Normalnya Kekerasan yang Tak Normal

Artikel ini menelisik bagaimana budaya keras itu diwariskan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa pembenahan selalu berhenti di tengah jalan.

Ilustrasi kekerasan/Foto: pixabay
Ilustrasi kekerasan/Foto: pixabay

Eksplainer


Bollo.id — Prada HMN ditemukan terbaring tak bernyawa di kamar mandi barak militer di Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu sore, 11 Oktober 2025. Polisi Militer Kodam XIV/Hasanuddin menetapkan tiga seniornya —Prada AG, WE, dan FL — sebagai tersangka penganiayaan. Kematian prajurit muda itu menyingkap kembali praktik kekerasan berbasis senioritas yang lama bercokol di ruang-ruang tertutup institusi komando.

Kasus ini bukan tunggal. Di luar barak, lembaga pendidikan sipil yang mengadopsi pola pembinaan semi-militer juga berulang kali mencatat korban. Kematian Aldama Pangkolan (19), taruna junior Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar pada 2019, menjadi salah satu momentum besar yang menguak budaya kekerasan senior-junior di sekolah kedinasan. Aldama diduga tewas karena dianiaya kakak tingkatnya. Sebuah pola yang kemudian ditemukan di sejumlah kampus dengan sistem semi-militer.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Sejak itu, desakan publik menguat. Metode pembinaan bercorak militer dinilai tak pantas lagi dijalankan di lembaga sipil, meski sebagian pihak masih menganggapnya efektif menegakkan kedisiplinan. Namun, berkali-kali korban jatuh, berkali-kali pula sistem bertahan tanpa perubahan berarti.

Mengapa kekerasan seperti ini terus berulang, meski lonceng peringatan sudah terdengar sejak bertahun-tahun?

Jawabannya berlapis. Kekerasan fisik, baik di barak maupun kampus kedinasan, hanya permukaan dari struktur kuasa yang telah bekerja jauh sebelum tangan para senior memukul korban. Bollo.id merangkai pola itu.

Dalam institusi komando, ketimpangan posisi antara senior dan junior dilegalkan sejak hari pertama. Senior memegang kendali disiplin, junior dipaksa tunduk. Di lembaga pendidikan sipil dengan sistem semi-militer, pola yang sama direplikasi dengan nama berbeda: “pembinaan mental”, “pelatihan disiplin”, “masa adaptasi”.

Kerangka segitiga kekerasan Johan Galtung menjelaskan bagaimana kekerasan fisik lahir dari dua lapisan lain yang tak terlihat. Kekerasan struktural — relasi kuasa yang timpang — dan kekerasan kultural — narasi yang mewajarkan tradisi keras. Pada titik inilah kekerasan menjadi “normal” di mata para pelakunya.

Di banyak kasus, termasuk Prada HMN dan Aldama, pola kekerasan bukan menyimpang, tapi justru sesuai dengan budaya institusi. Pierre Bourdieu menyebutnya habitus. Cara bertindak yang sudah begitu lama diulang sehingga dianggap lumrah. Senior mengulang apa yang dulu mereka terima. Junior menerima apa yang dianggap “memang begini aturannya.” Norma tak tertulis doxa menjaga tradisi kekerasan tetap bekerja tanpa pernah ditantang.

Kekuasaan bekerja lebih sunyi. Michel Foucault menulis bahwa kekuasaan mengalir dalam praktik sehari-hari. Baris-berbaris, cek fisik, teguran keras, hukuman fisik ringan yang “dimaklumi”. Dalam praktik itulah tubuh dibentuk untuk patuh. Kekuasaan menjadi produktif karena ia menghasilkan kepatuhan, bukan sekadar menekan.

Semua itu bertemu dalam kasus HMN dan Aldama. Struktur yang memberi ruang, budaya yang memberi legitimasi, habitus yang mengulang, serta kuasa simbolik yang memaksa junior bungkam.

Implikasinya tegas: menghukum pelaku tidak cukup

Gelombang desakan reformasi pendidikan kedinasan sesudah tewasnya Aldama tidak cukup kuat membongkar paradigma pembinaan keras. Tanpa perubahan pada struktur, mulai dari pengawasan independen, redefinisi pembinaan, hingga sistem pelaporan yang bebas dari tekanan. Kekerasan akan terus menemukan korban baru.

Prada HMN adalah pengingat terbaru bahwa kekerasan yang dinormalisasi tidak pernah benar-benar berhenti. Ia hanya menunggu ruang yang cukup gelap untuk kembali bekerja. Dan selama sistem tidak dibongkar hingga ke akar, kematian berikutnya bukan pertanyaan jika, tetapi kapan.


Editor: Kamsah Hasan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Mereka yang Menolak Bungkam

Desa Laikang diproyeksikan terdampak kehadiran KITA karena sebagian besar lahan yang dialokasikan merupakan ruang hidup masyarakat