Spiral Kekerasan di Makassar Utara

Mengapa tawuran Sapiria–Borta terus berulang dan makin brutal? Bagaimana rangkaian insiden kecil berubah menjadi spiral kekerasan yang membakar rumah dan melibatkan senjata?

Ilustrasi pembakaran rumah/Foto: pixabay
Ilustrasi pembakaran rumah/Foto: pixabay

Eksplainer


Bollo.id – Perseteruan warga Sapiria dan Borta di Kecamatan Tallo, Makassar, kembali mencapai puncak pada 18 November 2025. Rumah-rumah dibakar dan menjadi sasaran amuk dalam konflik yang berulang itu.

Pertikaian dua kampung ini telah berlangsung bertahun-tahun. Sejumlah insiden kecil hingga kekerasan serius mendahului ledakan yang terjadi pekan itu. Rangkaian kejadian tersebut membentuk pola spiral, berputar dan mengarah ke puncak konflik. Pruitt menyebut pola ini sebagai “spiral eskalasi”.

Dalam buku Social Conflict karya Pruitt dan Rubin, yang diperbarui bersama Kim pada 2004, fase awal eskalasi ditandai dengan prasangka antarkelompok. Setelah itu muncul insiden pemicu seperti saling ejek, salah paham, perkelahian antarindividu, hingga kecelakaan yang dipersepsikan sebagai serangan. Setiap insiden memantik keinginan membalas. Dorongan mempertahankan harga diri melahirkan ancaman balik atau serangan fisik sebagai respons terhadap rasa diserang.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Tahap berikutnya adalah polarisasi. Dua kelompok terbelah tegas menjadi “kami” dan “mereka”, diiringi narasi negatif dan rumor yang beredar di antara warga. Eskalasi kemudian terjadi: frekuensi bentrokan meningkat, jumlah orang yang terlibat bertambah, dan penggunaan senjata kian marak. Kerugian material membengkak, membuat masing-masing kelompok enggan mundur dari konflik yang telah menuntut banyak biaya.

Menurut Pruitt, konflik hanya mereda ketika kedua pihak kelelahan atau mendapat tekanan dari luar—baik pemerintah maupun tokoh adat. Pada tahap ini, terbuka peluang negosiasi, mediasi, gencatan senjata, atau pembatasan interaksi antarkelompok.

Dalam bentrokan terakhir, warga saling lempar batu, mengayunkan senjata tajam, hingga melepaskan tembakan. Seorang warga tertembak, rumah-rumah terbakar, dan aparat turun menangani penyelidikan penembakan, kebakaran, serta dugaan aktor pemicu tawuran Sapiria–Borta.

Di kecamatan yang sama, warga Kandea dan Layang juga berseteru pada September lalu. Tawuran dengan batu dan senjata tajam itu tidak menimbulkan korban jiwa, namun rekamannya viral di media sosial. Akar perselisihan di Tallo terekam dalam penelitian Lisdayanty dan Dahri pada 2016 berjudul Studi tentang Tawuran Antar Warga di Kelurahan Rappojawa Kecamatan Tallo.

“Tawuran terjadi karena masalah kecil antarindividu yang tak diterima kelompoknya, lalu diperbesar hingga melibatkan banyak orang,” kata Piyu, warga setempat, dikutip pada 23 November 2025.

“Motifnya berbeda-beda, tapi intinya dendam lama. Karena tidak terima perlakuan kelompok lain, lalu membalas,” ujar warga lain, Udhin.

Pola serupa tampak pada geng motor Warbis di Kecamatan Rappocini. Pada Juni lalu, kelompok ini menantang dan menyerang beberapa kelompok lain di Makassar dengan dalih adu kekuatan. Tawuran juga marak di kalangan remaja.

“Ada faktor dari diri sendiri yang mendorong mereka ikut tawuran. Lama-lama menjadi kebiasaan dan dianggap keren. Balas dendam kemudian menjadi pemicu tambahan,” tulis Andrian dan rekan dalam studi kasus mereka pada 2024.

Konflik Sapiria–Borta, seperti halnya serangkaian tawuran lain di Makassar, memperlihatkan betapa rentannya pergeseran kecil menjadi kekerasan besar. Spiral konflik terus berputar, menunggu pemicu baru. Tanpa intervensi terstruktur dan konsisten, potensi ledakan berikutnya tinggal menunggu waktu.


Editor: Kamsah Hasan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Mereka yang Menolak Bungkam

Desa Laikang diproyeksikan terdampak kehadiran KITA karena sebagian besar lahan yang dialokasikan merupakan ruang hidup masyarakat