Intimidasi dan Ancaman Ekologi di Blok Tanamalia

Masyarakat tidak ingin kampungnya rusak. Saat ini, ruang untuk bertani sudah semakin sempit akibat perluasan tambang.

Aktivitas eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel
Aktivitas eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel

Mes berwarna putih-putih berjejer di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Deretan bangunan itu menjadi tempat tinggal karyawan PT Vale Indonesia, salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia. 

Siang itu, tujuh orang tampak berkumpul di tengah-tengah mes. Entah apa yang mereka bicarakan. Saat ini, memang belum ada aktivitas eksplorasi di wilayah tersebut setelah masyarakat menolak kehadiran PT Vale.

Namun, perusahaan terus berupaya agar bisa beroperasi di dalam konsesi. Akibatnya, masyarakat yang menolak kerap mendapat intimidasi, bahkan ancaman akan dipenjara.

Aswan Tahir, warga Desa Rante Angin, bercerita pernah didatangi empat polisi lengkap dengan senjata. Mereka datang bersama orang dari Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan dan Kabupaten Luwu Timur.

Menurut Aswan, kedatangan aparat dan pejabat itu disebut untuk bersilaturahmi. “Mereka mengaku mewakili perusahaan,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis, 14 Agustus 2025.

Aswan pun mengajak mereka masuk ke dalam rumah untuk minum kopi. Setelah itu, ia bertanya tujuan kedatangan polisi dan pejabat tersebut. 

Mereka menjawab ingin mencari solusi atas konflik, supaya masyarakat bisa diberdayakan di lokasi tambang. “Kami ingin perusahaan bisa jalan (beroperasi),” ujar Aswan menirukan ucapan polisi. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Ia lalu menegaskan bahwa masyarakat tidak ingin kampungnya rusak. Saat ini saja, ruang untuk bertani sudah semakin sempit akibat perluasan tambang. “Bayangkan sabarnya orang di sini. Kami harus bangkit dan berjuang,” tegasnya.

Perusahaan memang menjanjikan ganti rugi Rp200–300 juta per tahun untuk warga. Namun, menurut Aswan, angka itu sangat kecil jika dibagi dengan jumlah warga per desa. Jika dihitung, per orang hanya mendapat sekitar Rp100 ribu lebih per bulan.

“Saya tolak. Adakah orang hidup Rp100 ribu sebulan?” ujarnya. “Kok polisi tiba-tiba datang bela perusahaan (PT Vale).”

Demonstrasi warga di lokasi eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel
Demonstrasi warga di lokasi eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Tahun 2023/Foto: WALHI Sulsel

Menurut dia, kehadiran aparat justru menimbulkan kesan intimidasi. Padahal, tugas polisi adalah melindungi rakyat, bukan membela perusahaan. Hal senada disampaikan Hasmah Kaso, warga Desa Ranteangin berusia 44 tahun. 

Menurutnya, intimidasi terhadap warga sudah terjadi sejak 2022 hingga kini. Warga menolak aktivitas perusahaan dengan pelbagai cara: menghalangi alat berat masuk kampung hingga berunjuk rasa di camp perusahaan.

“Perusahaan langsung masuk eksplorasi tanpa sosialisasi,” kata Hasmah. Beberapa titik bahkan sudah sempat dibor. Namun pada 2023, aktivitas itu terhenti. Ia khawatir jika eksplorasi dilanjutkan, tanaman lada yang menjadi andalan petani akan rusak.

Polisi Jadi ‘Tameng’ Perusahaan

PT Vale mulai melakukan eksplorasi sejak 2022. Sebelum kontrak karya berakhir pada Desember 2025, pemerintah telah memperpanjangnya hingga 2035. Sejak awal, penolakan warga di Blok Tanamalia berhadapan langsung dengan aparat. 

Hasmah menyebut, polisi mengancam akan membakar kendaraan warga yang melawan. Situasi itu membuat masyarakat terus merasa was-was. “Sampai sekarang warga tak tahu apakah pemerintah betul-betul mengeluarkan izin?” ujarnya. “Vale mengaku memiliki izin perluasan wilayah konsesi.”

Polisi di lokasi eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel
Polisi di lokasi eksplorasi di Blok Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Tahun 2023/Foto: WALHI Sulsel

Meski ancaman datang bertubi-tubi, semangat petani untuk melawan tak surut. Sebab, lada adalah sumber penghasilan utama mereka. Apa pun barang yang ingin dibawa perusahaan ke camp selalu dihalangi warga, termasuk bahan bakar.

Rusni Rasyid, warga Desa Loeha Raya, menambahkan bentuk intimidasi lain yang dialami. Menurutnya, warga sering didatangi orang perusahaan di kebun lalu diminta menandatangani kertas pernyataan. Jika menolak, mereka diancam dipenjara.

“Sekitar 300 titik sudah dibor. Perusahaan masuk ke kebun warga untuk eksplorasi,” ucap Rusni. “Padahal tidak pernah ada sosialisasi ke warga.”

Ia menilai perusahaan hanya memikirkan keuntungan, tanpa peduli dampak. Jika tambang terus berjalan, penghasilan warga akan hilang, air bersih makin sulit didapat, dan Danau Towuti terancam tercemar.

Bahkan, aktivitas Vale saat ini telah mencemari lingkungan di Desa Lioka, Kecamatan Towuti. Tumpahan minyak High-Sulfur Fuel Oil (HSFO) dari kebocoran jalur pipa perusahaan. Akibatnya, berdampak pada persawahan, aliran sungai, dan danau.

Lahan warga tercemar di Tanamalia, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, 5 Juli 2025/Foto: Risal
Lahan warga tercemar di Desa Lioka, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, 24 Agustus 2025/Foto: Warga

Sementara itu, Kepala Bidang Pertanahan Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Pemprov Sulsel, Fakhruddin mengaku tidak tahu persis soal konflik tersebut. Ia bilang masih membutuhkan laporan penyebab perselisihan antara warga dan perusahaan.

“Saya tidak tahu detail kasusnya,” singkatnya dalam suatu diskusi tentang konflik agraria, Jumat, 25 Juli 2025.

Ancaman Ekologi dan Habitat Satwa

Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel, Zulfaningsih HS menyebut ancaman ekologi akan sangat besar jika PT Vale menambang secara masif. 

Blok Tanamalia kata dia, merupakan bentang alam dengan tutupan hutan penting yang menjadi habitat satwa endemik seperti anoa, babi rusa, dan burung maleo.

Jika tambang beroperasi, deforestasi akan memicu banjir dan longsor, sumber air masyarakat tercemar, dan lahan pertanian produktif berubah menjadi lubang tambang. Akibatnya, krisis ekonomi lokal tak terhindarkan.

“Ini semua terjadi kalau penambangan dilakukan secara masif,” tegas Zulfaningsih.

Ia menilai negara lebih berpihak pada investasi ketimbang keselamatan rakyat dan lingkungan. Negara absen melindungi hak atas tanah dan ruang hidup masyarakat, sehingga konflik struktural tak terhindarkan.

Saat ini, PT Vale telah melakukan eksplorasi hanya berjarak 100 meter dari kebun warga. Dari situlah benih konflik mulai muncul. Apalagi pada 2024, pemerintah menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk PT Vale tanpa melibatkan masyarakat Loeha Raya.

Peta sebaran WIUP dan kawasan hutan Desa Loeha dan Ranteangin, Kecamatan Towoti, Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel
Peta sebaran WIUP dan kawasan hutan Desa Loeha dan Ranteangin, Kecamatan Towoti, Luwu Timur/Foto: WALHI Sulsel

Terpisah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Luwu Timur, Ober Datte, menegaskan bahwa pemerintah harus memprioritaskan kesejahteraan petani lada dan menyelesaikan persoalan ini secara komprehensif. 

Kepada PT Vale, ia menekankan perlunya komitmen terhadap masyarakat agar tetap menghormati hak-hak petani lada. “Ini bagian dari hak asasi manusia dan komitmen atas kesepakatan dengan masyarakat penggarap,” ujar Ober dalam surat rekomendasinya.

Head of Corporate Communication PT Vale Indonesia, Vanda Kusumaningrum, enggan bicara banyak merespons permintaan wawancara dan pertanyaan yang dikirimkan Bollo.id sejak Jumat, 8 Agustus 2025. ”Masih kita update,” singkatnya, Senin, 18 Agustus 2025.


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam

Mereka yang Menolak Pasrah

Anastasyah dan Asri, perempuan yang berjuang mempertahankan rumahnya dengan jalan masing-masing. Mereka menolak pasrah pada keadaan.

Semuanya Demi Hidup

Konflik agraria antar PTPN dan Warga Polongbangkeng bermula sejak lama. Para perempuan yang kini berusia sepuh