Ilustrasi, Oligarki dan ketimpangan sosial/Foto: The Plato Society/squarespace-cdn.com
Ilustrasi, Oligarki dan ketimpangan sosial/Foto: The Plato Society/squarespace-cdn.com

Oligarki dan Ancaman bagi Masa Depan Generasi Muda

Relasi kolusif antara elite politik dan bisnis menciptakan struktur kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat menderita.

Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah dan populasi muda yang besar, memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa arah kebijakan pembangunan nasional terus didominasi oleh oligarki yang berkolusi dengan kekuatan neoliberal. Setelah reformasi, negara semakin membuka jalan bagi bentuk baru kolonialisme internal, di mana elite politik dan ekonomi menguasai sumber daya nasional dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak, terutama masyarakat lokal dan adat.

Lebih jauh, arah kebijakan pasangan Prabowo-Gibran yang berkomitmen melanjutkan program-program rezim Jokowi menimbulkan kekhawatiran besar. Kebijakan hilirisasi tambang dan ekstraksi sumber daya alam, yang digadang-gadang sebagai upaya meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional, justru menunjukkan pola yang tidak berpihak kepada keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis. Proyek hilirisasi seringkali memicu perampasan tanah masyarakat adat, menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif, serta memperkokoh dominasi korporasi besar. Masyarakat lokal yang hidup bergantung pada tanah dan ekosistemnya justru dipinggirkan, sementara elite politik dan bisnis terus mengukuhkan kekuasaan mereka.

Relasi kolusif antara elite politik dan bisnis ini menciptakan struktur kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat menderita. Fenomena ini tidak hanya menghambat pemerataan kesejahteraan, tetapi juga membahayakan keberlanjutan lingkungan dan demokrasi. Generasi muda, yang seharusnya menjadi motor perubahan, justru menjadi kelompok yang paling rentan terkena dampaknya.

Generasi Muda dalam Cengkeraman Oligarki

Dominasi oligarki menciptakan ketimpangan yang sangat terasa dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk peluang ekonomi bagi generasi muda. Ketergantungan negara pada sektor ekstraktif sumber daya alam, seperti tambang, perkebunan kelapa sawit, dan migas, menghasilkan struktur ekonomi yang minim diversifikasi. Industri berbasis ekstraktif ini, selain merusak lingkungan, menciptakan lapangan kerja yang terbatas dan tidak beragam.

Sebagian besar tenaga kerja yang tercipta di sektor ekstraktif bersifat rendah keterampilan, sementara generasi muda dengan pendidikan menengah hingga tinggi kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini memicu fenomena brain drain dan pengangguran terdidik, di mana banyak lulusan muda terpaksa bekerja di sektor informal atau mencari peluang di luar negeri. Ketergantungan ekonomi pada sektor ekstraktif juga membuat negara gagal mengembangkan sektor-sektor yang inovatif, seperti teknologi, manufaktur berkelanjutan, dan industri kreatif, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi modern dan ramah lingkungan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Selain itu, masyarakat adat dan komunitas lokal yang terkena dampak langsung dari eksploitasi sumber daya alam menghadapi kehilangan lahan dan akses terhadap mata pencaharian tradisional. Akibatnya, generasi muda di komunitas ini tidak memiliki pilihan selain menjadi buruh murah di sektor ekstraktif atau bermigrasi ke kota-kota besar tanpa jaminan pekerjaan yang layak. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang semakin memperdalam ketimpangan sosial.

Sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, juga tidak luput dari dampak buruk oligarki. Privatisasi pendidikan membuat akses terhadap pendidikan berkualitas semakin terbatas bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sementara itu, elite menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk memonopoli pendidikan terbaik, menciptakan siklus ketimpangan yang sulit diputus.

Selain itu, generasi muda menghadapi tantangan besar terkait lingkungan. Proyek-proyek ekstraktif yang didukung oleh kolusi politik telah merusak ekosistem secara masif. Polusi air dan udara, deforestasi, serta monokulturisasi menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup. Generasi muda akan mewarisi kerusakan lingkungan yang parah, yang tidak hanya mengancam kesehatan tetapi juga ketahanan pangan dan keberlanjutan ekonomi.

Kerentanan Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Modal

Dominasi oligarki tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga melemahkan demokrasi. Dalam arena politik, pemilu sering kali menjadi ajang pertarungan modal, di mana kandidat dengan dukungan finansial besar memiliki peluang lebih besar untuk menang. Hal ini menciptakan politik transaksional yang mengabaikan aspirasi rakyat.

Hukum dan kebijakan publik menjadi alat yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. Undang-undang kontroversial seperti UU Cipta Kerja menunjukkan bagaimana suara rakyat diabaikan demi kepentingan korporasi besar. Generasi muda, yang seharusnya menjadi aktor perubahan, justru semakin apatis terhadap politik karena merasa suaranya tidak berpengaruh.

Ironisnya, arah kebijakan yang dilanjutkan oleh pasangan Prabowo-Gibran menunjukkan bagaimana oligarki tetap menjadi arus utama dalam pengambilan keputusan nasional. Hilirisasi tambang, misalnya, tidak didukung oleh upaya perlindungan masyarakat adat dan lokal. Alih-alih menjadi subjek pembangunan, mereka kerap kali menjadi korban, dengan tanah adat yang dirampas untuk proyek infrastruktur dan industri ekstraktif.

Perlawanan dan Harapan untuk Generasi Muda

Namun, di tengah ancaman ini, generasi muda memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan perlawanan. Sebagai kelompok yang paling adaptif terhadap perubahan dan memiliki akses luas terhadap informasi, generasi muda dapat memainkan peran krusial dalam mendorong transformasi sistemik. Langkah pertama adalah memperkuat solidaritas antar kelompok masyarakat. Generasi muda dapat bekerja sama dengan komunitas adat, buruh, dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk memperjuangkan keadilan sosial.

Selain solidaritas, gerakan pembangkangan sipil (Civil Disobedience) dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengkritik dan melawan kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Pembangkangan sipil, seperti aksi damai, mogok massal, atau boikot, memiliki kekuatan untuk memberikan tekanan sosial dan politik yang besar terhadap pemerintah. Sejarah menunjukkan bahwa penguasa seringkali takut terhadap tekanan publik yang meluas, karena hal itu dapat melemahkan legitimasi dan kepercayaan publik pada pemerintahannya. Dengan mengobarkan gerakan pembangkangan sipil yang terorganisasi, generasi muda bersama masyarakat sipil dapat mengubah arah kebijakan yang tidak adil.

Teknologi, khususnya media sosial, dapat menjadi alat yang kuat untuk mengadvokasi perubahan. Dengan strategi komunikasi yang efektif, isu-isu seperti perampasan lahan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan ekonomi dapat menarik perhatian publik yang lebih luas. Pendidikan kritis juga perlu menjadi prioritas. Generasi muda harus dibekali dengan pemahaman tentang hak-hak mereka, cara kerja sistem politik, dan pentingnya keberlanjutan lingkungan.

Selain itu, penting bagi generasi muda untuk menggunakan hak pilih mereka secara bijak. Memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak keberpihakan pada rakyat dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan adalah langkah konkret dalam melawan dominasi oligarki. Pemilu harus menjadi momentum untuk menggantikan elite yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Lawan Oligarki

Dominasi oligarki dan relasi bisnis-politik yang kotor adalah ancaman serius bagi masa depan generasi muda Indonesia. Kebijakan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian terhadap keadilan sosial, seperti yang diproyeksikan akan terus berlangsung di bawah Prabowo-Gibran, hanya akan memperdalam luka ketimpangan.

Namun, dengan kesadaran, solidaritas, dan aksi kolektif, ancaman ini dapat dilawan. Gerakan pembangkangan sipil, yang terorganisasi dan strategis, dapat menjadi kekuatan besar untuk menekan penguasa agar kembali berpihak kepada rakyat. Generasi muda memiliki tanggung jawab besar untuk memperjuangkan masa depan yang lebih adil, demokratis, dan berkelanjutan. Mereka adalah harapan bangsa yang harus terus diperjuangkan agar tidak terkubur oleh dominasi segelintir elite.


Hidayatullah Rabbani

Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN. Fokus pada riset sejarah, politik-ekonomi lingkungan.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Ceritaan

Passompe’

Impresi yang saya dapatkan setelah menyaksikan pertunjukan ini, suatu sikap yang tidak terikat oleh batas, tidak

Skip to content