Dalam dua dekade pascareformasi, konflik agraria dan perlawanan masyarakat adat terhadap proyek-proyek pembangunan semakin meningkat. Kita melihatnya dalam peristiwa di Pulau Komodo, Wadas, Mollo, Sangihe, hingga Kendeng.
Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan sekadar akibat faktor alam, tetapi karena tindakan manusia—ironisnya, mereka yang sering disebut ‘intelektual’, produk universitas, dan pemegang otoritas kebijakan.
Modernitas, yang seharusnya membawa kemajuan, justru hadir sebagai wajah lain dari kehancuran ekologi. Sejak masa Orde Baru melalui program Kebijakan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) hingga era reformasi sekarang, pembangunan sering dilakukan dengan mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Pembabatan hutan, pembuangan limbah, pembakaran batu bara, dan ekspansi beton adalah penyebab utama meningkatnya bencana ekologis seperti tanah longsor dan banjir.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, serta kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kebijakan ekonomi-politik pemerintah dalam pemanfaatan sumber daya alam dipengaruhi oleh masifnya penetrasi sistem ekonomi kapitalis global yang bersifat sangat ekspansif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam.
| Tahun | Jumlah Kejadian |
|---|---|
| 2005–2006 | 73 |
| 2007 | 104 |
| 2008 | 112 |
| 2009–2011 | 238 |
| 2012 | 296 |
| 2014 | 385 |
| 2005–2014: 2.278 peristiwa | Korban tewas: 1.815 orang |
Lonjakan terbesar terjadi setelah 2008, memasuki masa 2009–2011. Angka tertinggi tercatat pada 2014, mencapai 385 kejadian. Kenaikan konsisten dari tahun ke tahun, menunjukkan kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Semua ini tidak lepas dari kebijakan ekonomi-politik yang prokapitalis dan eksploitasi sumber daya alam yang masif.
Seperti yang dikatakan Gramsci, kerusakan ini adalah hasil dari tindakan ‘intelektual tradisional’ yang menundukkan kepentingan masyarakat demi keuntungan kapital. Kebijakan publik pun sering gagal bukan karena lemahnya pengawasan, tetapi karena formulasi kebijakan sejak awal sudah tidak berpihak pada rakyat.
Masa depan bangsa membutuhkan kesadaran politik baru. Pemilu dan pilkada tidak lagi sekadar memilih pemimpin, tetapi menentukan arah penyelamatan lingkungan. Pendidikan politik harus menjadi kunci, agar rakyat tidak lagi tertipu oleh aliansi antara kapital, pemerintah, dan elit akademik.
Di sinilah kearifan lokal memiliki peran penting sebagai penyeimbang kehidupan. Seperti yang disampaikan Edi Santoso, kearifan lokal adalah gagasan bijaksana yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Jika dihancurkan, masa depan generasi akan sirna—apalagi ketika negara menargetkan tercapainya Generasi Emas 2045.
Generasi emas bukan hanya tentang angka ekonomi, tetapi juga kualitas moral, literasi, dan lingkungan hidup yang layak. Bung Hatta pernah berkata, “Manusia sekarang adalah bibit bagi masa datang.” Jika kita tidak memperbaiki yang rusak hari ini, mustahil membangun masyarakat sehat di masa yang akan datang.
Kekerasan Seksual
Problematika nilai dan etika kini menjadi perhatian khusus dalam kehidupan sosial. Persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan aturan yang diterbitkan oleh pemerintah dan parlemen, tetapi juga terkait fenomena sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat tanpa menunggu waktu implementasi kebijakan.
Salah satunya adalah kekerasan seksual, yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat dan viral karena banyaknya kasus yang muncul. Para pelaku berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pejabat hingga masyarakat biasa. Kekerasan seksual memang tidak memandang status sosial pelaku maupun korban, dan dapat terjadi kapan saja serta di mana saja.
Negara memiliki peran penting sebagai pengawas, pelaksana, sekaligus penegak dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual. Negara harus hadir sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pencegahan melalui perlindungan menyeluruh bagi seluruh masyarakat, sehingga calon pelaku tidak memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual bukan hanya terjadi karena ketiadaan persetujuan antara pelaku dan korban, tetapi juga dapat mencakup hubungan di luar pernikahan, sekalipun dilakukan atas dasar persetujuan.
Pemerintah—baik pusat maupun daerah—bersama aparat penegak hukum dan instrumen negara lainnya perlu memberikan perhatian dan tindakan yang lebih tegas dalam menanggulangi kekerasan seksual. Dalam negara demokrasi, proses penindakan dan pengamanan terhadap tindak kekerasan seksual sangat diperlukan.
Selain peran negara, elit lokal, tokoh masyarakat, pemangku adat, dan tokoh agama juga harus memberikan teladan melalui perilaku sosial yang baik dengan mengedepankan nilai dan etika sebagai makhluk sosial.
Gagasan feminisme Barat yang menekankan kebebasan personal sering kali tidak sesuai dengan budaya, ruang lingkup sosial, dan nilai agama yang dianut di Indonesia. Keterbukaan privasi, sifat individualistik, serta minimnya ikatan sosial dalam budaya Barat tidak selaras dengan karakter budaya Nusantara yang menjunjung konsep menjaga diri, privasi, serta batasan perilaku sosial. Modernisasi, perkembangan kapitalisme, dan sekularisasi budaya turut membuka ruang yang lebih lebar bagi munculnya kasus kekerasan seksual.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Keterbatasan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi sering menimbulkan frustrasi yang mendorong sebagian orang melakukan tindakan negatif. Moralitas tidak selalu melekat utuh dalam diri manusia; ia dapat dipakai di ruang publik tetapi terlepas dalam dunia privat. Moralitas baru akan terjaga apabila negara mampu menyediakan pelayanan publik seperti lapangan pekerjaan, pendidikan gratis untuk semua, hunian layak, serta pengelolaan sumber daya alam yang berpihak kepada rakyat.
Kekerasan seksual terjadi bukan semata karena dorongan nafsu, tetapi juga berkaitan dengan kekuasaan. Seperti yang dikemukakan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya bersifat represif dan terpusat, melainkan tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Mereka yang memiliki akses kekuasaan memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu, distribusi kekuasaan harus disertai dengan nilai moral dan etika agar tercipta rasa aman bagi seluruh masyarakat.
Stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual juga perlu mendapatkan perhatian serius. Korban kerap dipandang negatif meskipun mereka adalah pihak yang dirugikan. Trauma dan tekanan sosial dapat menimbulkan depresi hingga mendorong korban melakukan bunuh diri. Karena itu, edukasi publik menjadi sangat penting. Negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan inklusif sebagai warisan terbaik bagi rakyatnya.
Ketidakseimbangan derajat, jabatan, dan status sosial menjadi salah satu penyebab terbukanya ruang kekerasan seksual. Seperti teori Patron–Klien dari James Scott, hubungan yang tidak setara menimbulkan relasi yang timpang, di mana pihak yang lebih berkuasa cenderung memperlakukan pihak yang lemah sebagai objek. Dalam konteks ini, hubungan antara pemerintah dan rakyat harus dibangun atas dasar kesetaraan untuk menjaga kesehatan relasi sosial.
Sebagai negara yang religius, kaum agamawan memiliki peran besar dalam penanggulangan kekerasan seksual. Ceramah, nasihat, serta nilai-nilai moral yang mereka sampaikan memiliki pengaruh kuat dan dapat diterima masyarakat luas. Kekerasan seksual harus menjadi prioritas utama, bukan hanya dibahas ketika sedang viral. Selama negara ini berdiri, peringatan, imbauan, evaluasi, serta penanaman nilai dan etika harus terus dilakukan.
