24 Jam di Smelter Huadi

Buruh bersaksi di pengadilan: bekerja tanpa batas waktu, diperintah di luar tugas, dan diancam jika menolak.

Pemandangan dari udara pemukiman warga di desa Papan Loe yang terdampak debu berwarna kemerahan dari industri smelter milik PT Huadi Nikel Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Pemandangan dari udara pemukiman warga di desa Papan Loe yang terdampak debu berwarna kemerahan dari industri smelter milik PT Huadi Nikel Group/Iqbal Lubis untuk Bollo.id

Bollo.id – Risal masih ingat malam ketika tubuhnya nyaris ambruk di dalam area pabrik peleburan nikel Huadi Nickel Alloy Indonesia, di Kawasan Industri Bantaeng. Hari itu ia sudah dua belas jam bekerja sebagai operator alat berat. Tapi, perintah dari atasan membuatnya tetap berjaga hingga dini hari. 

“Saya pernah kerja dua puluh empat jam,” ujarnya di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 9 Oktober 2025.

Risal, Mursalim, dan Adiyatma sebagai saksi fakta, buruh yang terkena PHK PT Huadi, Kamis, 9 Oktober 2025/Andi Audia Faiza Nazli Irfan
Risal, Mursalim, dan Adiyatma sebagai saksi fakta, buruh yang terkena PHK PT Huadi, Kamis, 9 Oktober 2025/Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Siang itu, ruang sidang Bagir Manan terasa panas dan sesak. Di kursi saksi berdiri para buruh yang pernah bekerja di perusahaan smelter asal Tiongkok itu. Mereka dihadirkan oleh pihak tergugat dalam sidang hubungan industrial, perkara antara buruh yang dipecat dengan PT Huadi. Salah satu kuasa hukum tergugat, Ambara, menanyakan ihwal jam kerja 12 jam. Risal mengangguk, tapi menambahkan: “Kadang sampai 24 jam. Kalau ada protes warga, kami tidak boleh pulang sebelum ada pergantian sif.”


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Perusahaan itu diketahui menerapkan sistem dua sif, pukul 08.00–20.00 WITA dan 20.00–08.00 WITA. Tapi kenyataannya, para buruh kerap bekerja melampaui batas waktu, terutama saat terjadi protes warga di depan pabrik.

“Teman-teman sudah banyak yang mengeluh, tapi tidak bisa pulang,” kata Risal.

Jam Kerja Tak Kenal Akhir

Risal bukan satu-satunya saksi. Mursalim dan Adiyatma, dua buruh lain yang ikut bersaksi, mengungkap pola kerja yang sama. Jam panjang, lembur tanpa upah, dan perintah di luar tugas pokok. 

“Kalau kami protes, bisa diintimidasi,” kata Wandi, mantan leader yang diperiksa secara terpisah.

Dalam struktur kerja Huadi, buruh yang merasa keberatan mesti menyampaikan keluhan kepada leader—penyelia lapangan yang menjadi penghubung dengan manajemen. Tapi hubungan itu seperti jalan buntu. 

“Kami pernah mengeluh ke leader, tapi leader juga mengeluh balik, ‘Kalau saya sampaikan, saya juga bisa disalahkan,’” tutur Risal.

Sistem itu membuat keluhan buruh terhenti di tingkat bawah. Tidak ada saluran resmi yang menjamin suara mereka sampai ke manajemen. Bahkan leader yang mencoba menyampaikan keberatan bisa mendapat tekanan. 

“Kalau protes, berbahaya bagi kita,” kata Wandi. “Manajemen bisa keluarkan SP1, SP2, atau langsung evaluasi.”

Mursalim dan Wandi, leader yang diperiksa terpisah, Kamis, 9 Oktober 2025//Andi Audia Faiza Nazli Irfan
Mursalim dan Wandi, leader yang diperiksa terpisah, Kamis, 9 Oktober 2025//Andi Audia Faiza Nazli Irfan

Kerja di Luar Tupoksi

Dalam sidang itu pula, kuasa hukum tergugat bertanya kepada para saksi soal pekerjaan yang dijalankan di luar tugas pokok. Adiyatma bercerita, ia dan beberapa rekan pernah diperintah membantu di pelabuhan. Salah satunya ketika mereka harus menuju kapal tongkang di tengah laut untuk memindahkan material ore nikel.

“Pernah tali sling yang di kapal tug boat dengan tongkang itu putus. Kami yang di tongkang terombang-ambing sampai ke tengah laut menghampiri masuk lautan selayar,” katanya. “cukup lama teman-teman baru dievakuasi oleh (kapal) tub boat.”

Tak berhenti di situ, buruh juga diperintahkan membersihkan ruang muatan (palka) kapal yang baru sandar sore hari. Akibatnya, jam kerja menembus 16 jam. 

“Sandar kapal sore, diarahkan leader untuk cleaning palka,” ujar Adiyatma.

Risal pun mengalami hal serupa. Sebagai operator alat berat, ia semestinya hanya mengendalikan mesin di area produksi. Tapi suatu hari, ia diperintahkan masuk ke tungku peleburan untuk menyekop material. 

“Saya protes karena itu bukan tugas saya. Tapi orang perusahaan bilang, ‘Kerja saja’. Kalau tidak mau, diancam SP1 atau PHK,” ucapnya.

Ancaman itu membuat banyak buruh memilih diam. Mereka bekerja lebih lama dan di luar keahlian, tanpa pelatihan keselamatan kerja yang memadai.

Peraturan yang Tak Pernah Dibaca

Dalam pemeriksaan berikutnya, hakim anggota menanyakan apakah buruh pernah menerima atau membaca peraturan perusahaan. Jawaban para saksi seragam.

“Pernah dengar dari leader, tapi tidak pernah lihat tulisannya,” kata Mursalim.

Buruh lain, Risal, menambahkan bahwa saat diterima bekerja, mereka langsung ditempatkan di unit masing-masing tanpa ada sosialisasi dari HRD. 

“Tidak pernah dijelaskan peraturan perusahaan. Hanya dibilang, jangan keluar area pabrik selama jam kerja.”

Sistem yang tidak transparan itu berdampak langsung pada hak-hak buruh, terutama soal upah lembur. Para saksi mengaku tidak tahu bagaimana perusahaan menghitung lembur. 

“Selama kerja, tidak pernah dapat upah lembur,” kata Risal, Mursalim, dan Adiyatma serempak.

Istilah yang digunakan perusahaan hanyalah “insentif shift”. Istilah itu menutupi fakta bahwa para buruh bekerja melebihi delapan jam tanpa perhitungan lembur sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Kesaksian Buruh Perempuan

Dua hari sebelum kesaksian Risal cs, sidang menghadirkan Ningsi, buruh perempuan asal Bantaeng. Ia bercerita tentang malam ketika dirinya keguguran saat menjalani shift malam. 

“Saya minta tolong diganti karena sakit, tapi tidak bisa. Begitu pulang, saya sudah keguguran,” katanya sambil menahan air mata.

Majelis hakim terdiam sejenak mendengarkan. Dari hasil pemeriksaan dokter, penyebabnya adalah kelelahan akibat begadang. Waktu kerja yang melebihi batas itu tidak dihitung sebagai lembur.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, yang dihadirkan sebagai saksi ahli, menegaskan bahwa istilah insentif shift tidak bisa menggantikan hak lembur. 

“Kalau bekerja lebih dari delapan jam, harus dihitung sebagai lembur,” katanya di hadapan hakim.

Kerja Paksa Terselubung

Sidang hubungan industrial itu membuka sebagian kecil dari persoalan ketenagakerjaan di industri smelter Sulawesi Selatan. Sejak pabrik peleburan nikel tumbuh di Bantaeng, ratusan warga sekitar terserap menjadi buruh kontrak. Namun di balik kilau industri yang disebut-sebut menopang hilirisasi nikel nasional, tersimpan praktik kerja yang jauh dari layak.

Buruh yang seharusnya bekerja delapan jam per hari bisa terjebak hingga 24 jam di dalam pabrik. Tidak ada peraturan tertulis yang dibagikan, tidak ada upah lembur yang jelas, dan ancaman pemecatan membayangi setiap keberatan.

Lebih dari itu, kesaksian mereka memperlihatkan wajah buram dari industri nikel Indonesia. Keuntungan yang melimpah di atas tenaga manusia yang dikuras tanpa batas.


Baca juga artikel lain tentang KIBA:


Editor: Kamsah Hasan

2 Comments

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru