Teluk Yotefa dan Jembatan Merah/Sumber: Lautsehat.id
Teluk Yotefa dan Jembatan Merah/Sumber: Lautsehat.id

Ketika Hutan Mangrove Kehilangan Mama   

Bagaimana para perempuan di sekitar Teluk Yotefa menjaga hutan mama?

Deforestasi hutan mangrove di Teluk Yotefa, Jayapura, Papua kian memburuk. Ini berlangsung seiring peningkatan kebutuhan akan lahan untuk pengembangan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan pemukiman. Penebangan liar dan pembuangan sampah turut memperburuk kondisi hutan mangrove.

Namun di balik itu, satu ancaman yang jarang diperbincangkan padahal berdampak sangat mendasar, yakni pengabaian suara perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan dan pemanfaatan mangrove Teluk Youtefa. Padahal, begitu suara perempuan hilang, hutan mangrove bisa kehilangan masa depan.

Aturan Gagal Mengendalikan Pembangunan

Sejumlah aturan sebenarnya telah dibuat untuk melindungi kawasan mangrove Teluk Yotefa.  Kementerian Kehutanan telah menetapkan kawasan ini sebagai hutan konservasi dengan status Taman Wisata Alam (TWA), sebagaimana ditetapkan dalam SK Menteri Kehutanan RI No. 714/kpts/1996. Pada 2014, PERDA Kota Jayapura No 1/2014 juga menetapkan Teluk Youtefa sebagai hutan konservasi.

Nyatanya, dua regulasi itu seperti macan ompong dalam mencegah kerusakan hutan. Seorang laki-laki yang tinggal di Kampung Enggros menuturkan “Dulu waktu kecil saya melihat hutan mangrove ini seluas mata memandang, jauh sampai ke Nafri.”

Ketika menyebut kata Nafri, lengannya menunjuk kampung yang berjarak sekira 30 kilometer nun jauh di sana.

Kesaksiannya  bukan mengada-ada. Laporan penelitian Majalah Geografi Indonesia, Universitas Gadjah Mada, mencatat luasan hutan mangrove di Teluk Youfeta pada tahun 1994 mencapai 392,45 ha. Pada tahun 2017, luasan itu menyusut menjadi 233,12 ha. Artinya, dalam 23 tahun luasan hutan mangrove berkurang 159,34 ha, atau 41 persen.

Hutan konservasi Teluk Youtefa merasakan imbas lebih serius setelah Presiden Joko Widodo meresmikan Jembatan Merah pada Oktober 2019. Banyak pengusaha memanfaatkan pembangunan jembatan itu untuk menguasai kawasan tersebut sebagai lokasi bisnis. Jembatan yang kemudian menjadi ikon Kota Jayapura itu membuat kawasan lebih mudah diakses dan memperoleh reputasi baru sebagai lokasi rekreasi. Selain itu, pembangunan venue dayung untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 telah menyebabkan penimbunan sebagian ekosistem mangrove, selain menarik bisnis baru karena mulai akrabnya tempat tersebut dengan masyarakat kota.


Baca juga: Ekosida di Papua: Dampak Ekspansi Ekstraktif Bagi Masyarakat Adat


Sejumlah Efek Kerusakan Mangrove

Kerusakan hutan mangrove di Teluk Youtefa secara nyata memberikan dampak negatif pada ekosistem sekitarnya, terutama bagi spesies hewan yang bergantung pada keberadaan mangrove demi kelangsungan hidup mereka. Para nelayan menyebut bahwa sejumlah jenis ikan seperti bandeng (Chanos chanos), baronang (Siganus Sp.), dan ikan kerapu (Cephalopholis miniata) menjadi sulit ditemukan.

Sementara para perempuan memerinci berbagai jenis kepiting, udang, serta moluska seperti kerang dan keong juga mengalami penurunan populasi. Hewan lain seperti burung pemangsa, burung air, dan burung pantai juga semakin jarang terlihat di kawasan hutan mangrove tersebut.

Sebagai bagian dari pemegang hak ulayat atas tanah adat Teluk Youtefa, masyarakat Kampung Enggros dan Tobati resah melihat luasan hutan mangrove yang terus berkurang.

“Hutan mangrove dulu menjadi sumber kehidupan bagi kami, tetapi sekarang kondisinya makin rusak. Kami sulit mendapatkan hasil laut seperti dulu, dan kehidupan kami semakin berat,” ujar salah satu warga yang tinggal di kawasan Teluk Youtefa.

Bagi masyarakat Enggros dan Tobati, perubahan ini mengancam tradisi mangrove mereka. Dalam tradisi mereka, perempuan menjadi pengelola hutan mangrove utama. Bahkan, hutan mangrove di Teluk Youtefa lebih mereka kenali sebagai “hutan perempuan.”


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Perempuan dan Tradisi Mangrove

Kelompok perempuan setempat punya tradisi khusus yang berhubungan dengan hutan mangrove. Mereka menyebutnya “Tonotwiyat”, mengacu pada seruan atau ajakan khusus bagi perempuan untuk mengunjungi hutan mangrove beramai-ramai. Ketika seorang perempuan yang lebih tua menyerukan kata itu, semua perempuan, tua maupun muda, langsung bersiap dan bergegas pergi ke hutan mangrove.

Di sana, mereka mencari kerang, udang, dan kepiting. Ketika mereka berada di tengah hutan mangrove, laki-laki tidak boleh datang ke sana. Larangan ini berlaku karena para perempuan mencari hasil laut dalam keadaan telanjang.

Seorang laki-laki yang sengaja pergi ke hutan mangrove saat para perempuan berada di sana akan menerima hukuman adat. Dia wajib membayar denda berupa harta atau benda berharga kepada para perempuan. Laki-laki hanya diperbolehkan memasuki hutan mangrove setelah para perempuan meninggalkan lokasi tersebut. Laki-laki hanya dapat beraktivitas di hutan mangrove pada lokasi yang telah ditentukan, yang berbeda dengan tempat perempuan. Di sana, mereka mengambil kayu sebagai bahan tiang rumah dan menangkap ikan di muara sungai.

Tradisi masyarakat setempat mendorong perempuan untuk mengambil peran utama dalam pengelolaan hutan mangrove. Ini berhubungan erat dengan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya tersebut. Pengetahuan yang luas tentang tanaman mangrove dan keanekaragaman hayati membuat mereka sangat penting dalam melestarikan ekosistem hutan mangrove. Saat mencari kerang, udang, atau kepiting, mereka seringkali menanam kembali bibit pohon mangrove yang hanyut terbawa air laut.

Tapi peran perempuan dalam pengelolaan terbatas dan tidak mencakup pengambilan keputusan yang lebih dominan oleh laki-laki. Ini karena dalam dalam forum-forum adat yang berfungsi sebagai wadah pengambilan keputusan di Masyarakat Enggros dan Tobati, perempuan tidak mendapat tempat.

Meski demikian, para perempuan Engros dan Tobati selalu berusaha menjaga hutan mangrove. Saat ini, para perempuan setempat secara mandiri telah mendirikan sekolah alam untuk mendidik masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove. Langkah ini merupakan respons terhadap kekhawatiran mereka terhadap ancaman kepunahan hutan mangrove. Meskipun tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adat, mereka tetap berupaya menjaga kelestarian hutan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kerja-kerja edukasi.

Mereka tidak ingin hutan mangrove kehilangan mama.


Editor: Agus Mawan W


Yotam Senis

Akademisi dan pengamat isu-isu Papua yang dikenal karena karyanya di bidang penelitian sosial dan politik, terutama terkait persepsi etnisitas, konflik sosial, dan studi kapitalisme di Papua.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita