Nengsih, saksi fakta dalam sidang perselisihan hubungan industrial PT Huadi dengan buruh SBIPE Bantaeng/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Nengsih, saksi fakta dalam sidang perselisihan hubungan industrial PT Huadi dengan buruh SBIPE Bantaeng/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Huadi Langgar Jam Kerja dan Hak Buruh Perempuan

Aturan yang diterapkan perusahaan terhadap buruh dianggap berlebihan, tak manusiawi bahkan mengarah pelangggaran Hak Asasi Manusia

Bollo.id — Buruh perempuan Bantaeng dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dihadirkan pihak tergugat dalam pemeriksaan saksi lanjutan di sidang perdata ketenagakerjaan antara buruh dan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. 

Saksi fakta mengungkap keadaan buruh di sana dan saksi ahli menjelaskan hak-hak buruh. Sidang berlangsung di Ruangan Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar. Ambara, Ansar, dan Hasbi dari YLBHI-LBH Makassar menjadi perwakilan pihak tergugat.

Awalnya, Ambara menanyakan berapa lama kerja buruh dan bagaimana buruh mengetahui lama kerjanya. Nengsih, buruh yang bekerja sejak 2021 mengaku mendapat jadwal kerja shift pagi. 

Maka ia berangkat dua jam lebih awal agar tidak terlambat untuk briefing pagi. “(Saya bekerja) 12 jam. Kalo shift malam, jam 20.00 WITA malam sampai jam 08.00 WITA pagi. Jam kerja ini tidak disosialisasikan sebelumnya karena perusahaan langsung keluarkan jadwal,” kata Nengsih dengan lantang dalam sidang, Selasa, 7 Oktober 2025.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Akibat dari empat jam kerja lebih itu, Nengsih pernah mengalami keguguran pada waktu shift malam harinya. Dokter mengatakan penyebabnya karena begadang (kurang istirahat).

“Saat itu shift malam, saya rasa sakit malam itu, saya minta tolong ganti posisi (ke rekan kerja). Saya tidak bisa tahan rasa sakit, pas saya pulang, saya sudah keguguran,” katanya sambil mengusap air matanya di hadapan hakim.

“Pas ada hak istirahat dokter, saya tidak dikasih (cuti) perusahaan, dan upah tidak dibayarkan,” terangnya Nengsih, saksi fakta dalam persidangan.

Nengsih mengatakan saat menjadi buruh control room di T2, unit Wuzhou, bagian dari Huadi, dia tidak mengetahui ada hak-hak buruh perempuan seperti cuti haid dan cuti hamil. Yang ia tahu hanya ada cuti melahirkan karena perusahaan tidak menyosialisasikan hak pekerja perempuan lainnya.

“Saya tidak tahu kalau ada hak-hak perempuan lainnya,” tambahnya.

Jam Kerja Berlebih

Perusahaan tidak menghitung lebih 4 jam itu dengan lembur sehingga perusahaan tidak menggunakan istilah upah lembur. Mereka diberikan insentif shift untuk konteks pengupahan waktu kerja berlebih (overtime)—lebih dari 8 jam. 

“Kalau lebih dari 8 jam, maka harus dihitung sebagai lembur,” jawab Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus saksi ahli Ketenagakerjaan di hadapan hakim.

Nabiyla saksi ahli dalam sidang perselisihan hubungan industrial PT Huadi dengan buruh SBIPE Bantaeng di PN Makassar/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Nabiyla saksi ahli dalam sidang perselisihan hubungan industrial PT Huadi dengan buruh SBIPE Bantaeng di PN Makassar/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Jam kerja berlebih dapat menjadi penyebab kecelakaan kerja dan mempengaruhi kesehatan pekerja. Ia juga menilai bahwa itu termasuk pelanggaran. “Jam kerja panjang salah satu hal concern penyebab pelanggaran HAM,” lanjutnya.

Nabiyla berpendapat, lembur itu perlu disepakati dengan buruh. Lembur tidak bisa dilakukan hanya dengan keputusan sepihak saja. 

“Meski ada penawaran, buruh diberikan pilihan terima atau menolak. Jika (buruh) dipaksa terima, maka (perusahan) mengabaikan kesepakatan sehingga itu menjadi paksaan. Itu juga concern International Labour Organization (ILO),” terangnya.

Buruh tidak memiliki opsi menerima atau menolak terhadap jam kerja. Buruh langsung diberikan jadwal shift.

Saat istirahat, buruh tidak diperbolehkan meninggalkan tempat kerja untuk makan di kantin. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, waktu istirahat minimal adalah 30 menit setelah bekerja selama 4 jam terus menerus.

Jika jam istirahat tiba (12.00 WITA), buruh mengambil makanannya masing-masing, lalu kembali ke tempat kerjanya untuk makan di situ. Jika makan di kantin, maka leader atau kepala pengawas akan mencari dan menegur buruh.

“Tidak bisa dikategorikan istirahat karena (buruh) masih dicari. Kalau masih tidak pergi dari station (ruang kerja), sulit dikatakan itu istirahat,” tambah dosen yang mengajar hukum ketenagakerjaan itu.

Tanggapan Penggugat

Di awal kesempatannya, kuasa hukum perusahaan, Munawir menanyakan efektivitas perjanjian bersama (PB) dalam penyelesaian masalah perusahaan industri. “Jika disepakati dua pihak, maka itu menyelesaikan permasalahan PHK. Jika di luar PHK, itu tidak bisa digunakan,” jawab saksi ahli Nabiyla.

Ia kemudian menanyakan dilakukannya lembur dengan adanya regulasi perusahaan yang memberikan insentif shift. Saksi ahli mengatakan bahwa lembur harus disertai upah lembur, bukan hanya insentif. “Upah lembur itu krusial,” jawab Nabiyla.

Tim hukum juga bertanya konteks kasus perjanjian bersama yang telah terbit bagi 20 orang buruh sebagai tergugat. Dalam perjanjian bersama, ayat 4 yang termaktub bahwa buruh selaku tergugat tidak berhak untuk menuntut hak-hak yang lain pascaterbitnya perjanjian bersama.

Saksi ahli bilang bahwa perjanjian bersama memiliki ruang lingkup yang khusus, tentu saja berlaku bagi apa saja hal-hal yang disepakati.

“Lalu, tidak menutup kemungkinan buruh masih bisa saja menuntut hak yang lain, jika pada akhirnya ditemukan pelanggaran terkait hak. Sederhananya, hak yang lain seperti lembur masih bisa dituntut,” tambah Nabiyla.


Baca juga artikel lain tentang perjuangan buruh SBIPE Bantaeng:


Upah lembur, mengacu pada Memo Internal perusahaan yang telah mengatur upah insentif 40 persen, hal ini juga dinilai bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PP. 35 Tahun 2021 secara jelas mengatur tentang upah lembur.

Diketahui, 1 Juli 2025, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry yang merupakan bagian dari Huadi Group, merumahkan 350 buruh. Lalu mereka menghentikan produksi pada 15 Juli 2025 berakibat pada 1.000 buruh yang dirumahkan secara sepihak.

Huadi tidak membayar upah lembur buruh secara penuh sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh yang bekerja 12 jam, hanya dibayar 8 jam.

Melalui Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) Bantaeng, buruh resmi melaporkan peristiwa ini ke Dinas Ketenagakerjaan Sulsel dan Polres Bantaeng.


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru