Bollo.id — Ibu-ibu dan anak perempuan memadati seperempat tanah lapangan sepak bola yang berjarak 600 meter dari Kantor Desa Kaluppini, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka membawa pisang, beras, dan air kelapa ke bawah tenda kegiatan sebelum ritual tolak bala digelar.
Setelah ritual, mereka makan bersama seluruh hasil ladang yang dibawa. Di desa ini, perempuan berperan di bidang logistik saat ritual adat. Mereka mengatur pengadaan, pengiriman, dan ketersediaan bahan komposisi alannota yang berfungsi sebagai perlengkapan ritual.
Alannota adalah istilah lokal masyarakat setempat yang merujuk pada sirih, pinang, dan kapur. Alannota disiapkan di atas piring anyaman yang disebut talang. Sirih dan pinang banyak ditemukan di pekarangan warga.
“Perempuan yang pertama harus menyiapkan semua itu, sirih, pinang, kapur,” kata Mama Pate melalui penerjemahnya, Aidil (38) yang juga merupakan warga setempat saat saya menemuinya pada, Selasa, 27 Mei 2025.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Daun sirih dan buah pinang dipetik langsung oleh ibu di kebun atau di halaman rumahnya. Serbuk kapur dibuat dari cangkang siput yang dipanggang. Kapur itu disimpan di toples dapur.
Warga Kaluppini menyebut pinang dengan kalosi. Pinang itu disajikan dengan lipatan daun sirih yang disebut biru. Letak lipatan persegi daun sirih dan potongan buah pinang bergantung pada jenis ritual adat.
Jumlah item dalam alannota juga bergantung pada penentuan dari tokoh adat. Mama Pate belajar menyiapkan dan membuat lipatan untuk alannota melalui ibunya. Ibunya pun tahu cara membuat alannota melalui neneknya.
Katanya, dia belajar dengan cara melihat ibunya sendiri saat membuat alannota. Cara membuat alannota juga bisa diajarkan.

Mama Pate sempat mengajarkan membuat alannota di Pangewarang. Festival kebudayaan setiap delapan tahun itu terakhir digelar pada 2018. Mama Pate memperlihatkan cara membuat alannota.
Saat memperlihatkan sajian alannota, Mama Pate menuju dapurnya untuk mengambil air putih. Gelas air (air langsung dari krannya) disajikan bersama alannota.
Sementara itu, laki-laki bertugas merencanakan persiapan bahan ritual adat yang dibutuhkan. Jadwal ritual adat (hari, tanggal, dan jam) pun ditentukan oleh laki-laki.
“Perempuan yang dulu menyiapkan saat bapaknya bilang ‘Kita ada niat melakukan ritual’. Misalnya ada niatan nikahan atau kematian. Setelah ada jadwal, perempuan yang ambil semua itu persiapan-persiapan untuk acara,” Aidil menerangkan.
“Yang menentukan acaranya itu apa yang mau dilakukan, kapan, dan siapa saja yang dilibatkan itu laki-laki yang punya hak itu. Sudah dikasih tahu bilang acaranya mulai hari ini, tanggal begini, (perempuan) sudah mulai kumpul-kumpul itu barang,” lanjut Aidil.
Mama Pate mengangguk iya saat ditanya “Apakah semua perempuan bisa membuat alannota?” Dalam satu rumah tangga, ada salah satu perempuan Kaluppini yang wajib mengetahui cara membuat alannota.
Penjaga Rumah Adat dan Pemain Musik Tradisional
Di atas ketinggian lebih dari 400 meter dari dataran pusat Kabupaten Enrekang, Nenek Rasi menuju ke ruang tengah setelah bangun dari tidur siangnya. Bertugas sebagai penjaga rumah adat, dia menjaga rumah adat Kaluppini tanpa sekat dinding itu seorang diri.

Nenek Rasi mulai menjaga rumah adat tersebut lebih dari lima dekade. Dia juga yang membuat alannota dan mendampingi tokoh adat selama ritual di rumah adat.
Kali itu, pada sore hari menjelang pukul enam sore, Nenek Rasi memainkan karumbing. Alat musik tradisional yang terbuat dari pelepah enau itu menghasilkan dengungan yang tidak terlalu berisik.
Alat musik yang dimainkan dengan benang itu membuat Nenek Rasi tersenyum setelahnya. Dia memainkan karumbing untuk menghibur diri saat sendiri di rumah adat.

Saat Pangewarang, Nenek Rasi tampil untuk pertunjukan musik tradisional. Dia sudah mengikuti festival delapan tahun itu sebanyak sebelas kali.
Perempuan yang Berkebun
Dari pagi hingga siang, Hawi pergi berkebun jagung. Dia berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit dari rumahnya menuju kebunnya sendiri.
Dia menanam benih, menyiram, dan memberi pestisida tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD).Setelah berkebun, dia pulang ke rumahnya dan memasak untuk dirinya sendiri.
Terakhir, Hawi mendapat keuntungan kurang lebih Rp4 juta saat menjual jagungnya seharga Rp4.000 per kilogram.

Kelompok Usaha Sari Jahe
Kelompok Kasih Turutan mulai menjual sari jahe gula merah sejak 2019. Selama enam tahun hingga sekarang, kelompok usaha perempuan ini memproduksi sari jahe sesuai permintaan (prapesan).
Para ibu tersebut memanen jahe kebun sendiri setiap dua kali setahun untuk bahan produksi. Mereka paling banyak memproduksi 10 liter atau 5 toples ukuran 2 liter fermentasi.

Satu botol kurang lebih 150 ml itu dijual dengan harga Rp30 ribu dan dipasarkan melalui Facebook. Menurut mereka, permintaan tinggi pembeli dari Jayapura. Kasih turutan berarti kebersamaan.
Keuntungan usaha tersebut mereka gunakan untuk membeli alat produksi usaha kelompok. Sebab pesanan tersebut berdasarkan permintaan, usaha mereka tidak mengganggu kegiatan memasak dan merawat keluarganya.
“Tidak ji,” kata Nasfiah (36) menjawab pertanyaan, “Apakah kegiatan produksi ini mengganggu masak-masak ibu?”
Liputan ini merupakan hasil dari kegiatan media field visit KEMITRAAN bersama SCF melalui program Estungkara yg didukung oleh INKLUSI
Editor: Sahrul Ramadan