Suasana ruang kerja rumah pengupasan rajungan. Foto: M Rizaldi
Suasana ruang kerja rumah pengupasan rajungan. Foto: M Rizaldi

Peran Tak Tercatat Perempuan dalam Industri Rajungan

Di Desa Pajukukang, perempuan berperan penting dalam industri rajungan, baik dalam menyiapkan alat tangkap maupun bekerja di rumah pengupasan.

Bollo.id — Di sela-sela pohon bakau, di sepanjang sungai itu bersandar perahu-perahu nelayan. Di atasnya terdapat rakkang bertumpuk-tumpuk. Rakkang, alat yang digunakan nelayan di Desa Pajukukang untuk mencari rajungan. Bentuknya lingkaran dengan jaring yang terbuat dari tali, terikat pada besi dibalut selang.

Desa Pajukukang terletak di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros. Sungai di Desa Pajukukang ini warga sebut Sungai Panaikang, sebagai tempat bertemunya para nelayan dari Desa Pajukukang. Nelayan tuna hingga rajungan.  

Dalam proses menangkap ikan maupun rajungan ini, para perempuan berperan penting. Mereka mempersiapkan keperluan melaut sedari awal. Biasanya, perempuan nelayan memasukkan umpan, membuat, atau memperbaiki alat tangkap rajungan. Yang turun ke laut tangkap rajungan, laki-laki.

Hampir setiap hari, ketika sore dan sebelum suaminya ke laut, Santi memasukkan umpan ke dalam rakkang satu per satu di atas perahu, ada 500 alat tangkap berjejer di atas perahu suaminya. Kegiatan itu sudah dilakoninya sejak menikah dua tahun lalu.  

“Saya perbaiki rakkang, atau kasih masuk umpan ke dalam rakkang” ujar Santi sambil memperlihatkan rakkang yang telah diperbaiki.

Rakkang yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan. Foto: M Rizaldi
Rakkang yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan. Foto: M Rizaldi

Sebelum melaut, para istri nelayan memperbaiki atau mempersiapkan rakkang. Santi satu dari perempuan yang terlibat dalam kerja-kerja nelayan rajungan di Pajukukang. Di Pajukukang, data nelayan yang terdaftar di pemerintah desa sebagai pencari rajungan, ada 75 nelayan.

Penelitian Alfi Syahriani Hamzah (2022) menyatakan, perempuan, terutama dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, banyak terlibat dalam proses pra-tangkap hingga pasca-tangkap.

Alfi menjelaskan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam industri perikanan. Namun, di balik kontribusi itu, perempuan kerap menghadapi tantangan besar berupa triple burden atau beban tiga kali lipat. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Beban ini mencakup tanggung jawab dalam peran domestik, seperti mengurus rumah tangga dan keluarga, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Selain itu, perempuan juga dituntut untuk bekerja mencari penghasilan sekaligus terlibat dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. 

Kombinasi dari ketiga tanggung jawab tersebut membuat perempuan bekerja jauh lebih keras dibandingkan laki-laki. Sayangnya, kerja keras ini sering tidak diimbangi dengan pengakuan yang setara dalam struktur sosial yang ada.

Kontribusi yang dilakukan sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan strategis terkait pengelolaan sumber daya. Lebih lanjut, Alfi dalam penelitiannya menegaskan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang ada cenderung tidak sensitif gender, yang mengakibatkan ketidakadilan struktural bagi perempuan dalam industri perikanan.

Perempuan di Rumah Pengupasan: Tulang Punggung Industri Rajungan

Sebagian perempuan lain turut andil dalam usaha rajungan itu, yang paling banyak, bekerja sebagai pengupas rajungan. Di Pajukukang, ada 85 perempuan bergantung pada usaha  pengupasan rajungan ini. 

Mereka tersebar di empat rumah pengupasan yang masih aktif beroperasi hingga saat ini. Rumah pengupasan itu selain membuka peluang kerja bagi perempuan, juga membeli dan mengolah hasil tangkap rajungan dari nelayan. 

Seperti rumah pengupasan Citra Pesisir yang ada di Pajukukang sejak 2016. Rumah pengupasan itu terletak di Dusun Panaikang. Muhammad Bahri, Kepala Badan Permusyawaratan Desa di Pajukukang, yang mendirikannya. Setelah dia meninggal dunia, rumah pengupasan itu dikelola anaknya, Muhammad Afdal.

Saat ini, di rumah pengupasan Citra Pesisir ada 30  perempuan bekerja mengolah hasil tangkapan nelayan. Namun, kata Afdal,  perempuan yang bekerja tidak menentu, biasa ada yang tidak datang.

“Sekarang ini, kalau yang kerja hampir 30 orang, itu pun kalau masuk semua” ujar Afdal. “Karyawanku juga banyak mi yang menempuh hidup baru, banyak mi sudah berkeluarga.”

Sebelumnya, di awal membuka usaha pengupasan rajungan, perempuan yang bekerja ada 60 orang. Pekerja berkurang tidak hanya karena faktor berkeluarga, tetapi fluktuasi harga dari perusahaan penerima daging rajungan kadang membuat Citra Pesisir terlambat membayar upah.

Afdal terpaksa menunda membeli tangkapan nelayan, dan karyawan tidak dapat melanjutkan pekerjaan sebagai pengupas rajungan lalu memutuskan mencari kerja lain.

“Perusahaan ada beberapa yang pernah saya kirimkan barang (rajungan) tapi tidak lancar, tidak ada pembayaran, jadinya terkendala. Akhirnya lama-lama mereka kan butuh duit, otomatis pergi cari kerja di tempat lain” lanjut Afdal.

Jika nelayan sedang beruntung, biasanya dalam per hari, rumah pengupasan Citra Pesisir menerima tangkapan rajungan sebanyak 50 kg, ukurannya beragam, paling besar kira-kira seukuran tiga telapak jari. 

Perempuan yang bekerja di sana, tidak hanya datang dari Desa Pajukukang, juga dari Desa Tupabbiring, desa nelayan di utara Desa Pajukukang. Salah satunya Nuraeni. Perempuan berusia 34 tahun, telah 10 tahun melakoni pengupasan rajungan. Nuraeni harus membiayai kehidupan keluarganya setelah orang tuanya tiada dan adiknya sedang sakit.

“Saya sendiri yang mau (kerja), karena orang tua sudah tidak ada, sama ada adek ku yang kubiayai, karena adek ku sakit, begitu mi” ujar Nuareni seraya menyusun rajungan yang sudah  dikupas.

Nuraeni sedang menyusun daging rajungan yang telah dipisahkan dari kulitnya. Foto: M Rizaldi
Nuraeni sedang menyusun daging rajungan yang telah dipisahkan dari kulitnya. Foto: M Rizaldi

Nuraeni dan pekerja lain menghabiskan waktu setiap hari dari pukul 8.00-17.00, dan lembur kalau pasokan rajungan sedang banyak. “Capek sebenarnya, tapi mau mi diapa” kata Nuraeni. “Itu ji hilang capeknya kalau waktu terima gaji.”

Upah yang Nuraeni peroleh hanya cukup untuk membiayai kebutuhan dapur. Biasanya Ia menerima upah Rp170.000 seminggu, kalau sedang mengerjakan banyak rajungan bisa kantongi lebih dari itu. “Dulu pernah paling banyak Rp250.000.”

Dari upah itu, dia harus menghabiskan sebagian besar untuk membeli air setiap minggunya. Pajukukang sebagai desa pesisir, akses air cukup sulit.  Warga harus mengeluarkan anggaran Rp75.000 untuk mendapat satu kubik air.

Nuraeni keluarkan uang Rp150.000 per minggu hanya untuk air bersih. “Dua drum dibeli air tiap minggu”. Menurutnya hasil yang Ia dapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan di rumahnya. Selama ini, untuk kebutuhan rumah Ia hanya dibantu oleh kakaknya untuk membeli beras.

“Tidak cukup untuk sehari-hari, tapi saya kumpul-kumpul uang sama kakak ku untuk beli beras” ujar Nuraeni dengan nada sedikit pelan menahan isak tangis. “Saya juga belikan obat adek ku karena dia sakit, tidak bisa kerja.”

Nuraeni berharap, harga rajungan naik agar upah ikut naik hingga dia bisa  memenuhi kebutuhan harian dengan layak. 

Menyoroti kondisi pekerja perempuan di rumah pengupasan rajungan, Idham Malik, warga Kabupaten Maros yang juga Community Development Coordinator LSM kelautan dan perikanan dari Yayasan Blue Alliance Indonesia-Banggai MPA area 11-13, memberikan tanggapan terkait sistem upah dan perlakuan terhadap buruh perempuan di Desa Pajukukang. 

Jika melihat standar pemberian upah minimum di Kabupaten Maros, katanya gaji yang diperoleh para pekerja itu tergolong kecil, dan melanggar aturan perburuhan, dan mendorong agar para pekerja perempuan dalam industri rajungan itu disebut sebagai nelayan.

“Gaji Rp170.000-Rp250.000 per minggu dengan 8 jam kerja perhari itu sangat kecil, mengeksploitasi pekerja, apalagi perempuan. Tukang bangunan saja yang daya kerjanya sama dapat memperoleh sekitar Rp100.000 per hari, kalau ini hanya Rp30.000-Rp50.000 per hari,” ujar Idham saat dihubungi melalui pesan WhatsApp.

“Buruh perempuan harus dihormati dan diberi upah yang layak. Upah sekecil itu melanggar aturan perburuhan mengenai standar upah minimum Kabupaten Maros,” ucapnya.

“Karena itu, perlu didorong agar para ibu-ibu menambahkan keterangan di KTP-nya sebagai nelayan atau karyawan swasta, sehingga dapat diberi upaya yang layak sesuai standar UMR kabupaten atau provinsi,” Idham menambahkan.

Selain itu, Idham juga memberikan saran kepada Pemerintah Kabupaten Maros untuk memperhatikan nasib pekerja perempuan di industri rajungan, agar dapat memperbaiki pendapatan yang diperoleh pekerja perempuan di Pajukukang.

“Pemerintah Kabupaten Maros harus memperhatikan warga yang menjadi buruh lepas di perusahaan tersebut. Memberikan teguran secara tertulis kepada perusahaan untuk segera memperbaiki nasib kaum pekerja perempuan,” tegas Idham.

“Kemudian perusahaan sebaiknya menjadikan pekerja itu sebagai pekerja tetap yang memiliki status yang jelas dan menaati peraturan tentang gaji dan hak karyawan serta memberi upah berdasarkan standar upah minimum kabupaten,” Idham menyudahi.

***

Satu per satu kapal nelayan bersandar di bagian belakang rumah pengupasan yang langsung terhubung dengan bibir sungai, para pekerja bersiap untuk mengambil rajungan segar itu. Hasil tangkapan rajungan sebentar lagi akan diolah dan dikemas.

Rajungan di Pajukukang tidak hanya berasal dari nelayan yang mencari di garis pantai desa itu. Rajungan juga datang dari pulau-pulau terdekat yang dibawa langsung oleh nelayan pulau untuk dijual ke pengepul dan dimasukkan ke rumah pengupasan yang ada di Pajukukang.

Laiknya ruang kelas di sekolah, saat memasuki rumah pengupasan itu, terdapat bangku-bangku dan meja-meja yang ditempati untuk bekerja. Di atas meja terdapat wadah penyimpanan rajungan, seperti mangkuk-mangkuk berukuran kecil, pisau dapur, dan ember.

Suasana ruang kerja rumah pengupasan rajungan jika sedang tidak ada karyawan. Foto: M Rizaldi
Suasana ruang kerja rumah pengupasan rajungan jika sedang tidak ada karyawan. Foto: M Rizaldi

Dengan sigap, pekerja memproses rajungan dengan cara memasak rajungan terlebih dahulu, hingga badan rajungan terlihat merah, lalu badan dan capitnya dipisahkan dan disimpan ke wadah yang berbeda lalu para karyawan akan membagi tugas mereka untuk mengerjakannya.

Biasanya dalam tiga kelompok, yang pertama kelompok yang akan memisahkan kulit bagian capitnya, kelompok kedua memisahkan antara badan dagingnya, dan kelompok yang bertugas untuk membagi jenis rajungan sesuai ukurannya lalu dikemas. 

Rajungan-rajungan hasil kupasan para perempuan Pajukukang ini dikirim lagi ke gudang di Kawasan Industri Makassar untuk lanjut ke negara pembeli seperti Tiongkok, Singapura, dan Thailand.

M Rizaldi

M Rizaldi adalah seorang yang aktif di komunitas dan menjadi relawan penuh waktu. Ia Bergiat di Toala.id. Menginisiai ruang kolektif yang disebut sebagai Maros Point, dan juga bekerja di Bollo.id.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita