Ilustrasi desa/simpeldesa.com
Ilustrasi desa/simpeldesa.com

Bagaimana Seharusnya Melihat Perdesaan?

Deretan ancaman mengepung perdesaan hingga saat ini dan oleh orang kota seringkali hanya dilihat sebagai tempat healing

Bollo.id — Apakah desa hanya dilihat sebagai tempat persinggahan? Atau mungkin sebatas tempat mencari ketenangan karena riuh dan bercampur aduknya suara di perkotaan? 

Gugusan vegetasi yang terlihat hijau dan rapat memang tak dapat dipungkiri menjadi bagian dari kebutuhan indrawi manusia saat ini, di balik sesaknya ruang gerak dan bernafas di perkotaan yang penuh susunan gedung saling berdempetan. 

Pekarangan yang hijau lebat membangun kesan sangat indah untuk dipandang, ditambah dengan suasana kabut tipis yang kerap menghiasi pedesaan di kaki gunung. 

Suara cericit burung-burung hingga serangga yang saling bersahutan membawa suasana magis tersendiri bagi telinga hingga beberapa kehangatan orang desa dalam menerima dan menjamu tamu menegaskan bahwa pedesaan adalah tempat pelarian paling pas. 

Kondisi-kondisi demikian menjadi penyangga pandangan dalam melihat desa secara romantik sebagai suatu komunitas yang adem ayem, guyub rukun, dan tentram hingga memiliki hubungan persaudaraan yang kuat. Baik antar anggota keluarga, komunitas desa, maupun orang dari luar.

Nilai-nilai yang ada di pedesaan memang mesti dirawat dengan baik. Namun, bukan berarti hal ini membuat kita harus menutup mata dari berbagai macam kekacauan yang terjadi di sekitarnya. 

Struktur dan dinamika masyarakat pertanian dibentuk diantaranya oleh relasi antar tenaga kerja, produksi, hingga intervensi mekanisme pasar. 


Baca juga bagian lain dari artikel ini:


Dalam beberapa telaah yang mapan, ‘masyarakat tani’ secara optimistik dianggap punya posisi strategis dan penting dalam proses produksi pangan hingga keberlanjutannya sampai saat ini, meskipun pada kenyataannya anggapan ini sering kali turut menyokong pengabaian terhadap petani. 

Agar tidak terjebak dalam melihat petani sebagai komunitas yang homogen, pertanyaan-pertanyaan lanjutan harus ditegaskan terlebih dahulu mengenai siapa dan dalam kelompok usia mana dalam masyarakat tani yang dianggap dapat berperan penting dalam roda perjuangan untuk memenuhi kebutuhan pangan, keberlanjutan, dan kedaulatan pangan tersebut. 

Dinamika ketimpangan penguasaan tanah adalah masalah umum yang kerap terjadi di pedesaan. Mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah (petani tunakisma) terpaksa harus tercebur ke dalam relasi-relasi eksploitatif dengan tuan tanah dalam model yang beragam. 

Beberapa diantaranya melalui skema sewa, bagi hasil yang kadang tidak berbanding lurus dengan curahan kerja penggarap, dan seterusnya. Tentu saja fenomena tersebut memerlukan analisis lebih dalam. 

Sebab hal ini sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan dasar untuk sekedar hidup bagi para petani, maka sulit membayangkan siasat seperti apa yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan di luar subsistensi dalam kondisi yang terjepit.

Berbagai masalah serius telah menggerogoti keluarga petani di pedesaan sejak lama. Desa seringkali diposisikan hanya sebagai penyuplai tenaga kerja murah yang dapat dipekerjakan secara bebas dan rentan di perkotaan (surplus populasi relatif). 

Keadaan ini tentu tidak terlepas dari masalah-masalah ketimpangan penguasaan atas tanah yang telah menubuh di pedesaan. Mereka yang terjebak dalam impitan ekonomi sebagai petani gurem maupun petani tunakisma yang sebelumnya telah tercebur dalam relasi sosial-produksi eksploitatif dengan “setan-setan” desa (tuan tanah) cenderung membangun harapan bahwa kota dapat menyulap kerentanan menjadi “kemapanan” dalam hal ekonomi. 

Pandangan menjanjikan inilah yang mendorong orang desa berbondong-bondong melakukan urbanisasi tanpa pikir panjang. Meninggalkan desa menuju kota-kota besar kerapkali ditempuh dengan melepaskan atau menjual tanah keluarga (bagi yang memiliki tanah) demi memodali rencana-rencana gemilang mereka. 

Padahal kota tidak akan pernah menjanjikan apa-apa. Dengan demikian, desa dan pertanian mengokohkan diri sebagai pelontar tenaga kerja untuk diserap di perkotaan, atau ditempatkan pada enclave-enclave perkebunan sebagai kuli kontrak atau buruh perusahaan perkebunan sesuai semangat industrialisasi. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Selain itu, ancaman lain yang dapat mengemuka sewaktu-waktu ialah hadirnya rencana pembangunan ekonomi ekstraktif dan pembangunan infrastruktur yang semakin masif melakukan konversi lahan-lahan produktif pertanian, atau memaksa pertanian skala rumah tangga terinkorporasi dalam skema produksi skala besar. 

Jika kita meninjau transisi perubahan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dari tahun ke tahun akan memunculkan ketimpangan yang mengerikan bagi lahan pertanian, sebagaimana yang dianalisa oleh Bachriadi dan Wiradi (2011). 

Negara melalui intervensi aturan telah membagi bentang alam Indonesia ke berbagai sektor seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, industri, dan perluasan kota, serta pariwisata, dan pertanian (Lutfhi dan Saluang: 2015). 

Deretan ancaman, oleh karena itu perlahan-lahan telah mengepung perdesaan yang mungkin masih kita huni hingga saat ini yang oleh orang kota seringkali hanya dilihat sebagai tempat healing.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Suluhpergerakan.org. Redaksi Bollo.id, menerbitkannya kembali dan membagi menjadi beberapa artikel.


Editor: Sahrul Ramadan


Muhammad Riski

Mahasiswa Universitas Hasanuddin

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay

Passompe’

Impresi yang saya dapatkan setelah menyaksikan pertunjukan ini, suatu sikap yang tidak terikat oleh batas, tidak

Skip to content