Bollo.id — Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Bantaeng melontarkan kritik keras terhadap kesepakatan yang terjalin antara Federasi Serikat Perjuangan Buruh Indonesia (FSPBI) dan manajemen PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.
Perjanjian yang dimediasi oleh Bupati Bantaeng ini dinilai sarat akan potensi pelanggaran hukum dan secara fundamental merugikan hak-hak normatif buruh yang dirumahkan.
Dalam pernyataan sikap resmi bertajuk “Huadi, PB, dan Kegagalan Negara Melindungi Buruh,” SBIPE menyoroti kesepakatan tersebut sebagai bentuk kompromi yang timpang dan justru melegalkan praktik pelanggaran ketenagakerjaan yang selama ini diperjuangkan.
“Kami tidak bisa membiarkan praktik penggelapan upah dan PHK terselubung dibungkus dalam bahasa ‘kesepakatan bersama’,” tegas Ketua SBIPE Bantaeng, Junaid Judda, dalam keterangan tertulisnya, yang diterima redaksi Bollo.id Rabu, 23 Juli 2025.
“Kesepakatan yang bertentangan dengan hukum harus dibatalkan, dan negara wajib hadir untuk menegakkan perlindungan hukum bagi buruh.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Sebelumnya, perselisihan memanas setelah SBIPE menyebut PT Huadi melakukan penggelapan upah lembur dan membayar upah pokok di bawah standar sepanjang tahun 2025. Puncaknya, perusahaan merumahkan ratusan pekerja secara sepihak, yang memicu aksi unjuk rasa.
Di tengah konflik tersebut, FSPBI dan PT Huadi mencapai kesepakatan pada 22 Juli 2025. Namun, isinya justru memicu kemarahan dari serikat buruh lain.

Poin krusial dalam perjanjian yang dianggap cacat hukum
Upah di bawah minimum: poin kesepakatan yang menetapkan upah bagi pekerja yang dirumahkan sebesar Rp1.500.000 per bulan dinilai sebagai pelanggaran berat.
Angka ini sangat jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan 2025 yang telah ditetapkan sebesar Rp3.657.527. Menurut SBIPE, ini melanggar Pasal 88E UU Cipta Kerja dan dapat dikenai sanksi pidana.
Status “Dirumahkan” yang tidak jelas selama tiga bulan dengan potensi perpanjangan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam UU Ketenagakerjaan.
Baca juga:
- Ketika Hak Buruh Diabaikan Perusahaan
- Rumahkan 1.350 Buruh Hingga Tak Bayar Lembur, LBH Makassar: Ada Kejahatan Ketenagakerjaan di Huadi
- Gelombang PHK Sepihak Pekerja Pabrik Smelter Nikel di Bantaeng dan Tawaran Kompensasi yang Minim
Hal ini menempatkan buruh dalam status “abu-abu”—tidak di-PHK secara resmi, tetapi juga tidak bekerja dan tidak menerima hak penuh. Ini membuka ruang bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar pesangon.
Menghapus jejak pelanggaran: SBIPE khawatir kesepakatan untuk menghentikan perselisihan digunakan oleh perusahaan untuk “membersihkan” catatan pelanggaran masa lalu. Dengan menyetujui kompromi, akar masalah seperti dugaan penggelapan upah tidak pernah diselesaikan secara hukum.
Ketidakpastian pemanggilan kembali: klausul yang menyatakan pekerja akan dipanggil kembali “jika sewaktu-waktu kondisi perusahaan sudah bisa beroperasi secara normal” dinilai sangat tidak pasti. Ini memberikan kekuasaan sepihak pada perusahaan dan melanggar asas kepastian hukum dalam hubungan kerja.

Peran pemerintah dipertanyakan
Kritik tajam juga diarahkan kepada Bupati Bantaeng yang bertindak sebagai fasilitator. Menurut SBIPE, dalam konflik industrial dengan kekuatan yang timpang, peran kepala daerah seharusnya tidak netral, melainkan harus aktif berpihak pada perlindungan hak konstitusional buruh yang merupakan pihak lebih lemah.
“Kehadiran kepala daerah bisa dipandang sebagai bentuk perhatian, namun substansi dari kesepakatan menunjukkan keterlibatan itu belum cukup menyentuh inti persoalan,” tegas Junaid Judda.
“Negara akan terus gagal menghadirkan keadilan dalam relasi antara buruh dan pemodal tanpa keberpihakan yang jelas.”
SBIPE menegaskan bahwa perjuangan untuk menuntut hak-hak buruh akan terus dilanjutkan. Mereka memandang kesepakatan ini sebagai preseden buruk yang dapat mencederai gerakan buruh secara lebih luas jika dibiarkan.