Tahun 2018, itu sudah tujuh tahun berlalu, ketika saya menapaki jalan berangkal menuju Desa Rante Balla di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu. Tujuh tahun yang tak banyak berubah. Perbedaannya hanya pada lalu lintas kendaraan truk dan alat berat yang semakin akrab dengan warga, serta jalan batu yang semakin lebar.
Dari jalan aspal terakhir, Desa Kadundung, setelah kampung diterjang banjir tahun 2024, berdiri jembatan beton yang lebar. Jembatan itu dibangun PT Masmindo Dwi Area – perusahaan penambang emas di kaki bentangan pegunungan Latimojong.
Satu perusahaan yang telah memulai eksplorasinya sejak 1990-an. Ketika warga di sepanjang bantaran sungai Suso, menerima mereka dengan tangan terbuka. Di Bajo, pusat awal kecamatan waktu itu, para peneliti “emas” itu menyewa rumah warga. “Saya masih SD waktu itu, sampai SMP, banyak orang bule datang dan tinggal di rumah,” kata Dayat (41 tahun), seorang warga.
Dayat dalam ingatannya, saat mendengar perbincangan peneliti, mengenai persediaan emas yang banyak di daerah Latimojong. “Semua orang senang. Karena akan ada tambang emas,” lanjutnya.
Pada 4 Agustus 2025, tak jauh dari rumah Dayat, ketika saya mengasoh di depan minimarket. Seorang lelaki paruh baya juga sedang beristirahat. Dia menghisap rokoknya sambil bersandar di motor. “Sebentar lagi orang Bajo, orang Luwu akan mandi emas,” katanya.
“Tapi mandi emas, tak bisa dipakai bersihkan badan. Karena bukan air. Uang saja, itu kalau mereka bisa kerja di perusahaan,” lanjutnya.
“Perusahaan itu sudah puluhan tahun. Sudah lama ada. Tapi baru-baru ini mereka mulai kelihatan serius, terus sungai juga jadi keruh. Mulai kelihatan rusak sedikit-sedikit.”

Dia tak ingin namanya disebutkan, sebab beberapa keluarganya bekerja di Masmindo. Sementara anak lelakinya, juga berusaha masuk bekerja dengan mengandalkan ijazah SMA.
Sementara di Belopa, pusat utama Kabupaten Luwu, dibeberapa kedai kopi, anak-anak muda saling bertukar informasi mengenai lowongan kerja di Masmindo. Di Luwu, sebagian besar generasi yang lahir di atas tahun 2000, memang telah berjarak dengan sungai. Tak banyak yang menjadikan sungai itu sebagai aliran hidup untuk memenuhi kebutuhan lauk di rumah atau bahkan mandi.
Saat ini, mandi di sungai, hanya sekadar kegiatan paruh waktu untuk rekreasi. Maka tak heran jika banyak warga yang tak lagi mengenal biota sungai tempat mereka hidup. Meski tak berhubungan langsung dengan aktivitas pertambangan saat ini, tapi banyak orang yang khawatir saat perusahaan beroperasi dampaknya akan makin buruk pada sungai.
Pada siang yang terik, awal Agustus itu, di Kampung Tuara, terlihat sungai kecil yang bermuara di sungai Suso. Sungai dengan batu besar yang alirannya penuh riak. Tapi airnya telah keruh sepanjang tahun. Lumpur tanah yang saban hari terbawa arus, mulai mengendap di pinggiran tebing. Aliran itu bersisihan tepat di samping Rumah Makan Pengkolan milik Suparman Polobuntu, seorang anggota legislatif Luwu.
Sempadan sungai itu ditumbuhi pepohonan yang dahannya saling bertaut. Teduh. Seorang buruh di Masmindo, mengirimkan foto aktivitas pembuatan jalan tambang di daerah Salu Bulo. Dari foto nampak jelas jalan tanah berwarna merah di atas punggungan bukit. Sementara di sisi jalannya terlihat lereng terjal. “Di bawah jalan itu aliran sungai yang langsung ke sungai Tuara,” katanya.
“Jadi kalau sisa tanah memang dibuang ke bawah situ. Kalau hujan pasti keruh sungai,” lanjutnya.
“Yang saya dengar itu akan jadi lokasi open pit untuk eksplorasi.”

Tahun 2025, PT Masmindo Dwi Area dalam beberapa rilis resminya telah mencanangkan proses pembangunan konstruksi pabrik pengolahan. Mereka menargetkan first gold-nya tahun 2026 dengan metode penambangan open pit. Dalam rilis resmi perusahaan, metode penambangan terbuka itu menjadi pilihan paling aman dan efektif, untuk endapan dangkal yang tersebar luas.
Hingga Oktober 2025, Masmindo sudah mulai melakukan peledakan. Pada Rabu, 29 Oktober 2025, ada 20 lubang di area tambang sudah diledakan. Peledakan itu telah berlangsung selama beberapa pekan. Dan bahan baku emas (ore) sudah dikumpulkan di stockpile.
Dalam dokumen Adendum ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) dan RKLH-RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup-Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup) Masmindo tahun 2019, menyatakan jika Masmindo Dwi Area adalah pemegang Kontrak Karya Generasi VII (Ketujuh) di kawasan Latimojong, melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sejak 16 Januari 2018 dan berlaku hingga 19 Juni 2050.

Bupati Luwu, Basmin Mattayang periode 2019-2024, dalam pertemuan di ruang kerjanya, mengatakan, jika kepemilikan perusahaan emas di Latimojong sudah berganti beberapa kali. Jika awalnya adalah PT Masmindo Eka Sakti, kemudian menjadi Masmindo Dwi Area. “Itu seperti take over,” katanya.
Mattayang bilang, perubahan itu hanya disampaikan ke pemerintah daerah dan urusan perubahan dan kepemilikannya tak diketahuinya secara detail. “Itu urusan pusat (Jakarta),” katanya.
Tahun 2018, Muhammad Amin, Manager Operasional Tambang Masmindo, mengakui jika perubahaan kepemilikan dari Masmindo Eka Sakti menjadi Masmindo Dwi Area. Tapi dia bilang, memakai nama Masmindo karena sudah terlanjur diketahui dan familiar di masyarakat.

Luas area konsesi Masmindo mencapai 14.390 hektare dan untuk eksploitasi tahap awal adalah 2.979,75 ha. Eksploitasi awal ini disebut sebagai proyek Awak Mas. Kelak kegiatan awal ini akan berlangsung di dua desa utama Rante Balla dan Boneposi.
Di Rante Balla, kebutuhan lahan yang akan dibebaskan untuk kegiatan eksploitasi seluas 600 ha. Lahan ini terdiri dari 688 bidang tanah, dimana sebanyak 49 bidang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), lalu 21 bidang tanah milik rumpun, dan 31 rumah penduduk. Dan sebanyak 618 bidang tanah merupakan tanah garapan, SKT, Akta Jual Beli, dan tanah yang belum ada penguasaannya.
Sementara di Boneposi, luas kebutuhan lahannya adalah 400 ha yang didalamnya terdapat 137 bidang tanah. Masing-masing 15 bidang tanah memiliki SHM, 7 bidang tanah sebagai tanah rumpun. Dan 115 bidang tanah tanah garapan, SKT, Akte Jual Beli, dan tanah yang belum ada penguasaannya.
Dan hingga saat ini, Masmindo sudah membebaskan lahan seluas 1.200 ha dengan biaya pergantian melebihi Rp100 miliar. Data ini, sesuai dengan Bea Peralihan Hak Tanah Bangunan (BPHTB).

Menggusur Kebun Warga
Cones adalah pria yang senang bercerita. Di lantai satu rumahnya di kawasan pasar lama Belopa, ia menerima saya dengan hangat. Kami meneguk kopi dan menghembuskan asap rokok. Meski sesekali kami tertawa dan ada lebih banyak adegan merenung.
“Mereka datang bawa senso. Ada Tentara dan Brimob, saya melawan tapi tak bisa,” kata Cones.
Hatinya menjadi remuk, melihat pohon cengkehnya roboh. “Saya mau bertahan, tapi orang-orang lain sudah melepas tanahnya. Saya mau masuk ke kebun dan lihat rumah, harus melewati jalan perusahaan. Jadi sudah tidak enak,” lanjutnya.
Cones menjadi bagian dari pembebasan di wilayah Rante Balla dimana tanahnya masuk dalam tanah Garapan tanpa SHM. Kepemilikannya sebanyak enam bidang tanah. Meski kemudian ganti ruginya mencapai mencapai Rp4 miliar, sebab tanah, pohon dan rumah digusur.
Hasil pergantian itu yang kemudian digunakannya membangun rumah di Belopa. Dan mencoba mencari sawah untuk digarapnya kembali. “Saya ini petani, jadi mau bagaimana lagi, akan kembali jadi petani,” katanya.
Cones lahir tahun 1978. Dia menjuluki dirinya anak gunung yang senang bertani. Kebun miliknya berada di kampung Nase. Satu nama yang merujuk pada tanaman jenis pandan, yang daunnya bisa dijadikan anyaman. “Kalau bisa memilih, saya mau tinggal di Nase saja. Di sana dingin dan sejuk dan sehat. Saya menanam sayuran di sekitaran rumah. Makan tidak susah.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Cones sedang membicarakan kerinduannya pada tanaman-tanaman dan lahannya. Asap rokok menari tak beraturan karena dihantam putaran kipas angin di udara gerah Belopa.
Cones ingat betul, ketika dia menghadiri sosialisasi yang diadakan PT Masmindo Dwi Area. Mulai dari petugas dan perusahaan hingga kejaksaan mengatakan, “Yang tidak mau terima ganti rugi (lahan), silahkan ambil di kejaksaan uangnya,” kata Cones.
Laporan Bollo, Nestapa di Latimojong yang mengisahkan bagaimana tak berdayanya Cones mempertahankan tanah garapannya. “Sekarang saya menerima ganti rugi itu. Mungkin ada banyak orang yang bilang, kalau saya ternyata hanya menunggu harga tinggi,” kata Cones.
“Tidak. Saya lebih memilih kebun itu. Sekarang uang ganti rugi itu terpakai dan akan habis. Kalau kebun hasilnya bertambah dan tumbuh toh,”
“Jadi saya pasrah saja. Apapun kata orang. Mau bela diri juga pada siapa?”
Iming-iming lain oleh perusahaan adalah warga yang dengan rela melepaskan tanahnya, maka keluarganya akan dimasukkan bekerja. “Saya bekerja di Masmindo. Saya tahu, disana masalah lingkungan itu tak begitu bagus. Jadi kerja saja,” kata salah seorang buruh.
“Sekarang saya juga bersyukur bisa kerja di Masmindo. Jadi ada penghasilan bulanan. Soal nanti apakah makin susah orang hidup, itu kita jalani saja.”
Kepala Desa Bone Lemo, Baso, yang wilayahnya dilewati oleh kendaraan Masmindo, menarik napas panjang. “Saya khawatir kelak semua orang akan berpasrah pada keadaan. Warga bicara debu, bicara tenaga kerja, bicara dampak lingkungan, hanya bagai angin lalu,” katanya.

Bupati Luwu, Patahudding, mengatakan salah satu klausul penting pemerintah daerah dan Masmindo adalah lingkungan. “Ini kan tambang belum operasi. Nanti kalau operasi, baru kita lihat. Jadi biarkan dulu, baru kita lihat. Kalau merusak, saya sendiri akan memimpin protes dan perlawanannya,” katanya.
Sementara itu, inisiasi untuk menjadikan bentangan Latimojong sebagai daerah konservasi juga berjalan. Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) serta pemerintah daerah yang masuk dalam bentangan Latimojong, Luwu, Latimojong, Sidrap, dan Enrekang. “Oh iya, saya setuju dan itu sedang berjalan dan dibicarakan. Latimojong benar-benar harus terjaga, karena itu salah satu sumber air,” katanya.
“Kalau itu jadi, misalkan menjadi Taman Nasional, saya akan mengusulkan, kantornya lebih baik di Kecamatan Latimojong. Biar dekat dekat tambang. Jadi akan lebih mengawasi,” lanjutnya.
Bupati Telah Menyaksikannya?
Pada 4 Agustus 2025, sekitar pukul 22.00 WITA, Bupati Luwu, Patahudding, menyandarkan punggungnya di sofa cokelat rumah jabatannya di Belopa. Dia terlihat kurang sehat dan kelelahan. Suaranya sedikit parau. “Maaf kurang enak badan,” katanya.
Bupati Pata – begitu sapaan akrabnya – adalah seorang politikus kelahiran Kampung Cilallang. Dia mengikuti kontestasi Pemilihan Umum Bupati tiga kali. Dan menang terpilih pada kontestasi ke tiga-nya.
Malam itu Pata berbicara dengan nada datar. Dia tahu, Masmindo adalah perusahaan besar yang bisa menyerap tenaga kerja di Luwu. Baginya, investasi menjadi bagian penting untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. “Saya tidak main-main dengan itu. Saya ingin memastikan jika Masmindo bekerja dengan standar AMDAL yang baik,” katanya.
Ketika saya membicarakan kekeruhan sungai di Tuara, dan dapat mengancam biota air. Dia berkilah, “Sudah sejak lama sungai sudah rusak. Ikan dan udang itu hilang,” katanya.
“Saya kira itu karena penggunaan pestisida juga oleh masyarakat. Mereka mencuci semprot racun di sungai. Atau semprot tanamannya dan sisa pestisidanya mengalir ke sungai. Itu juga jauh lebih buruk.”
Tapi bagaimana meminimalisir kerusakan itu? “Pertanian alami,” katanya.

Pata lupa jika pilihan profesi bertani untuk anak muda di sebagian besar wilayah Luwu mulai menurun. Apalagi dihadapkan dengan pembukaan lapangan kerja pertambangan.
Ketika saya mengingatkan mengenai kisruh pelepasan lahan warga oleh perusahaan, Pata, menatap dengan datar. “Saya bilang ke warga dan perusahaan. Saya tentu ada di pihak warga,” katanya.
“Ada warga yang tak ingin lepas tanahnya. Tapi dengan terpaksa dan intimidasi, akhirnya dia rela,” kata saya.
“Nah itu kita lihat. Kalau dia ada sertifikat dan alas hak yang sah, saya pasti pasang badan. Tapi kalau tidak ada, itu susah,” jawab Pata.
Sementara penggunaan jalan desa dari Belopa menuju Rante Balla, juga digunakan oleh perusahaan sebagai lalu lintas kendaraan. Yudi Purwandi, Manager External Relation Masmindo, mengatakan penggunaan itu sudah dikonsultasikan dengan pemerintah daerah. “Perusahaan membangun jembatan dan memperlebar akses jalan, hingga makin baik,” katanya.
“Tentu saja, keselamatan bersama menjadi prioritas,” lanjutnya.

Pada 3 Agustus 2025, ketika menapaki jalan desa itu, truk besar membawa kendaraan berat. Lebar jalan desa yang hanya sekitar 4 meter menjadi tertutup. Semua kendaraan harus mengantre dengan pelan di belakang. Atau menepi untuk memberikan akses truk.
“Mengapa tidak membuat sendiri jalan akses?,” kata saya.
“Itu terlalu berisiko, karena akan mengubah kembali lanskap. Kalau dibuka jalan baru, bentangan akan berubah,” kata Yudi.
Atas dasar itulah, jalan desa dari Kadundung menuju Rante Balla sekitar 10 kilometer, telah dilebarkan. Penggunaan jalan merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah dan perusahaan. “Itu sewanya Rp10 miliar per 10 tahun,” kata Patahudding.
“Memang kecil, karena diukur dari nilai NJOP tanah di Latimojong,” lanjutnya.
“Kami (Pemda Luwu) maunya besar. Tapi itu kan ketentuan dari nilai tanah. Jadi tidak bisa apa-apa.”
Menambang dengan Dukungan Kedatuan
Tahun 2018, ketika saya mengunjungi camp Masmindo di wilayah Rante Balla, nampak jelas foto anggota kedatuan Luwu terpajang. Manager Operasional Tambang, Muhammad Amin dengan bangga menjelaskannya.

Dia juga sumringah bilang, jika kedatuan telah memberikannya sebuah badik sebagai tanda saling dukung. Baginya, Masmindo dan kedatuan Luwu saling akan terus mempertahankan kelestarian adat dan kebudayaan di Luwu.
Hingga pada 15 Juni 2025, sebelum perusahaan meledakkan dinamit pertamanya untuk memulai penambangan. Perusahaan mengunjungi Kedatuan Luwu untuk meminta restu. “Itu seperti sowan, ke pemangku adat di Luwu,” kata Yudi Purwandi, Manager External Relation Masmindo.
Liputan ini didukung Konsorsium Pembaruan Agraria Sulawesi Selatan
Editor: Tim Redaksi Bollo.id
Penata Artikel: Sahrul Ramadan
