. Di antara tahun 2010 dan 2019, negara-negara di Eropa mengimpor kaki kodok dengan total mencapai 40 juta kilogram atau setara dengan 2 miliar kodok.

Kebanyakan kodok-kodok ini berasal dari Indonesia, Albania, dan Turki. Kaki kodok asal Indonesia ini pun berakhir di meja makan orang-orang Eropa.

Saking tingginya permintaan kaki kodok di Eropa berimbas pada kehancuran populasi kodok lokal di beberapa negara. Misalnya Indonesia, spesies kodok berkaki besar dari jenis kodok raksasa (Limnonectes blythii) dan kodok Malesia yang populasinya menurun drastis.

Sehingga, pengekspor beralih pada kodok pemakan kepiting yang ukurannya jauh lebih kecil dan umum. Di belahan dunia lainnya seperti Albania, eksploitasi besar-besaran berimbas pada hilangnya kodok air dan masuk dalam kategori spesies yang terancam punah. Hal serupa juga terjadi pada kodok air Turki, yang menurut temuan ilmiah terancam punah di Tahun 2032, jika perdagangannya tidak dikendalikan.

Sekitar 14 spesies kodok yang diekspor untuk konsumsi manusia yang berasal dari Indonesia. Empat spesies diantarnya mendominasi perdagangan Internasional, yakni jenis kodok sawah (Fejervarya cancrivora), kodok tegalan (Fejervarya limnocharis), kodok batu (Limnonectes macrodon), dan kodok banteng Amerika (Lithobates catesbeianus).

“Amfibi sangat rentan terhadap polusi, krisis iklim, dan jamur chytrid yang mematikan,” kata Sandra Altherr, salah satu pendiri dari Jerman Pro Wildlife.

“Selain itu, rasa lapar masyarakat Eropa yang besar dan terus-menerus akan kaki kodok memusnahkan populasi kodok liar di semakin banyak negara,” tambah dia.

Kekhawatiran yang sama juga diutarakan oleh Corey Bradshaw dari Institut Lingkungan Hidup Adelaide lewat publikasi di Journal Conservation Biology. Mereka menilai ada praktik ekonomi yang besar, sehingga mengancam punahnya hewan amfibi ini.

“Kemudian kita mulai menggali lebih jauh dan kami menyadari adanya perdagangan global secara besar-besaran yang tidak diketahui banyak orang. Ini mengejutkan. Jadi, selain menghancurkan tempat tinggal mereka, kita juga memakannya sampai mati,” terang Bradshaw.

Kenapa kaki kodok laris di Paris?

Prancis adalah salah satu negara impor terbesar kaki kodok. Seorang warga bernama Clement mengakui dirinya adalah pecinta kaki kodok. “Kaki (kodok) adalah yang terbaik,” ungkapnya.

Berdasarkan data dari pemerintahan Prancis, warganya mengkonsumsi sekitar 70 ton kaki kodok lokal per tahunnya. Dan sejak Tahun 1995, mengimpor sekitar 4.000 ton tiap tahunnya. 

Georges Blanc, seorang koki bintang tiga dari Vonnas telah mengembangkan bermacam racikan hingga  19 resep yang terhubung dengan kodok. Mulai dengan cara dipanggang, digoreng hingga mencampurkannya dengan krim dan apel.

Belum lagi festival kuliner lokal seperti Foire aux Grenouilles, yang menyediakan kodok sebagai hidangan secara besar-besaran. Festival ini juga disebut sebagai lebarannya penikmat kodok, yang berlangsung sejak Tahun 2009. 

Dalam dua hari perayaan dihadiri sekitar 20.000 penikmat kodok. Diperkirakan ada tujuh ton kaki kodok yang disiapkan, dibekukan dalam kardus, dan itu ludes. Tiap tahunnya, pengunjung dari perayaan ini juga semakin meningkat.

Penyaji makanan, Gisele Robinet, yang menyajikan menu andalan hewan amfibi ini mengaku bisa menghabiskan sekitar 150 – 200 kilogram per tiap pameran makanan yang dilakukannya.

Pemilik restoran lainnya, Le Galaubet mengenang masa kanak-kanaknya yang selalu menangkap kodok lalu meraciknya sebagai makanan.

“Waktu terbaik adalah di musim semi, ketika mereka bertelur. Mereka ada ribuan, bola-bola hijau besar yang menggeliat. Aku pernah melihat seluruh aliran ditutup oleh segunung kodok,” kata dia.

Tetapi keseruan yang digambarkan oleh Le Galaubet telah sirna, populasi kodok di negaranya mulai menurun. Bahkan, Kementerian Pertanian dan Perikanan Prancis melarang panen kodok untuk tujuan komersial.

Namun, beberapa wilayah masih agak melunak dengan pembatasan penangkapan kodok hanya untuk konsumsi pribadi. Ada dendanya mencapai €10.000 atau setara Rp162.333.000 dan penyitaan langsung kendaraan serta peralatan bagi yang melanggar.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

ollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut.
Skip to content