Delta Lakkang, Kota Makassar/Foto: Subarman Salim
Delta Lakkang, Kota Makassar/Foto: Subarman Salim

Lakkang Melawan dengan Gaukang

Tanah Lakkang menyaksikan periode revolusi ketika Jepang menghimpun sisa-sisa kekuatan menghadapi Perang Pasifik.

Jam digital di gawai menunjuk kurang beberapa menit dari jam 10 pagi, Minggu, 26 Oktober 2025. Cuaca tak segarang hari-hari sebelumnya, ada banyak gumpalan awan memayungi kami. Kampus Unhas sudah tidak terlihat lagi, terhalang oleh rumah penduduk dan kelok jalanan terakhir tempat kami muncul beberapa menit yang lalu. Delta Lakkang adalah tujuan kami pagi ini.

Sesaat sebelum menginjak papan penghubung yang berfungsi sebagai tangga guna menjangkau sebuah rakit, saya menebar pandangan ke dua sisi aliran sungai. Aliran Sungai Tallo ini di ujung hilir sana bertemu dengan anak Sungai Tello dan Pampang.

Di seberang, Lakkang hanya berjarak lebih dari sepuluh meter. Begitu dekat. Kurang dari lima menit, mesin penggerak dimatikan oleh pemilik jolloro (perahu semi-tradisional), sesaat sebelum ujung jembatan terapung yang dibangun di atas dua buah jolloro ini menyentuh bibir dermaga kecil itu. Sarana penyeberangan model begini juga bisa dijumpai di Cenrana, Kabupaten Bone. Orang-orang Cenrana menyebutnya pincara.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Sebenarnya, kami ingin menikmati lebih lama berada di atas sungai, menyaksikan rimbunan rumbia di tepian. Sekira 20-an menit di atas pincara, berasa seperti Indiana Jones yang baru saja memberikan kuliah umum bersama mahasiswa Fapertahut Unhas.

Daratan Lakkang menyambut selayak sahabat lama yang dengan sumringah mengucapkan, “Mai ki,” yang kira-kira bermakna “Selamat datang, saudaraku.”

“Mai ki” atau “sengka ki”, terucap sopan oleh beberapa perempuan paruh baya yang kebetulan sedang duduk beristirahat di bawah kolong rumahnya. Sapaan hangat itu hanya bisa kami jawab dengan sedikit anggukan dan sepotong kata, “Iye.”

Ini pengalaman pertama saya ke Lakkang, berkat ajakan sahabat Sofyan, dosen FIP UNM. Sofyan saat ini sedang menyiapkan rangkaian kegiatan festival “Gaukang ri Lakkang” dan workshop penulisan “Sejarah Kampung” dengan tema “Lakkang: Sejarah yang Terlupakan, Ruang yang Terpinggirkan.”

Di rombongan kami juga ada Khaerunnisa, dipanggil Ica, dosen STKIP Muhammadiyah Andi Mattappa Pangkep. Ica, meski sebagai tim tambahan, sebenarnya lebih paham tentang Lakkang. Ia memimpin kami menelusuri jalur setapak di lorong-lorong yang mengikuti tata letak rumah warga.

Banyak warga yang mengenali Ica. Itu berkat sejarah yang telah dibangunnya beberapa tahun silam kala aktif sebagai relawan penyelenggara sekolah alam bernama Kelompok Belajar Tunas Kelapa.

Dengan reputasi sebagai penyelenggara pendidikan nonformal, Ica langsung menuju ke salah satu rumah Haji Bulan. Haji Bulan, yang sebelumnya telah mengetahui rencana kedatangan kami melalui anaknya, Uje, rupanya sudah menyiapkan dua mangkuk udang segar yang telah direbus. Menu lainnya adalah ikan bandeng bakar didampingi irisan mangga bercampur potongan cabai merah. Hidangan khas pulau itu menjadi amunisi kami menjelajahi Lakkang.

Jejak Sejarah Lakkang

Di bawah rimbun bambu, kami menemukan dua lokasi bungker peninggalan Jepang—situs sejarah yang seharusnya turut membawa nama Lakkang sebagai salah satu situs bersejarah. Tanah Lakkang menyaksikan periode revolusi ketika Jepang menghimpun sisa-sisa kekuatan menghadapi Perang Pasifik.

Lokasi bungker peninggalan Jepang/Foto: Subarman Salim
Lokasi bungker peninggalan Jepang/Foto: Subarman Salim

Rupanya, Lakkang tidak hanya menjadi saksi perang revolusi. Dahulu, di era kerajaan, Lakkang juga menjadi “rebutan”. Posisinya yang strategis memungkinkan Lakkang menjadi pos pengintaian musuh.

“Dulu pulau ini punya nama lain, yaitu Bonto Mallangngere,” kata Uje. Nama itu konon menunjukkan posisinya yang berada di antara dua kelompok yang kerap terlibat perang. Berdasarkan nama tersebut, bonto berarti “bukit” dan mallangngere berarti “mendengar”. Warga pulau ini, kata Uje, “mendengar perang meski tak terlibat.”

“Lakkang itu diambil dari dua kata tea lakka, yang berarti ‘tidak mau berpisah’ atau ‘tidak mau meninggalkan tempat ini,”Uje melanjutkan. Waktu itu, di tahun-tahun awal masuknya Islam, seorang putra mahkota Kerajaan Tallo diutus ke tempat ini. Namun karena terlanjur cinta, sang putra mahkota menolak pulang menggantikan ayahandanya, Raja Tallo, yang telah mangkat. Begitulah hikayat singkat sejarah penamaan Lakkang.

Melawan dengan Gaukang

Perbincangan kami dengan Uje tidak hanya soal sejarah, tapi juga mengulas masa depan Lakkang. Ada kekhawatiran yang membayangi warga saat mendengar rencana pembangunan jembatan penyeberangan.

“Warga sejatinya tidak membutuhkan jembatan,” ujar Sofyan. Rakit jolloro sudah cukup untuk menyeberangi sungai, mengantar mereka yang ingin ke kota, dan kembali ketika pekerjaan usai. 

Menurut Sofyan jika jembatan dibangun, maka mobil-mobil pun akan berdatangan, dan aneka proyek pembangunan akan segera mendesak warga.

Kedatangan kami di Lakkang memang masih tahap observasi untuk pra-festival. Namun perbincangan dengan Uje dan kekhawatiran Sofyan seketika menghadirkan bayangan masa depan Lakkang yang terancam. Ketika jembatan dibangun, mobil-mobil truk pengangkut material bangunan akan susul-menyusul. Atas nama ‘pariwisata’, Lakkang bisa saja disulap menjadi kawasan resor eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tajir nan parlente. Jika skenario itu terwujud, sebagian dari seribuan warga Lakkang mungkin dipaksa pergi.

Saya gusar membayangkan skenario kawasan wisata Lakkang itu. Ingatan saya terlempar ke tahun 2001 silam kala mendengar rencana reklamasi Losari. Kegusaran itu kini menjadi nyata: sunset indah yang dulu jadi magnet Losari kini direbut dan dikuasai oleh CPI. Jika Anda berdiri di tepian menghadap ke arah barat pada sebuah senja, yang tampak hanya kompleks elit dan bangunan masjid. Rupanya, masjid 99 kubah itu telah menjadi barter sunset.

Di seberang Delta Lakkang, kawasan bersejarah Tallo rupanya telah lama dipinggirkan oleh pembangunan. Sejak kekuasaan Orde Baru, Tallo dipaksa berbagi ruang dengan gudang-gudang yang tak berperasaan dan pabrik-pabrik yang tanpa ampun memuntahkan limbahnya ke sungai. Gudang-gudang yang sebagian berdiri di atas puing peninggalan Kerajaan kembar Gowa itu berkontribusi besar bagi peminggiran Tallo dari narasi sejarah kontemporer.

Lalu kami menyadari satu hal: sejarah Lakkang perlu segera ditulis ulang—ditulis dengan menggunakan perspektif dekolonisasi. Ditulis oleh orang-orang yang berpihak kepada warga; oleh orang-orang yang memahami bahwa komunitas lokal, masyarakat adat, dan kelompok rentan-marginal selalu menjadi pihak yang kalah ketika pemerintah memutuskan sebuah proyek pembangunan.

Lakkang harus dinarasikan ulang—bukan lagi sebagai kawasan wisata, melainkan sebagai sebuah situs sejarah yang keberadaannya dan kisah-kisah yang menyertainya tidak terpisahkan dari detak kehidupan yang berlangsung hari ini.

Dengan demikian, menulis ulang sejarah Lakkang memungkinkan lahirnya narasi-narasi perlawanan terhadap penyingkiran dan segala bentuk represi atas nama pembangunan. Gaukang ri Lakkang tidak lagi sekadar ritual, melainkan momentum warga untuk berkumpul, menyuarakan penolakan terhadap reklamasi, dan merayakan ruang hidup mereka sendiri.

Kata gaukang berasal dari gau, yang berarti “kerja.” Dalam keseharian orang Bugis–Makassar, gaukang dimaknai sebagai “kegiatan” atau “pekerjaan.” Namun dalam konteks Lakkang, maknanya menjelma lebih luas: menjadi pesta rakyat—sebuah perayaan gotong royong, ingatan, dan perlawanan yang berpijak pada tanah sendiri.


Editor: Kamsah Hasan

Subarman Salim

Peraih dana hibah penulisan dari Kemendikbudristek tahun 2017. Menjadi kontributor penulis pada buku “Jalur Teripang; Jejak dan Pemaknaan Baru Seratus Tahun Kemudian” oleh Marege Institute dan Ininnawa 2024.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay