Potret persiapan ritual tolak bala masyarakat di Desa Kaluppini, Enrekang/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Potret persiapan ritual tolak bala masyarakat di Desa Kaluppini, Enrekang/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Dari Dapur Ritual ke Ladang: Peran Perempuan Adat Kaluppini Enrekang

Dari sini, kita bisa belajar bagaimana peran penting perempuan dalam mempersiapkan segala kebutuhan agar ritual ini berjalan sempurna.

Bollo.id — Ibu-ibu dan anak perempuan memadati seperempat tanah lapangan sepak bola yang berjarak 600 meter dari Kantor Desa Kaluppini, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka membawa pisang, beras, dan air kelapa ke bawah tenda kegiatan sebelum ritual tolak bala digelar.

Setelah ritual, mereka makan bersama seluruh hasil ladang yang dibawa. Di desa ini, perempuan berperan di bidang logistik saat ritual adat. Mereka mengatur pengadaan, pengiriman, dan ketersediaan bahan komposisi alannota yang berfungsi sebagai perlengkapan ritual.

Alannota adalah istilah lokal masyarakat setempat yang merujuk pada sirih, pinang, dan kapur. Alannota disiapkan di atas piring anyaman yang disebut talang. Sirih dan pinang banyak ditemukan di pekarangan warga.

“Perempuan yang pertama harus menyiapkan semua itu, sirih, pinang, kapur,” kata Mama Pate melalui penerjemahnya, Aidil (38) yang juga merupakan warga setempat saat saya menemuinya pada, Selasa, 27 Mei 2025.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Daun sirih dan buah pinang dipetik langsung oleh ibu di kebun atau di halaman rumahnya. Serbuk kapur dibuat dari cangkang siput yang dipanggang. Kapur itu disimpan di toples dapur.

Warga Kaluppini menyebut pinang dengan kalosi. Pinang itu disajikan dengan lipatan daun sirih yang disebut biru. Letak lipatan persegi daun sirih dan potongan buah pinang bergantung pada jenis ritual adat. 

Jumlah item dalam alannota juga bergantung pada penentuan dari tokoh adat. Mama Pate belajar menyiapkan dan membuat lipatan untuk alannota melalui ibunya. Ibunya pun tahu cara membuat alannota melalui neneknya.

Katanya, dia belajar dengan cara melihat ibunya sendiri saat membuat alannota. Cara membuat alannota juga bisa diajarkan.

Alannota dengan 11 item untuk diberikan kepada pemangku adat, Imam Abdul Halim/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Alannota dengan 11 item untuk diberikan kepada pemangku adat, Imam Abdul Halim/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Mama Pate sempat mengajarkan membuat alannota di Pangewarang. Festival kebudayaan setiap delapan tahun itu terakhir digelar pada 2018. Mama Pate memperlihatkan cara membuat alannota.

Saat memperlihatkan sajian alannota, Mama Pate menuju dapurnya untuk mengambil air putih. Gelas air (air langsung dari krannya) disajikan bersama alannota.

Sementara itu, laki-laki bertugas merencanakan persiapan bahan ritual adat yang dibutuhkan. Jadwal ritual adat (hari, tanggal, dan jam) pun ditentukan oleh laki-laki.

“Perempuan yang dulu menyiapkan saat bapaknya bilang ‘Kita ada niat melakukan ritual’. Misalnya ada niatan nikahan atau kematian. Setelah ada jadwal, perempuan yang ambil semua itu persiapan-persiapan untuk acara,” Aidil menerangkan.

“Yang menentukan acaranya itu apa yang mau dilakukan, kapan, dan siapa saja yang dilibatkan itu laki-laki yang punya hak itu. Sudah dikasih tahu bilang acaranya mulai hari ini, tanggal begini, (perempuan) sudah mulai kumpul-kumpul itu barang,” lanjut Aidil.

Mama Pate mengangguk iya saat ditanya “Apakah semua perempuan bisa membuat alannota?” Dalam satu rumah tangga, ada salah satu perempuan Kaluppini yang wajib mengetahui cara membuat alannota.

Penjaga Rumah Adat dan Pemain Musik Tradisional

Di atas ketinggian lebih dari 400 meter dari dataran pusat Kabupaten Enrekang, Nenek Rasi menuju ke ruang tengah setelah bangun dari tidur siangnya. Bertugas sebagai penjaga rumah adat, dia menjaga rumah adat Kaluppini tanpa sekat dinding itu seorang diri.

Rumah adat yang dijaga oleh Nenek Rasi/ Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Rumah adat yang dijaga oleh Nenek Rasi/ Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Nenek Rasi mulai menjaga rumah adat tersebut lebih dari lima dekade. Dia juga yang membuat alannota dan mendampingi tokoh adat selama ritual di rumah adat.

Kali itu, pada sore hari menjelang pukul enam sore, Nenek Rasi memainkan karumbing. Alat musik tradisional yang terbuat dari pelepah enau itu menghasilkan dengungan yang tidak terlalu berisik.

Alat musik yang dimainkan dengan benang itu membuat Nenek Rasi tersenyum setelahnya. Dia memainkan karumbing untuk menghibur diri saat sendiri di rumah adat. 

Nenek Rasi, penjaga rumah adat Kaluppini yang memainkan karumbing/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Nenek Rasi, penjaga rumah adat Kaluppini yang memainkan karumbing/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Saat Pangewarang, Nenek Rasi tampil untuk pertunjukan musik tradisional. Dia sudah mengikuti festival delapan tahun itu sebanyak sebelas kali. 

Perempuan yang Berkebun

Dari pagi hingga siang, Hawi pergi berkebun jagung. Dia berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit dari rumahnya menuju kebunnya sendiri.

Dia menanam benih, menyiram, dan memberi pestisida tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD).Setelah berkebun, dia pulang ke rumahnya dan memasak untuk dirinya sendiri. 

Terakhir, Hawi mendapat keuntungan kurang lebih Rp4 juta saat menjual jagungnya seharga Rp4.000 per kilogram.

Ibu Hawi bercerita tentang berkebun dan Mama Pate bercerita tentang alannota/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Ibu Hawi bercerita tentang berkebun dan Mama Pate bercerita tentang alannota/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Kelompok Usaha Sari Jahe

Kelompok Kasih Turutan mulai menjual sari jahe gula merah sejak 2019. Selama enam tahun hingga sekarang, kelompok usaha perempuan ini memproduksi sari jahe sesuai permintaan (prapesan).

Para ibu tersebut memanen jahe kebun sendiri setiap dua kali setahun untuk bahan produksi. Mereka paling banyak memproduksi 10 liter atau 5 toples ukuran 2 liter fermentasi.

Nasfiah dan Ratti menghaluskan jahe/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Nasfiah dan Ratti menghaluskan jahe/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Satu botol kurang lebih 150 ml itu dijual dengan harga Rp30 ribu dan dipasarkan melalui Facebook. Menurut mereka, permintaan tinggi pembeli dari Jayapura. Kasih turutan berarti kebersamaan. 

Keuntungan usaha tersebut mereka gunakan untuk membeli alat produksi usaha kelompok. Sebab pesanan tersebut berdasarkan permintaan, usaha mereka tidak mengganggu kegiatan memasak dan merawat keluarganya. 

“Tidak ji,” kata Nasfiah (36) menjawab  pertanyaan, “Apakah kegiatan produksi ini mengganggu masak-masak ibu?”

Liputan ini merupakan hasil dari kegiatan media field visit KEMITRAAN bersama SCF melalui program Estungkara yg didukung oleh INKLUSI


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru