Bollo.id — Aliansi Sulawesi atau Koalisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah menantang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dan Gibran Rakabuming Raka untuk berdebat terbuka mengenai hilirisasi.
Ketiga orang itu diminta menunjukkan manfaat maupun dampak negatif hilirisasi nikel. Khususnya di Pulau Sulawesi. Hilirisasi tambang nikel semingguan lalu menjadi materi debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Indonesia masih menjadi perbincangan hangat.
Bahkan, Luhut juga ikut-ikutan mengomentari bahwa hilirisasi yang dijalankan Presiden Jokowi sudah benar. Direktur Walhi Sulteng, Sunardi mengatakan, setelah mengamati perbincangan seputar hilirisasi tambang nikel yang tersebar di media, pihaknya perlu merespon para menteri yang bilang: ‘hilirisasi nikel di Indonesia itu baik’.
Baca juga: Kelompok Aktivis Minta Audit Menyeluruh, Buntut Meninggalnya 13 Pekerja Smelter di IMIP
Sunardi menantang Luhut, Bahlil dan juga Cawapres 02, Gibran untuk berdebat secara terbuka mengenai manfaat industri nikel di Sulawesi. “Tunjukkan data-data terkait dampak positif hilirisasi nikel, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan Sulawesi,” kata Sunardi dalam siaran pers yang diterima Bollo.id, Selasa, 30 Januari 2024.
Dalam tiga tahun terakhir, kata dia, dampak hilirisasi nikel di Sulteng sangat buruk untuk lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Baik di area pertambangan maupun di sekitar pabrik. “Kondisi ini juga harus dilihat dan dihitung sebagai dampak hilirisasi mineral nikel di Indonesia,” Sunardi menerangkan.
Oleh karena itu, pihaknya perlu memaparkan satu demi satu dampak negatif hilirisasi nikel di Sulteng, khususnya kepada Gibran. Mulai dari masalah pencemaran air, udara, kehancuran hutan, hingga gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan pendapatan masyarakat lokal. “Seperti petani dan nelayan,” jelas Sunardi.
Selain itu, kondisi pekerja tambang dan industri nikel juga sangat memprihatinkan. Ribuan tenaga kerja lokal di sana disebut, masih bekerja dengan standar keselamatan yang rendah, upah yang tidak sebanding dengan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi. Sistem kontrak juga membuat pekerja harus bekerja non–setop untuk mendapat penghasilan yang tinggi.
“Tingginya angka kecelakaan kerja menjadi bukti bahwa kondisi buruh pabrik nikel sangat memprihatinkan. Banyak buruh-buruh smelter nikel di Morowali harus berhenti kerja karena tidak tahan dengan resiko yang tinggi, sementara upah mereka sangat rendah. Hal ini perlu kami perdebatkan dengan Luhut dan Gibran,” tegas Sunardi.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Di Sulawesi Selatan, dampak hilirisasi nikel ialah pencemaran lingkungan dan ancaman penggusuran kebun-kebun petani. Dari hasil pemantauan Walhi Sulsel, sungai-sungai di sekitar pabrik dan tambang nikel di Sulsel sudah tercemar logam berat. Air sungai yang tercemar bermuara hingga ke danau dan laut. Hutan hujan di Sulsel juga terancam akibat pertambangan nikel.
Bahkan lahan kebun-kebun petani dan perempuan di wilayah itu juga terancam digusur akibat ekspansi tambang nikel yang masif dalam setahun terakhir. “Kami ingin sekali mengajak Cawapres 02, berdebat secara terbuka mengenai bahaya hilirisasi nikel. Agar dirinya tidak asal mengatakan bahwa hilirisasi itu sangat menguntungkan, bahkan menghina orang-orang yang menentang proyek hilirisasi nikel,” lanjut Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin.
Sementara menurut Direktur Walhi Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, dampak hilirisasi nikel di daerahnya juga tak kalah ekstrem. Seperti kriminalisasi warga, kerusakan hutan, dan pencemaran lingkungan. Hilirisasi nikel yang masif telah mengakibatkan deforestasi, pencemaran udara dan air.
Belum lagi, penggunaan PLTU Captive (pembangkit listrik batu bara) pada smelter nikel di Sultra mengakibatkan penderita penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) meningkat. Pencemaran laut akibat sedimentasi juga makin luas, yang berdampak bagi penurunan hasil tangkap nelayan.
“Yang tidak kalah penting adalah saat ini terdapat tiga puluhan Perempuan di Kabupaten Konawe Selatan yang terancam dikriminalisasi perusahaan dan kepolisian karena menolak pertambangan. Semua itu bukti bahwa hilirisasi adalah proyek yang sangat mengerikan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat,” Andi Rahman menyudahi.
Editor: Sahrul Ramadan